Senin, 27 Mei 2013

responding paper



1.   Riwayat Sidharta Gautama 
a)  Kehidupan sang Buddha
Buddha Gautama dilahirkan dari rahim dewi Mahayana sekitar tahun 560 S.M. di taman Lumbini di kerajaan Kapilawastu, India Utara, sekitar 100 mil dari Benares. Ayahnya, Suddhodana, adalah seorang raja kecil yang berasal dari dan memerintah suku Sakya. Ketika Buddha dilahirkan, wilayah India masih terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang menguasai masyarakat dalam bidang sosial politik maupun moral keagamaan. waktu itu India juga belum memiliki kesatuan bahasa. Reaksi antara lain muncul dalam bentuk aliran Carvaka yang jelas-jelas menentang kaum Brahmana dan beranggapan bahwa yang ada hanya jagad (loka) ini tidak ada sesuatupun di atas atau sesudahnya sehingga sering disebut lokayata.
Dalam situasi seperti itulah Buddha Gautama dilahirkan, dibesarkan, mencari makna hidup dan mengembangkan penemuannya dalam masyarakat. Kelahiran Buddha sebagai manusia, sebagaimana digambarkan dalam naskah-naskah Mahayana, diliputi berbagai legenda yang melambangkan akan mengandung bermimpi ada gajah putih yang masuk ke dalam perutnya. Siddharta Gautama sendri konon dilahirkan dengan berdiri tanpa ternoda oleh darah dan langsung dapat berjalan sejauh tujuh langkah; pada setiap bekas telapak kakinya tersembul bunga teratai, dean pada langkah yang ke tujuh ia berhenti dan memperlihatkan kebesarannya. Dikisahkan pula bahwa pada waktu iua lahir, dunia diliputi dengan dengan cahaya terang benderang. Orang-orang buta sangat berhasrat menyaksikan kegemilangannya yang segera tiba, sehingga mereka dapat melihat kembali, orang-orang tuli dan bisu menjadi mampu berbicara tentang hal-hal yang akan datang, dan orang-orang yang cacat menjadi normal kembali. Para tawanan terlepas dari rantai yang mebelenggu mereka, dan nyali api neraka padam. Bahkan,kekejaman binatang buas hilang disaat kedamaian tengah meliputi seluruh bumi. Hanya Mara, si jahat, yang tidak bergembira.[1]
Setelah melalui proses kelahiran yang penuh dongeng keajaiban itu, Siddharta Gautama kemudian menjalani hidup sebagai putra raja Suddhodana di Kapilawastu sampai ia mencapai pencerahan. Seluruh kehidupannya, secara garis besar dibagi atas empet periode, yaitu :
Ø  Sebagai pangeran Siddharta di istana Kapilawastu
Ø  Sebagai pertapa Gautama
Ø  Periode mendapat penerangan tertinggi dan menjadi Buddha; dan
Ø  Periode mengajarkan dharma

b)  Mendapatkan penerangan Tertinggi : menjadi Buddha
Setelah Buddha menempuh cara yang disaranya dapat membawanya kepada apa yang dicarinya selama ini, pada suatu malam di bulan waisak, ketika bulan sedang penuh, di tepi sungai Neranjara, Gautama duduk mengheningkan cipta di bawa pohon Assattha, yang di kemudaian hari dikenal sebagIa pohon Bodhi.
Setelah duduk melakukan meditasi semacam itu, Gautama berturut-turut mendapatkan pengetahuan tertinggi, yaitu :
1)         Pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran yang terdahulu, atau pengetahuan tentang kelahiran kembali ( pubbenivasanussati )
2)         Pengetahuan dari mata dewa atau mata batin ( dibacakkhu )
3)         Pengetahuan bahwa timbul dan lenyapnya bentuk-bentuk dari berbagai macam kehidupan, yang baik maupun yang buruk, tergantung dari perbuatan masing-masing ( cuti upapatana )
4)         Pengetahuan tentang padamnya semua kecenderungan ( asvakkhayanana ) dan menghilangkan ketidak-tahuan ( avidya )
Dengan pengetahuan yang dicapainya tersebut, pertapa Gautama telah mencapai penerangan yang sempurna, pengetahuan yang sejati dan kebebasan batin yang sempurna. Dia telah mendapat jawaban teka-teki kehidupan yang dicarinya selama ini, dengan pengertian penuh yang tercantum dalam empat ‘kesunyataan mulia’, yaitu :
a.       Penderitaan
b.      Sumber penderitaan
c.       Lenyapnya penderitaan dan
d.      Delapan jalan utama yang menuju lenyapnya penderitaan[2]

c)    Mengajarkan Dharma
Ketika sang Buddha merenungkan kepada siapa darma ini harus diajarkan pertaman kali, ia teringat kedua gurunnya yang mula-mula, yaitu Arda Kalma dan Rudraka Ramaputra. Tetapi keduanya telah meninggal dunia. ia bermaksud mengajarkannya kepada kelima muridnya dulu ketika ia masih menjadi pertapa Gautama. 
Karena itu ia kemudian pergi ke Benares, yang jauhnya sekitar 150 mil dari tempat dia memperoleh pencerahan, untuk menemui bekas murid-muridnya itu. Peristiwa di atas mempunyai arti sangat penting dalam agama Buddha, dan disebut dengan dharma cakra pravartana sutra atau pemutaran roda dharma, yang selalu diperingati setiap tahun oleh penganut Buddha.

2.      Pengertian Buddha, Dharma, Triratna
a)  Buddha
Berasal dari kata sansekerta budh berarti menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya; bijaksana, di kenal, diketahui, mengamati, mematuhi. Hyang Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shkyamuni pendiri Agama Buddha. Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[3] ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha. 
  • b)  Dharma
Hukum kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa saja yang mengenai agama Buddha. Berhubungan           dengan ajaran agama Buddha sebagai agama yang sempurnah.
Dharma mengandung 4 (empat) makna utama :
1.   Doktrin
2.   Hak, keadilan, kebenaran
3.   Kondisi
4.   Barang yang kelihatan atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan disebabkan ketidakpuasan, buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian, filosofis psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susial, etika, dan sebagainya. Tripitaka Mahayana termasuk dalam Buddha Dharma.
c)  Tri Ratna
Seorang yang telah menjadi umat Buddha bila ia menerima dan mengucapkan Tri Ratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan altar Hyang Buddha. Tri Ratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusu sampai tiga kali atau disebut Trisarana. Tri sarana adalah sebagai berikut :
Bahasa sansekerta :
Buddha Saranang Gacchami
Dharmang Saranang Gacchami
Sanghang Saranang Gacchami

Dwipang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipang Dharmang Saranang Gacchami
Dwipang Sanghang Saranang Gacchami

