1. Riwayat
Sidharta Gautama
a) Kehidupan
sang Buddha
Buddha Gautama dilahirkan dari rahim
dewi Mahayana sekitar tahun 560 S.M. di taman Lumbini di kerajaan Kapilawastu,
India Utara, sekitar 100 mil dari Benares. Ayahnya, Suddhodana, adalah seorang
raja kecil yang berasal dari dan memerintah suku Sakya. Ketika Buddha
dilahirkan, wilayah India masih terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil
yang menguasai masyarakat dalam bidang sosial politik maupun moral keagamaan.
waktu itu India juga belum memiliki kesatuan bahasa. Reaksi antara lain muncul
dalam bentuk aliran Carvaka yang jelas-jelas menentang kaum Brahmana dan beranggapan
bahwa yang ada hanya jagad (loka) ini tidak ada sesuatupun di atas atau
sesudahnya sehingga sering disebut lokayata.
Dalam situasi seperti itulah Buddha
Gautama dilahirkan, dibesarkan, mencari makna hidup dan mengembangkan
penemuannya dalam masyarakat. Kelahiran Buddha sebagai manusia, sebagaimana
digambarkan dalam naskah-naskah Mahayana, diliputi berbagai legenda yang
melambangkan akan mengandung bermimpi ada gajah putih yang masuk ke dalam
perutnya. Siddharta Gautama sendri konon dilahirkan dengan berdiri tanpa
ternoda oleh darah dan langsung dapat berjalan sejauh tujuh langkah; pada
setiap bekas telapak kakinya tersembul bunga teratai, dean pada langkah yang ke
tujuh ia berhenti dan memperlihatkan kebesarannya. Dikisahkan pula bahwa pada
waktu iua lahir, dunia diliputi dengan dengan cahaya terang benderang.
Orang-orang buta sangat berhasrat menyaksikan kegemilangannya yang segera tiba,
sehingga mereka dapat melihat kembali, orang-orang tuli dan bisu menjadi mampu
berbicara tentang hal-hal yang akan datang, dan orang-orang yang cacat menjadi
normal kembali. Para tawanan terlepas dari rantai yang mebelenggu mereka, dan
nyali api neraka padam. Bahkan,kekejaman binatang buas hilang disaat kedamaian
tengah meliputi seluruh bumi. Hanya Mara, si jahat, yang tidak
bergembira.[1]
Setelah melalui proses kelahiran yang
penuh dongeng keajaiban itu, Siddharta Gautama kemudian menjalani hidup sebagai
putra raja Suddhodana di Kapilawastu sampai ia mencapai pencerahan. Seluruh
kehidupannya, secara garis besar dibagi atas empet periode, yaitu :
Ø Sebagai
pangeran Siddharta di istana Kapilawastu
Ø Sebagai
pertapa Gautama
Ø Periode
mendapat penerangan tertinggi dan menjadi Buddha; dan
Ø Periode
mengajarkan dharma
Setelah Buddha menempuh cara yang
disaranya dapat membawanya kepada apa yang dicarinya selama ini, pada suatu
malam di bulan waisak, ketika bulan sedang penuh, di tepi sungai Neranjara,
Gautama duduk mengheningkan cipta di bawa pohon Assattha, yang di kemudaian
hari dikenal sebagIa pohon Bodhi.
Setelah duduk melakukan meditasi semacam
itu, Gautama berturut-turut mendapatkan pengetahuan tertinggi, yaitu :
1)
Pengetahuan tentang
kehidupan dan proses kelahiran yang terdahulu, atau pengetahuan tentang
kelahiran kembali ( pubbenivasanussati )
2)
Pengetahuan dari mata
dewa atau mata batin ( dibacakkhu )
3)
Pengetahuan bahwa
timbul dan lenyapnya bentuk-bentuk dari berbagai macam kehidupan, yang baik
maupun yang buruk, tergantung dari perbuatan masing-masing ( cuti upapatana )
4)
Pengetahuan tentang
padamnya semua kecenderungan ( asvakkhayanana ) dan menghilangkan
ketidak-tahuan ( avidya )
Dengan pengetahuan yang dicapainya
tersebut, pertapa Gautama telah mencapai penerangan yang sempurna, pengetahuan
yang sejati dan kebebasan batin yang sempurna. Dia telah mendapat jawaban
teka-teki kehidupan yang dicarinya selama ini, dengan pengertian penuh yang
tercantum dalam empat ‘kesunyataan mulia’, yaitu :
a. Penderitaan
b. Sumber
penderitaan
c. Lenyapnya
penderitaan dan
d. Delapan
jalan utama yang menuju lenyapnya penderitaan[2]
Ketika sang Buddha merenungkan kepada
siapa darma ini harus diajarkan pertaman kali, ia teringat kedua gurunnya yang
mula-mula, yaitu Arda Kalma dan Rudraka Ramaputra. Tetapi keduanya telah
meninggal dunia. ia bermaksud mengajarkannya kepada kelima muridnya dulu ketika
ia masih menjadi pertapa Gautama.