Tripanang Buddhang Saranang Gacchami
Tripinang Dharmang Saranang Gacchami
Tripinang Sanghang Saranang Gacchami

Bahasa Indonesia :
Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dharma
Aku berlindung kepada Sangha

Kedua kali Berlindung kepada Buddha
Kedua kali Berlindung kepada Dharma
Kedua kali Berlindung kepada Sangha

Ketiga kali Berlindung kepada Buddha
Ketiga kali Berlindung kepada Dharma
Ketiga kali Berlindung kepada Sangha
3.   Pengertian Sadha dan Panca Sadha ( keyakinan )
A.       Keyakianan terhadap Adi Buddha
Sang Hyang Adi Buddha adalah Tuhan yang maha Esa ( swayambu lokananta’ / pelindung dunia) yang berkedudukan di Nirwana dan’Anista Buwana’ ( alam di atas alam semesta ). Istilah Adi Buddha di gunakan di pulau Jawa ( Indonesia , Nepal, dan Tibet berasal dari Mahayana di Benggala. Di Nepal dikenal juga Adinata yang berarti pelindung utama (pelindung jagad yang tidak dilahirkan).[4]
Teology Agama Buddha Indonesia Sanghayang Adi buddha adalah ‘merupakan  “sesuatu’ yang maha sakti, maha mengetahui, maha Agung yang dalam suasana Samadhi telah menyebabkan terwujudnya alam semesta dengan segala isinya. Adi Buddha telah menjadi 3 wujud :
1)      Dhayani Buddha (sukma Buddha)
2)      Dhayani Bodhisatwa (ego sang Buddha)
3)      Manusia Buddha
B.        Keyakinan terhadap Buddha, Bodhisatwa & Arahat
Perbedaan antara Arahat dan Bodhisatwa adalah, Arahat : mendapatkan pencerahan dan kebebasan bagi diri sendiri.
Bodhisatwa : ingin menolong semua makhluk dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya.
            Di dalam Mahayan timbul ajaran “banyak Buddha”, (mitlogis), dan dijabarkan dari ajaran tentang Lima Skandha, atau Lima unsur penyusun hidup manusia, yaitu :
Ø   Rupa (tubuh)
Ø   Wedana (perasaan)
Ø   Samjna (pengamatan)
Ø   Samskara (kehendak, keinginan)
Ø   Wijnana (kesadaran)
Ajaran tersebut di terapkan oleh diri Buddha sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
o  Suwarto, Buddha Dharma Mahayan. Yogyakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995.
o  Jr. Honig, Dr. A.G. Ilmu Agam. PT. BPK Gunung Mulia : Jakarta, 2009
o  Ali, Mukti.H. A. Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kali Jaga : Yogyakarta, 1988
o  Swarnasanti. E. Riwayat Hidup Buddha Gautama. Pustaka karaniya : Jakarta, 2007




Hukum kesunyataan
A.    Pengertian hukum kesunyataan
Hukum kesunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat dan serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu. Kata Kesunyataan ialah berasal dari kata sansekerta SUNYATA atau bahasa pali SUÑÑA yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan dengan kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang dan kata Sunyata/Suñña adalah dari kata SUNYA/SUÑÑA artinya pencirian segala segala sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.
Kata suññata dan sunyata dipakai untuk mencirikan kenyataan mutlak dan dalam bahasa Indonesia disebut KUSUNYATAAN. Sebagai contoh ialah : “pada 8 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor di Samudra Pasific”. Hal ini adalah sebuah kenyataan dan bukan Kesunyataan, karena kebenarannya bergantungan pada waktu dan tempat. Pari Nibbana adalah sebuah Kesunyataan, karena hanya dapat ditembus oleh Pandangan Terang dan Intuisi.
B.     Empat macam hukum Kesunyataan
Banyak empat tempat yang tidak terhitung lagi jumlahnya, ajaran tersebut dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang kali dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai-bagai cara, sehingga dapat dikenala adanya empat hukum Kesunyataan yaitu :
1.      Cattar Ariya Saccani, artinya Empat Kebenaran Mulia/Empat Kesunyataan.
2.      Kamma, artinya sebab-akibat perbuatan dan Punabbava atinya kelahiran kembali atau Tumimbal-lahir.
3.      Tilakkhana, artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkandha artinya lima kelompok kehidupan atau yang disebut manusia.
4.      Paticca Samuppada, artinya pokok permulaan Sebab-Akibat yang saling bergantungan.[5]
C.     Uraian singkat tentang Cattari Ariya Sacani, Ariya Atthangika Mangga, Kamma dan Punabbhava, Tilakkhana dan Pancakhandha, dan Paticca Samupada.
a.    Cattari Ariya Saccani
Oleh YMS Buddha Gotama, kita diajarkan untuk melepaskan diri dari belenggu napsu-keinginan, dan pengertian Nibbana itu sendiri adalah pembebasan nafsu keinginan, karena napsu keinginanlah yang mendatangkan DUKHA artinya PENDERITAAN JASMANI-ROHANI. Khotbah Hyang Budha Shakyamuni yang pertama kali kepada lima pertapa bekas teman seperjuangannya sewaktu bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela selama enam tahun lamanya.
Khotbah pertama kali ini di taman Rusia isipatana, di Mrigadava, Veranasi, atau di kenal dengan nama pemutaran roda dharma yakni mengenai 4 (empat) kesunyataan utama atau kebenaran mulia dan delapan jalan utama atau jalan benar dan suci sebagai jalan tengah.
Empat kesunyataan utama:
1.   Derita (Dukha)
2.   Asal mula derita (Dukha samudaya)
Dukkha disebabkan adanya napsu keinginan, kehausan, kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indrinya dan pikiran untuk terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai/dicintai dan hal ini mengakibatkan timbulnya proses Tumimbal-Lahir (rebirth).
1.      Penghentian derita (Dukha Nirodha)
a.    Dukha hanya dapat lenyap dengan padamnya Napsu keinginan (Tanhakkhaya) dan padamnya arus kekotoran bathin (Asavakkhaya), yang artinya berhentinya proses Tumimbal-Lahir dan tercapainya Nibbana.
b. Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka slama itu pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau Dukkha.
c.    Jalan menuju penghentian derita (marga)
Untuk dapat mencapai tujuan melenyapkan Dukkha diturunkan Delapan Ruas Jalan Utama atau Ariya Atthangika Magga, ialah :
1)    Harus memiliki pandangan yang terang.
2)   Harus memiliki pikiran yang benar.
3)   Harus memiliki ucapan yang benar.
4)   Harus memiliki perbuatan yang benar.
5)   Harus memiliki mata-pencaharian yang benar.
6)   Harus memiliki daya-upaya yang benar.
7)   Harus memiliki perhatian yang benar.
8)   Harus memiliki konsentrasi yang benar.[6]
2.         Ariya Atthangika Magga atau delapan ruas jalan utama
Delapan ruas jalan utama ini disebut JALAN-TENGAH atau MAJJHIMA-PATTIPADA adalah merupakan parama Bodhi Marga atau jalan untuk mencapai penerangan sempurna, untuk menjadi sempurna, untuk menjadi Buddha.[7] Delapan ruas jalan utama itu terdiri atas :
a.       Pandangan/pengertian benar atau Samma Ditthi
b.      Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.       Ucapan benar atau Samma Vacca
d.      Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.       Daya upaya benar atau Samma Ajiva
f.       Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.      Perhatian banar atau Samma Sati
h.      Konsentrasi benar atau Samma Samadhi

3.         Kamma/Karma atau Sebab-Akibat perbuatan
Kamma adalah kata pali dan karma adalah kata sansekerta yang secara singkat berarti “perbuatan”, yaitu setiap perbuatan didahului oleh suatu sebab dan kemudian setelah perbuatan itu dilakukan menimbulkan akibat.[8] Jadi kamma adalah suatu perwujudan dari perbuatan, yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak dan maksud perbuatan yang baik maupun yang buruk. Alam semesta ini adalah suatu perwujudan dari perbuatan (proses). Hukum Kamma itu tidak berasa dari luar, namun sebenarnya adalah hukum yang bersemayam dalam diri kita sendiri dan gerak hidupnya. Watak-watak dalam hati nuraninya dan tata-susila terutama menentukan tertib dalam semesta ini.
4.         Punnabbhava atau Tumimbal-lahir
Punnabbhava adalah kata pali dan punarbhava adalah kata sansekerta yang berarti Tumimbal-lahir atau kelahiran-kembali (rebirth). Ada 4 macam Tumimbal-lahir dari pada makhluk-makhluk :
1.      Lahir dari kandungan (JALABUJO-YONI)
2.      Lahir dari telur (ANDAJA-YONI)
3.      Lahir dari kelembaban (SANSEDAJA-YONI)
4.      Ada makhluk yang lahir spontan, langsur membesar seperti : Dewa Brahma dan makhluk Neraka serta lain-lainnya.[9]
Selanjutnya terdapat pula empat macam Tumimbal-lahir secara penyambung-kelahiran (Patishandi) di 31 alam kmehidupan yaitu :
a.       Alam kehidupan yang menyedihkan (APAYAPATISANDHI)
b.      Alam napsu yang menyenangkan (KAMASUGATIPATISANDHI)
c.       Alam yang masih mempunyai bentuk (RUPAVACARAPATISANDHI)
d.      Alam yang tidak berbentuk (ARUPAVACARAPATISANDHI)
5.         Tilakkhana atau Tiga corak umum
Tiga corak umum atau Tilakkana ini adalah yang menjadi dasar ajaran agama Buddha, terdiri dari :
a.      Anitya (Semua bentuk yang terkondisi adalah tidak kekal)
b.      Dukkha (Semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna)
c.       Anatman (Semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak terkondisi adalah tanpa “Aku”, arti lainnya beahwa segala sesuatu tidak mempunyai inti yang kekal abadi atau tidak adanya eksistensi pribadi (tanpa “Aku”). [10]

D.    PATICCA SAMMUPPADA
Paticca Samupapada mempunyai arti : “Timbul atas dasar dari suatu sebab sebelumnya, terjadi dengan cara dari sebab, kejadian sebab musabab, ketergantungan asal mula”. Kata ini berasal dari da (dyati; mengikat) dan ni (terus), memberikan kesan suatu rangkaian atau rantai yang berhubungan. Kata itu berarti; suatu permulaan atau sabab utama, dasar, suatu sebab, utama atau jauh; sumber, asal mula, sebab. Dua belas Nidanas itu ada dalam risalah Sansakerta sebagai berikut :
“Dari ketidaktahuan (awidya) sebagai sebab timbul Kesadaran (Vijnana); dari kesadaran sebagai sebab timbulnya Nama dan Wujud (Nama-Rupa); dari Nama dan Wujud sebagai sebab timbulnya Enam Bidang Pengertian (Sad-ayatana); dari Enam Bidang Pengertian sebagai sebab timbulnya Hubungan (Sparca); dari Hubungan (Sparca) sebagai sebab timbulnya Perasaan (Vedana); dari Perasaan (Vedana) sebagai sebab timbulnya Idaman (trsna); Idaman (trsna) sebagai sebab timbulnya Tamak/Kemelekatan (Upadana); dari Tamak/Kemelekatan (Upadana) sebagai sebab timbulnya Kejadian (Bhava); dari Kejadian (Bhava) sebagai sebab timbulnya Kelahiran (Jati); dari Kelahiran (Jati) sebagai sebab timbulnya usia tua, kematian, duka-cita, ratapan, perasaan sakit, kekesalan, dan keputusasaan. [11]


DAFTAR PUSTAKA
·         Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: karaniya. 2007
·         Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995)
·         Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
·         Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)













KEYAKINAN TERHADAP KITAB SUCI TRIPITAKA (SUTRA PITAKA, VINAYA PITAKA, ABIDHARMA PITAKA DAN BAGIAN-BAGIANNYA)
A.  KITAB SUCI TRIPITAKA
Ajaran agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah, keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata dan komentar-komentar dari para siswanya[12]. Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka, Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a.      Sutra Pitaka
Sutra (bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu ‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[13]. Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma) atau ajaran Buddha kepada muridnya[14]. Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[15] Kitab ini terdiri atas lima 'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu:[16]
-             Dighanikaya, Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajala Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada Sutta (memuat patokan-patokan yang penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahasatipatthana Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang, Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang Buddha Gotama)
-             Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian (pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta, Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
-             Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka, yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
-             Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56 bagian yang disebut Samyutta.
-             Khuddakanikaya, terdiri atas 15 kitab.
b.      Vinaya Pitaka
Winaya Pittaka berisi peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat, kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib, dan sebagainya[17]. Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi para Bhikku dan Bhikkuni.[18]  dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan Parivawa[19].
v  Kitab Sutra Vibanga berisi peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227 peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha dan tidak dapat menjadi bhikkhu lagi seumur hidup. Keempat pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang dicapai.  Untuk ketujuh jenis pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih banyak.
v  Kitab Khandaka terbagi atas Mahavagga dan Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa (pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun, peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab Cullavagga berisi peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah, menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha, penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
v  Parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang disusun dalam bentuk tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Skema umum isi Vinaya Pitaka[20]:
Ø  Bagian yang berhubungan dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan untuk para biksu atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku vibhanga).
Ø  Bagian yang sama untuk para bhikkuni.
Ø  Suatu bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha, seperti pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan lain sebagainya
Pitaka ini terdiri dari lima buku berikut ini :
1)         Parajika Pali (Pelanggaran Berat)
2)         Pacittiya Pali (Pelanggaran Ringan)
3)         Mahavangga Pali (Kelompok Besar)
4)         Culavagga Pali (Kelompok Kecil)
5)         Parivara Pali (Ikhtisar Vinaya)[21]
c.       . Abbidharma Pitaka
Abidharma atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra, memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka[22]. Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain sebagainya[23].
Abidharma pitaka tersusun dari risalat berikut :
a)         Dhammasangani (Penguraian Damma).
b)         Vibhanga (Buku Telaah).
c)         Dhatukhata (Pembahasan Unsur).
d)        Puggalapannatti (Penjabaran Individu).
e)         Kathavatthu (Titik Kontroversi).
f)          Yamaka (Buku Pasangan).
g)         Patthana (Buku Kaitan Musababab).[24]
DAFTAR PUSTAKA
·         Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
·         Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
·         Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983)
·         Sumber : Makalah Dede Ardi Hikmatullah