Karena itu ia kemudian pergi ke Benares,
yang jauhnya sekitar 150 mil dari tempat dia memperoleh pencerahan, untuk
menemui bekas murid-muridnya itu. Peristiwa di atas mempunyai arti sangat
penting dalam agama Buddha, dan disebut dengan dharma cakra pravartana sutra
atau pemutaran roda dharma, yang selalu diperingati setiap tahun oleh penganut
Buddha.
2. Pengertian
Buddha, Dharma, Triratna
a) Buddha
Berasal dari kata sansekerta budh
berarti menjadi sadar, kesadaran sepenuhnya; bijaksana, di kenal, diketahui,
mengamati, mematuhi. Hyang Buddha yang berdasarkan sejarah bernama Shkyamuni
pendiri Agama Buddha. Hyang Buddha yang berdasarkan waktu kosmik[3]
ada banyak sekali dimulai dari Dipankara Buddha.
- b) Dharma
Hukum kebenaran, Agama, hal, hal-hal apa
saja yang mengenai agama Buddha. Berhubungan dengan ajaran agama Buddha sebagai
agama yang sempurnah.
Dharma
mengandung 4 (empat) makna utama :
1.
Doktrin
2.
Hak, keadilan,
kebenaran
3.
Kondisi
4.
Barang yang kelihatan
atau phenomena
Buddha Dharma adalah suatu ajaran yang
menguraikan hakekat kehidupan berdasarkan pandangan terang yang dapat
membebaskan manusia dari kesesatan atau kegelapan batin dan penderitaan
disebabkan ketidakpuasan, buddha Dharma meliputi unsur-unsur agama, kebaktian,
filosofis psikologi, falsafah, kebatinan, metafisika, tata susial, etika, dan
sebagainya. Tripitaka Mahayana termasuk dalam Buddha Dharma.
c) Tri
Ratna
Seorang yang telah menjadi umat Buddha
bila ia menerima dan mengucapkan Tri Ratna (Skt) atau tiga mustika (Ind) yang
berarti Buddha, Dharma, Sangha. Pada saat sembahyang atau kebaktian didepan
altar Hyang Buddha. Tri Ratna secara lengkap diucapkan dengan tenang dan khusu
sampai tiga kali atau disebut Trisarana. Tri sarana adalah sebagai berikut :
Bahasa
sansekerta :
Buddha
Saranang Gacchami
Dharmang
Saranang Gacchami
Sanghang
Saranang Gacchami
Dwipang Buddhang Saranang Gacchami
Dwipang
Dharmang Saranang Gacchami
Dwipang
Sanghang Saranang Gacchami
Tripanang
Buddhang Saranang Gacchami
Tripinang
Dharmang Saranang Gacchami
Tripinang
Sanghang Saranang Gacchami
Bahasa
Indonesia :
Aku
berlindung kepada Buddha
Aku
berlindung kepada Dharma
Aku berlindung kepada Sangha
Kedua
kali Berlindung kepada Buddha
Kedua
kali Berlindung kepada Dharma
Kedua
kali Berlindung kepada Sangha
Ketiga
kali Berlindung kepada Buddha
Ketiga kali Berlindung kepada Dharma
Ketiga
kali Berlindung kepada Sangha
3. Pengertian
Sadha dan Panca Sadha ( keyakinan )
A. Keyakianan
terhadap Adi Buddha
Sang Hyang Adi Buddha adalah Tuhan yang
maha Esa ( swayambu lokananta’ / pelindung dunia) yang berkedudukan di Nirwana
dan’Anista Buwana’ ( alam di atas alam semesta ). Istilah Adi Buddha di gunakan
di pulau Jawa ( Indonesia , Nepal, dan Tibet berasal dari Mahayana di Benggala.
Di Nepal dikenal juga Adinata yang berarti pelindung utama (pelindung jagad
yang tidak dilahirkan).[4]
Teology Agama Buddha Indonesia
Sanghayang Adi buddha adalah ‘merupakan
“sesuatu’ yang maha sakti, maha mengetahui, maha Agung yang dalam
suasana Samadhi telah menyebabkan terwujudnya alam semesta dengan segala
isinya. Adi Buddha telah menjadi 3 wujud :
1) Dhayani
Buddha (sukma Buddha)
2) Dhayani
Bodhisatwa (ego sang Buddha)
3) Manusia
Buddha
B.
Keyakinan terhadap
Buddha, Bodhisatwa & Arahat
Perbedaan antara Arahat dan Bodhisatwa
adalah, Arahat : mendapatkan pencerahan dan kebebasan bagi diri sendiri.