A.    Pengertian Nibbana
Nibbana adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa Sansekerta.[25] Nibbana terdiri dari kata Ni yang artinya padam dan Vana berarti Jalinan atau Keinginan. Keinginan ini bertindak sebagai suatu tali yang menghubungkan suatu kehidupan dengan kehidupan yang lain. Nibbana juga diterangkan sebagai pemadam api nafsu keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha). Selama seseorang terikat dengan Keinginan atau Kemelekatan orang tersebut menimbun kegiatan Kamma[26] baru yang pesti terwujud dalam bentuk seseorang atau bentuk yang lain dalam lingkaran kelahiran dan kematian yang terus menerus. Bila semua bentuk keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian.[27]
Jika Nibbana merupakan sebuah ketiadaan, Nibbana harus benar-benar sama dengan ruang (Akasa). Baik ruang maupun Nibbana adalah abadi dan tidak berubah. Ruang abadi karena tidak ada apa-apa di dalamnya. Nibbana tidak berruang dan tanpa batas waktu. Oleh karena itu Nibbana umat Buddha bukan suatu ketiadaan maupun bukan suatu penghentian belaka.[28]
Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada disebut Sopadisesa Nibbana Dhatu, seperti yang dicapai oleh Buddha Gotama didalam kehidupannya di dunia ini. Meskipun batin Beliau telah bersih dari keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha), sebelum menjadi Buddha, beliau dilahirkan sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih daapat wafat. [29] Kemudian setelah hancurnya tubuh (mati), tanpa suatu sisa dari kehidupan jasmani disebut Anupadisesa Nibbana Dhatu.
Jadi Nibbana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1.         Nibbana yang masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini dicapai dalam kehidupan di dunia ini (Sopadisesa Nibbana Dhatu)
2.         Nibbana yang tidak mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal dunia (Anupadisesa Nibbana Dhatu)
Dalam Itivuttaka Sang Buddha mengatakan :
“O para Bhikku, ada dua unsure Nibbana. Apakah itu ? Unsur Nibbana dengandasar masih sisa dan yang tanpa dasar.”
“… seorang Bhikku sebagai seorang Arahat, seorang yang telah membasmi kekotoran, yang telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus dilakukan, menyisihkan beban, yang telah mencapai tujuannya, yang telah membasmi belenggu kehidupan. Lima organ indranya masih ada, dan oleh karenanya ia mengalami pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan…”[30]
B.     Jalan untuk mencapai Nibbana
1.      Delapan Jalan Ruas Utama/jalan tengah
Jalan menuju Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjima Patipada) yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim pengumbaran napsu yang menghalangi kemajuan moral. Jalan tengah ini terdiri dari delapan unsur sebagai berikut :
1.      Pengertian benar
2.      Pikiran Benar
3.      Ucapan Benar
4.      Perbuatan Benar
5.      Mata Pencaharian Benar
6.      Usaha Benar
7.      Perhatian Benar
8.      Konsentrasi Benar
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha. Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Mempunyai dua tujuan melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik. Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
·         Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang sendiri.
·         Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
·         Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan dengan kekejaman atau kebengisan.
2.      Yang lenyap di Nibanna
Orang yang telah mencapai Nibanna disebut “orang yang sempurna”, seperti YMS Buddha Gotama.orang yang sempurnah telah membuang ikatan, semua ikatan terhadap badan jasmaninya, perasaannya, pencerapannya, bentuk-bentuk pikirannya dan kesadarannya sampai ke akar-akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan kembali dalam kehidupan. Sekarang orang sempurnah telah wafat, telah bebas dari ikatan badan jasmaninya, perasaannya, bentuk-pikirannya dan kesadarannya. Orang yang sempurnah hanya dapat dilihat oleh orang yang telah melihat Damma, dan siapa yang melihat orang sempurna, iya melihat Dhamma. Demikianlah orang yang sempurna merupakan badannya Dhamma dan bersatu dengan Sangyang Adi Buddha.

3.      Orang yang telah mencapai Nibanna bebas dari lahir, derita, umur-tua dan mati; lobha, dosa dan moha.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibanna, yang telah terbebas dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala ikatan napsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Manusia yang demikian tidak lagi terikat oleh Tumimbal lahir dan kematian.[31]
Dimana saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti menyenagkan, baik di kota, di kampus maupun di dalam hutan, di laut maupun di darat. Cita-cita umat Buddha, pertama-tama iyalah untuk mencapai tingkat kesucian, untuk menjadi manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai tingkat ke-Buddha-an dan Nibanna.
C.     Sifat-Sifat Nibbana
Berlawanan dengan Samsara (perwujudan keberadaan) Nibbana adalah kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).
Kekal (dhuva)
Sifat Nibbana adalah Esa dan tidak di ciptakan. Didalam kitab Udana dijelaskan tentang ke-Esa-an Nibbana ini demikian:
Disana oh para siswa, segala sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya, tidak terbentuk, tidak diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang dilahirkan, tidak ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak mungkin menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak lagi ada bentuk, dan tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak berlu dan tidak mungkin lagi menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk Pencipta.[32]
Diiinginkan (subha)
Kehidupan adalah milik manusia yang paling dicintai tetapi ketika ia dihadapkan dengan kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi dan beban-beban yang tak tertahankan, lalu hidup itu menjadi suatu beban yang amat berat. Kadang-kadang ia mencoba untuk mencari pembebasan dengan mengakhiri hidupnya, seolah olah bunuh diri dapat menyelesaikan masalah.[33]

Bahagia (sukha)
Kebahagiaan Nibbana harus dibedakan dari kebahagiaan duniawi biasa. Kebahagiaan Nibbana tidak membosankan atau monoton. Ini adalah suatu bentuk kebahagiaan yang tidak pernah membisankan, tidak pernah berubah. Ini muncul dengan menghilangkan nafsu keinginan tidak sama dengan kebahagiaan duniawi yang sementara, yang diakibatkan oleh kepuasan hawa nafsu.
Sang Buddha menyebutkan sepuluh tingkat kebahagiaan yang dimulai dengan kesenangan materi yang kasar yang diakibatkan oleh rangsangan hawa nfsu yang menyenangkan. Seperti seorang naik makin lama makin tinggi di dalam taraf moral, macam kebahagiaan menjadi lebig agung, luhur dan halus, begitu sampai dunia hampir tidak mengenalnya sebagai kebahagiaan. Dalam Jhana pertama seseorang mengalami suatu kebahagiaan yang sukar dipahami, tidak tergantung pada lima panca indra secara mutlak. Kebahagiaan ini disadari dengan menghambat keinginan kesenangan hawa nafsu yang sangat dijunjung. Dalam Jhana keempat, bagaimanapun, bahkan macam kebahagiaan ini dibuang sebagai hal yang kasar dan tidak menguntungkan, dan ketenangan hati dikatakan kebahagiaan.[34]

  DAFTAR PUSTAKA
o  Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980)
o  Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992)
o  Sumber : Makalah Fitri Astuti

A.    Pengertian Meditasi
Kata “meditasi” berasal dari bahasa Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan, memikirkan, mempertimbangkan atau latihan, pelajaran persiapan. Dalam Kamus Teologi meditasi adalah do’a batin, merenungkan Kitab Suci atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan mencapai kesatuan dengan Allah dan memperoleh pemahaman atas kehendak Illahi. Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula, latihan meditasi langkah demi langkah akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi yang lebih tinggi dan sederhana.[35]
Menurut KBBI, meditasi artinya pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi mengandung pengertian yang sama dengan tafakur. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh, memikirkan, merenung atau mengheningkan cipta. Semua istilah tersebut sering disebut sering dinamakan semadi. Bersemadi adalah memusatkan pikiran (meniadakan segala hasrat jasmaniah).[36] Bersemadi juga sama dengan bertapa. Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian orang-orang (dunia) dengan menahan hawa nafsu untuk mencari ketenangan batin.
Lima ciri ketenangan pertama (pathama jhana):
1.      Vitaka :saat merenungkan dan berusaha memegang objek.
2.      Vicara  : dapat memegang objek dengan kuat.
3.      Piti       : kegiuran yang amat dalam sewaktu meditasi
4.      Sukha : kebahagiaan yang sulit digambarkan sewaktu meditasi
5.      Ekaggatarama : batin terpusat, pikiran tidak lari kemana-mana, dan bersatu dalam objek.
B.     Tujuan meditasi
Sebelum kita membahas tentang pembagian meditasi, kita juga perlu mengetahui tujuan dari meditasi itu sendiri. Karena dengan adanya tujuan, kita dapat mengetahui kenapa orang-orang budha sering melakukan praktek meditasi.
Tujuan terakhir meditasi adalah sama dengan tujuan akhir dari Buddha Dharma, yaitu untuk mencapai Nirwana, dan menghapuskan, dan diluar bentuk-bentuk pengalaman manusia biasa. Oleh karena itu mereka tidak banyak membicarakan tentang Nirwana sebelum mendapat kemajuan untuk mencapainya sendiri, sebagai suatu jalan yang langsung diluar pemikiran logika dan rasa pencerapan. Akan tetapi dalam agama Buddha lebih banyak mengarahkan pelajarannya pada dua macam yang lebih penting, langsung, nyata, dan dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan pengalaman. Pertama adalah pemeliharaan serta bertambahnya dan berkembangnya perasaan-perasaan yang positif dan mulia, seperti: cinta kasih, kasih sayang, kesucian batin, keseimbangan, dan perasaan simpati pada orang lain. Dan yang kedua adalah melenyapkan kelobaan, kebencian, kegelapan batin, kesombongan, nafsu-nafsu, dan semua perasaan negatif (buruk).
C.    Persiapan dalam meditasi
Dalam melakukan meditasi harus ada persiapan terlebih dahulu. Usaha yang pertama dalam latihan meditasi adalah menenangkan pikiran, memperbesar kebebasan dan mempertinggi ketelitian.dengan keadaan pikiran yang bebas dan objektif, serta diikuti oleh pandangan terang, barulah dapat dengan siap sedia menghadapi dan melenyapkan perasaan-perasaan yang negatif. Menurut mereka, terkait dengan kehidupan yang serba modern sekarang ini banyak mengandung segi-segi yang dapat merintangi dalam latihan dan kemajuan meditasi, yaitu:
·         Rintangan yang berbentuk kejiwaan,
·         Materi,
·         Keadaan sosial.
D.    Cara atau teknik dari meditasi
Di dalam delapan jalan utama no.7 disebutkan tentang: Perhatian yang benar, yang dinamai juga Empat Dasar Kesadaran (Sattipatthana). Keempat bagian dari Empat Dasar Kesadaran itu adalah:
®    Kesadaran terhadap jasmani, kesadaran ini terbagi menjadi 6 bagian:
§  Kesadaran terhadap pernafasan
§  Kesadaran terhadapsikap badan
§  Kesadaran terhadap gerakan badan
§  Kesadaran terhadap proses yang mengerikan
§  Kesadaran terhadap unsur-unsur materi
§  Kesadaran terhadap kekotoran badan
®    Kesadaran terhadap perasaan 
®    Kesadaran terhadap pikiran
®    Kesadaran terhadap bentuk-bentuk pikiran[37]
Dalam ajaran Buddha, kesadaran sejati merupakan dasar dari hidup yang baik yang tidak boleh ditinggalkan dimanapun, dan kapanpun oleh setiap orang. Hal ini merupakan syarat pokok bagi semua, bukan hanya pengikut Sang Buddha, akan tetapi untuk mereka juga yang ingin berusaha mengatur dan mengendalikan (menguasai) pikirannya yang sangat sulit dikendalikan juga bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin memperkembangkan kecakapannya yang masih terpendam sehingga dapat mencapai kebahagiaan yang besar.
E.     Meditasi untuk mencapai ketenangan batin
Dua ribu lima ratus tahun yang lampau, seorang putra mahkota pada usia dua puluh sembilan tahun, saat seseorang berada di puncak kegemilangan hidup, telah meninggalkan tahta yang penuh dengan kemegahan dan kekuasaan dan pergi menyendiri ke hutan menjauhi keduniawian mencari obat untuk mengatasi penyakit kehidupan, mencari jalan keluar dari belenggu ketidakpastian untuk mencapai Nibbana.
Di bawah bimbingan para ahli meditasi pada zaman itu, beliau mencari dengan harapan bahwa mereka dapat menunjukkan jalan ke arah pembebasan dan kebijaksanaan; beliau melatih konsentrasi, pemusatan perhatian (samatha atau samadhi) dan telah mencapai tingkat-tingkat tertinggi dari latihan-latihan tersebut. Namun beliau merasa tak puas dengan semua itu karena tidak menghasilkan Penerangan Agung. Pengetahuan dan kemampuan guru beliau cenderung pada mistik dan karenanya tidak memuaskannya untuk mencari apa yang masih belum diketahuinya.
Menjadi kepercayaan di India pada zaman itu, terutama di kalangan para ahli kebatinan (ascetic), bahwa penyucian batin dan kebebasan akhir batin dapat diperoleh dengan melatih diri secara keras, kalau perlu dengan menyiksa diri. Beliau memutuskan untuk membuktikan kebenarannya. Beliau mulai berjuang untuk melatih jasmaninya dengan harapan, agar batinnya dapat mengatasi jasmaninya dan mampu membebaskan dirinya. Dengan amat tekun dan rajin beliau berlatih. Beliau hanya hidup dengan makan dedaunan, akar-akar pohon kemudian mengurangi jumlah makanan sehingga amat minim, pakaiannya sangat bersahaja yang dihimpunnya dari sampah buangan dan tidur di antara bangkai atau di atas duri. Kekurangan makan dan minuman membuat jasmani beliau sangat lemah.
Selama enam tahun lamanya beliau berjuang sedemikian kerasnya hingga hampir mendekati pintu ajal, namun tujuan tetap tak tercapai. Cara menyiksa diri jelas baginya tidak berarti melalui pengalamannya sendiri. Percobaan dengan cara seperti itu ternyata gagal. Namun beliau tidak putus asa. Dengan pikiran yang kuat dan kemauan yang membara, beliau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan. Beliau berhenti menyiksa diri dan berpuasa yang ekstrim itu dan kembali makan minum seperti biasa. Jasmani beliau yang telah lemah dan kurus itu kembali pada keadaan sehat seperti dulu. Beliau kini menyadari bahwa Jalan ke arah keberhasilan yang diidamkannya terletak pada penyelidikan ke dalam yaitu akan kemurnian batin sendiri, tanpa bantuan guru, beliau memutuskan untuk bertapa menyendiri untuk mencapai tujuan akhir.
Dengan bersila di bawah pohon yang kemudian terkenal sebagai pohon Bodhi atau pohon Penerangan Sempurna, di tepi sungai Neranjara, di Gaya (kini dikenal dengan sebutan Buddhagaya) suatu tempat yang sejuk dan mendorong kemantapan batin dan dengan tekad yang membaja : ‘Sekalipun badanku tinggal kulit dan tulang serta darahku mengering, aku takkan meninggalkan tempat ini sebelum mencapai Penerangan Sempurna’. Begitu mantap usahanya, begitu kuat pengabdiannya, begitu keras tekadnya dalam mencapai kebenaran dan memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi.
Dengan akhir pandangan seperti itu, beliau menyelusuri kedalaman batinnya untuk mencari cara meditasi yang dapat memberi ketenangan mutlak, penerangan dan kebebasan. Dengan cara Ana-apana-sati, beliau mencapai dan memasuki Jhana pertama (hasil kedalaman meditasi yang disebut juga Dhyana – Sankrt, suatu istilah yang sulit diterjemahkan). Secara bertahap beliau mencapai dan memasuki Jhana kedua, ketiga dan keempat. Dengan demikian beliau mempersiapkan diri membersihkan kekotoran batin yang masih melekat dan mampu mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana bhavana), Pandangan Benar dan Kebijaksanaan Mutlak, yang membuat orang mampu memandang sesuatu sebagaimana adanya dengan mengetahui ketiga corak umum (Tilakkhana) atau tiga sifat dari apa saja yang saling terkait yaitu anicca, dukkha dan anatta. Dengan Pandangan Terang ini, dengan penembusan yang bijaksana beliau mampu memahami dan mengetahui semua kesempurnaannya, yaitu yang disebut sebagai Empat Kesunyataan Mulia tentang penderitaan, sebab musababnya, lenyapnya dan cara mengakhiri.
Dengan mengetahui kesunyataan tersebut maka batinNya terbebas dari segala akar atau ikatan kenikmatan indriya (kama-asava), kotoran batin kehidupan (bhava–asava), kegelapan batin (avijja–asava). Sewaktu batin terbebas dari mereka, segeralah tumbuh pengetahuan dan pengertian : ‘Pandangan Benar timbul padaku, tak tergoyahkan kebebasan batinku. Inilah kelahiranku yang terakhir, tiada kelahiran lagi untuk selanjutnya bagiku, tak ada hasrat untuk menjadi’.
            DAFTAR PUSTAKA
            Krishnanda Wijaya-Mukti. Wacana Buddha-Dharma.(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003)
                Honig, Ilmu Agama. PT BPK Gudang Mulia: Jakarta, 2009
                Sumber : Kebahagaiaan dalam Dhama. Majelis Budhayana Indonesia
                Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Karaniya: Jakarta, 2007
           
A.     Nichiren Syosyu di Jepang
Nichiren Shōshū (日蓮正宗) adalah sebuah aliran agama Buddha yang berasal dari Jepang. Pendiri ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok[rujukan?]. Sekte ini merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang. Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang. Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai pendiri sekte Nichiren Shoshu.
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam teriminologi buddhisme dinamakan dasar sutra. Sutra adalah catat catatan tertulis dari ajaran sang Buddha Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing. Setelah Sang Buddha Sakyamuni moksa, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai, maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo. Sastra adalah penjelasan, penguraiaan, pemaknaan dari sebuah sutra. Kumarajiva adalah seorang bhikku dari India yang menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Beliau adalah salah satu peterjemah sutra dari bahasa Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa yang sangat terkenal dan terpercaya. Kumarajiva diyakini mampu "memindahkan" makna sutra dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa dan karya agung beliau tersebut sampai saat ini masih ada dan masih diterbitkan dalam buku di Jepang dan Taiwan. Sebagai "bukti" hal tersebut, ketika beliau wafat dan di kremasi, lidah beliau, tidak bisa terbakar.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra. Dalam bahasa Tionghoa Saddharma Pundarika Sutra disebut Miao Hua Lien Hwa Cing dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo. Sutra Saddharma Pundarika adalah ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, Myohorengekyo atau Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Buddha Nichiren Daishonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal 16 Februari 1222 di desa kecil Kominato, Provinsi Awa (sekarang daerah Chiba) Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhikkhu. Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan nama Zesho-bo Renco.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte di berbagai kuil, maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut diri Nichiren.
Adapun ajaran-ajaran dari Nichiren Daisonin:[38]
a.    Nam-myoho-renge-kyo,
b.   Gohonzon,
c.    Teori ‘kaida’
Selain ajaran tersebut Nichiren Daisonin juga meramalkan, jika yang berwajib tetap mengingkari hukum yang benar, dua bencana besar akan menimpa jepang. Diantaranya:[39]
1.    Penyerbuan orang asing
2.   Perang saudara yang meluas
B.     Nichiren Shoshu di Indonesia
Nichiren Shoshu mulai berkembang luas di Jepang, setelah Perang Dunia II di bawah pendudukan tentara Amerika, yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut membentuk organisasi massa umat awan bernama Sokagakai dan kemudian menjadi wadah dan motor penggerak penyiaran agama ini.
Shintaro Noda, pegawai Nissho Iwai, sejak tahun 1920-an telah menetap di Indonesia, sempat menjadi tawanan tentara sekutu di Jawa dan Australia, dan karena itu menderita berbagai penyakit, akhirnya dipulangkan tentara sekutu ke Jepang. Di Jepang beliau bergabung dengan Sokagakkai dan menganut Nichiren Shoshu berhasil sembuh dari penyakit.
Pada akhir tahun 1940 akhir Shintaro Noda, anggota Sokagakkai, pegawai Nissho Iwai kembali bertugas di Indonesia dan sekaligus menjadi penyiar agama Nichiren Shoshu sekaligus pimpinan Nichiren Shoshu di Indonesia sampai awal tahun 1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada Sokagakkai dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional.
Pemerintahan Orde Baru yang diskriminatif, mengkategorikan semua agama Buddha sebagai unsur-unsur budaya Tionghoa yang tidak boleh berkembang dan segala kegiataanya harus diawasi menimbulkan berbagai goncangan. Terpaksa dibuat Yayasan Nichiren Shoshu Indonesia pada tahun 1967, yang sebenarnya dipimpin oleh bukan umat Nichiren, melainkan saudara sepupu dari seorang penganut. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekacauan kepemimpinan karena pimpinan de facto Shintaro Noda yang berkewarganegaraan Jepang tidak dapat menjadi pemimpin de jure. Akhirnya pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota sokagakkai.
Di kemudian hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya Ir Soekarno, seorang mantan menteri pada masa Orde Lama, menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di Indonesia, mewakili NSI menjadi pendiri organisasi yang sekarang bernama WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Pada tahun 1980 perjuanggan untuk menyebarkan agama Buddha Nichiren Syosyu telah terprogram dengan uraian sebagai berikut:[40]
-          Masa perkenalan (1963 - 1972)
Tahun 1965 sampai dengan tahun 1972, merupakan masa perkenalan agama Buddha Nichiren Syosyu di indonesia. Dengan lahirnya orde baru, semua agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Bagi agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia era ini digunakan untuk mengatur dan menyusun organisasi dengan ketentuan Hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia. Sehingga terlahirlah “Yayasan Buddhis Nichiren Syosyu Indonesia tertanggal 22 September 1970 No. 76”, yang telah dipertegas  dalam anggaran dasarnya, khususnya perihal maksud dan tujuan yang sejalan dengan cita-cita bangsa indonesia dalam pembangunan nasional yang tertuang dalam GBHN berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Tujuh tahun dalam masa ini merupakan perjuangan yang berat dalam membangun suatu himpunan yang kuat berdasarkan prinsip-prinsip Ajaran Sang Buddha secara murni dan tetap. Tantangan yang terbesar pada masa ini adalah terjadinya perbadaan pendapat dikalang pimpinan sekitar tahun 1971 – 1972. Namun berkat maitri karuna (welas asih) dan kekuatan gohonzon, krisis besar itu dapat diatasi, sehingga pada tahun itu juga sejumlah 39 anggota Nichiren Syosyu Indonesia berziarah ke kuil Pusat Ghohondo pad tanggal 1972, yang merupakan bukti berhasilnya menatasi krisis tersebut dan berakhirnya masa perkenalan ini.[41]
-       Masa pembuktian Identitas  (1972 - 1979)
Pada masa ini berarti bahwa agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia harus dapat menunjukan identitasnya sebagai berikut:
a.    Agama Buddha Nichiren Syosyu adalah bukan agama jepang dan betul-betul Agama Buddha dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan berkepribadian Nasional.
b.   Agama Buddha Nichiren Syosyu bukan agama yang eksklusif untuk orang-orang atau tertentu saja, tetapi adalah agama untuk lapisan masyarakat berdasarkan prinsip "Icien Bodai Soyo” (Gohonzon yang dianugrahkan untuk seluruh umat manusia).[42]
DAFTAR PUSTAKA
o   Daisaku Ikeda.  Buddhisme: falsafah Hidup. Alih Bahasa: Soedibyo.  Jakatra: PT Intermasa,  1988.
o   Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia.  Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Nicirren Syosyu di Indonesia.
o   Sumber : Makalah Nur Zaman





A.    Sejarah Buddhisme Zen
Zen di India
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana. Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin "Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali "jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”.
Jhana atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata ‘dhyāna’ (sansekerta) atau ‘jhana’ (pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek meditasi atau samadhi.
Sejarah Zen dimulai dari India. Seiring perubahan zaman, Hinduisme—yang juga merupakan akar Buddhisme—yang sempat tersingkir oleh beberapa ajaran baru yang muncul di India; kembali menemukan jalan kebangkitannya. Beruntung sebelum Buddhisme tergusur oleh Hinduisme—karena Hinduisme mengalami kebangkitan—pengaruh Buddhisme telah tesebar melintas benua hingga ke Cina. Agama Buddha Mahayana, salah satu sekte dalam Agama Buddha, dibawa ke Cina oleh Boddhidharma[43].
Pada masa Sang Buddha, yoga sebagai konsentrasi terhadap Brahman dipraktikkan secara luas. Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu: pencapaian ketenangan dengan duduk bermeditasi. Faktanya, metode-metode dalam yoga dewasa ini terbatas hanya berkaitan dengan apa yang harus dimakan, berpuasa, dan sumpah-sumpah tertentu; seperti sumpah untuk tetap berdiri dengan satu kaki dengan tujuan untuk memperpanjang waktu. Melalui sejenis pertapaan dan kesatuan seluruh latihan, yogi melatih dirinya sendiri untuk mengabaikan hal-hal yang bersifat eksternal dan mengontrol pergerakan ruhnya sendiri hingga yang paling tipis sekalipun[44].
Sang Buddha mempraktikkan yoga ini selama dua belas tahun sejak ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengunjungi orang-orang suci dan menanyai orang-orang bijak, berkelana ke empat penjuru negeri. Akan tetapi, pada akhirnya Sang Buddha tidak menemukan jawaban terhadap dua pertanyaannya yang esensial melalui Yoga. Yaitu: Apa itu manusia dan Bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya?[45]
Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh umat manusia.
Guru-guru Zen
Aliran Zen dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal dari India dan merupakan murid generasi ke-28 setelah Mahakassapa (dalam Bahasa Pali; bahasa Sanskerta:Mahakasyapa). Sekitar tahun 520 dia pergi ke Tiongkok Selatan di kerajaan Liang. Dia kemudian bermeditasi selama 9 tahun menghadap dinding batu di vihara di Luoyang. Di sinilah juga dipercayai berdirinya vihara Shaolin (少林寺).
Aliran Zen asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
1.         Bodhidharma (atau Damo 達摩) lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528
2.         Dazu Huike (慧可) lahir 487 - meninggal 593
3.         Jianzhi Sengcan (僧燦) lahir ? - meninggal 606
4.         Dayi Daoxin (道信) lahir 580 - meninggal 651
5.         Hung Ren (弘忍) lahir 601 - meninggal 674
6.         Hui Neng (慧能) lahir 638 - meninggal 713
Seni Zen
Dari abad ke-12 dan abad ke-13, perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran ini oleh Dogen dan Eisai setelah mereka pulang dari Tiongkok. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik". Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara minum teh) atau Ikebana; seni merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran (seni beladiri).
Zen in Cina
Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian mentransmisikan (semacam mewariskan) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina. Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Boddhidharma merepresentasikan generasi ke dua puluh delapan dari Sesepuh dalam Agama Buddha. Pada saat itu Cina dibagi menjadi tiga wilayah yang saling bermusuhan. Kekacauan terjadi dimana-mana menunjukkan pergolakan yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Negara itu dipimpin oleh para tiran dan berdarah-darah karena pemberontakan. Dinasti Liang memimpin satu wilayah kuno di Cina. Kerajaan Wu-Ti, merupakan kepala dinasti ini dan seorang buddhis yang kuat, mendengar tentang Boddhidharma dan mengundangnya untuk datang ke istananya. Wu Ti menanyakan “apa yang menjadi ajaran dasar dalam Agama Buddha?’ dan Boddhidharma menjawab, ‘satu kekosongan yang besar sekali. Langit yang cerah. Langit yang tidak menunjukkan yang tercerahkan dan yang bodoh. Dunia yang tepat sebagaimana seharusnya”. Meskipun keinginannya untuk menjadi seorang Buddha sangat kuat, Wu Ti tidak memahami pesan yang dibawa oleh Boddhidharma dan kemudian menyadari bahwa pada masa itu untuk Zen belum siap untuk disebarkan di Cina. Karenanya, ia menyeberangi sungai Yang-Tse dan beristirahat di Kuil Shorin di Gunung Utara. Di sana, ia membpraktikkan duduk Zazen di hadapan sebuah tembok selama sembilan tahun, beberapa mengatakan tanpa henti. [46]
Zen di Jepang
Aliran Mahayana berkembang di Cina kemudian diperkenalkan ke Jepang lewat Korea, yakni ketika raja Kudara mengirimkan kitab-kitab dan patung-patung Buddha kepada Kaisar Jepang. Pada mulanya, kehadiran agama baru ini ditentang. Sejak tahun 552M Buddhisme telah masuk ke Jepang dan Cina. Ajaran-ajaran Buddha dengan cepat tersebar setelah timbul anggapan bahwa dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Shintoisme. Sebenarnya, corak kepercayaan Buddhisme di Jepang terbagi menjadi dua. Yang pertama, kelompok yang ingin mencapai kelepasan dengan usahanya sendiri, yang kemudian disebut Zen Buddhisme. Yang kedua, ignin melepaskan diri dnegan pertolongan dewa-dewa.
Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari perkembangan Zen. Terima kasih kepada Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan Keizan (Pendiri aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang ketat yang didisain untuk mengartikulasikan penciptaan mentail. Koan atau pertanyaan yang membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang sangat penting dan ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin langsung untuk ke pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran (awakening).
Ajaran-ajaran Zen Buddhisme
Meskipun dikatakan bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen Buddhisme:
a.                   Surangama Sutra
b.                  Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.                   Lankavatara Sutra,
d.                  Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.                   Sutra Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
DAFTAR PUSTAKA
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991
What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html; tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
Sumber : Makalah Fatimah Al Bathul



[1] Mukti, Ali, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kali Jaga, 1988), hlm. 106
[2] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009 )
[3] Waktu kosmik adalah kalpa, satu kalpa adalah suatu periode waktu yang sangat lampu yaitu 4326 juta tahun.
[4] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009 )
[5] Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)
[6] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1
[7] Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia) 
[8] Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)

[10]Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[11] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.63
[12] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), h. 112

[13] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. (Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[14] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[15] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983), h. 215
[16] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112

[17] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[18] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[19] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[20] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[21] Sumber : Makalah Dede Ardi Hikmatullah
[22] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[23] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[24] Sri Dhammananda, Keyakinan Umat Buddha, h. 93
[25]                Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[26] Kamma secara harfiah berarti perbuatan atau tindakan.
[27] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 173
[28] Ibid 174-177
[29] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[30] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 178-179
[31] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma,(Jakarta : 1980)
[32] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 135

[33] Sumber : Makalah Fitri Astuti
[34] Sumber : Makalah Fitri Astuti
[35] Krishnanda Wijaya-Mukti. Wacana Buddha-Dharma.(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), h.212
[36] Ibid.
[37] Ibid, hal.157
[38] Majelis Agama Mahayama Indonesia, h.522.
[39] Daisaku Ikeda.  Buddhisme: falsafah Hidup. Alih Bahasa: Soedibyo.  Jakatra: PT Intermasa,  1988.
              [40] Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia.  Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Nicirren Syosyu di Indonesia.
  [41] Dikutip dari buku: Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia. Sejarah dan Perkembangannya Agama Buddha Nicirren Syosyu di Indonesia.

[42] Sumber : Makalah Nur Zaman
[43] Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:35
[44] What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html; tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
[45]Ibid.
[46] Sumber : Makalah Fatimah Al Bathul

0 komentar:

Posting Komentar

Poll

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Download

Entri Populer