Bodhisatwa
: ingin menolong semua makhluk dan membawa mereka menuju pencerahan sepenuhnya.
Di
dalam Mahayan timbul ajaran “banyak Buddha”, (mitlogis), dan dijabarkan dari
ajaran tentang Lima Skandha, atau Lima unsur penyusun hidup manusia, yaitu :
Ø
Rupa (tubuh)
Ø Wedana
(perasaan)
Ø
Samjna (pengamatan)
Ø
Samskara (kehendak,
keinginan)
Ø
Wijnana (kesadaran)
Ajaran tersebut di terapkan oleh diri
Buddha sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
o Suwarto,
Buddha Dharma Mahayan. Yogyakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan
Indonesia, 1995.
o Jr.
Honig, Dr. A.G. Ilmu Agam. PT. BPK Gunung Mulia : Jakarta, 2009
o Ali,
Mukti.H. A. Agama-agama di Dunia. IAIN Sunan Kali Jaga : Yogyakarta, 1988
o Swarnasanti.
E. Riwayat Hidup Buddha Gautama. Pustaka karaniya : Jakarta, 2007
Hukum kesunyataan
A.
Pengertian
hukum kesunyataan
Hukum kesunyataan berarti hukum abadi
yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat dan serta keadaan. Ini
berarti bahwa hukum kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang
berlaku di semua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu. Kata
Kesunyataan ialah berasal dari kata sansekerta SUNYATA atau bahasa pali SUÑÑA
yang berarti jalan pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dibentangkan dengan
kata-kata manusia, hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang dan
kata Sunyata/Suñña adalah dari kata SUNYA/SUÑÑA artinya pencirian segala segala
sesuatu yang kosong dari definisi yang tepat.
Kata suññata dan
sunyata dipakai untuk mencirikan kenyataan mutlak dan dalam bahasa Indonesia
disebut KUSUNYATAAN. Sebagai contoh ialah : “pada 8 Desember 1941, Jepang
menyerang Pearl Harbor di Samudra Pasific”. Hal ini adalah sebuah kenyataan dan
bukan Kesunyataan, karena kebenarannya bergantungan pada waktu dan tempat. Pari
Nibbana adalah sebuah Kesunyataan, karena hanya dapat ditembus oleh Pandangan
Terang dan Intuisi.
B.
Empat
macam hukum Kesunyataan
Banyak empat tempat yang tidak terhitung
lagi jumlahnya, ajaran tersebut dibentangkan dan diterangkan berulang-ulang
kali dengan lebih banyak perincian dan dengan berbagai-bagai cara, sehingga
dapat dikenala adanya empat hukum Kesunyataan yaitu :
1. Cattar
Ariya Saccani, artinya Empat Kebenaran Mulia/Empat Kesunyataan.
2. Kamma,
artinya sebab-akibat perbuatan dan Punabbava atinya kelahiran kembali atau
Tumimbal-lahir.
3. Tilakkhana,
artinya Tiga Corak Umum dan Pancakkandha artinya lima kelompok kehidupan atau
yang disebut manusia.
4. Paticca
Samuppada, artinya pokok permulaan Sebab-Akibat yang saling bergantungan.[5]
C. Uraian singkat tentang
Cattari Ariya Sacani, Ariya Atthangika Mangga, Kamma dan Punabbhava, Tilakkhana
dan Pancakhandha, dan Paticca Samupada.
a.
Cattari Ariya Saccani
Oleh
YMS Buddha Gotama, kita diajarkan untuk melepaskan diri dari belenggu
napsu-keinginan, dan pengertian Nibbana itu sendiri adalah pembebasan nafsu
keinginan, karena napsu keinginanlah yang mendatangkan DUKHA artinya PENDERITAAN
JASMANI-ROHANI. Khotbah Hyang Budha
Shakyamuni yang pertama kali kepada lima pertapa bekas teman seperjuangannya
sewaktu bertapa menyiksa diri di hutan Uruvela selama enam tahun lamanya.
Khotbah pertama kali ini di taman Rusia isipatana,
di Mrigadava, Veranasi, atau di kenal dengan nama pemutaran roda dharma yakni
mengenai 4 (empat) kesunyataan utama atau kebenaran mulia dan delapan jalan
utama atau jalan benar dan suci sebagai jalan tengah.
Empat kesunyataan utama:
1. Derita (Dukha)
2. Asal mula derita (Dukha samudaya)
Dukkha disebabkan adanya napsu keinginan, kehausan,
kerinduan (Tanha) yang berhubungan dengan kenikmatan indrinya dan pikiran untuk
terus mempertahankannya, atau menolak sesuatu yang tidak disukai/dicintai dan
hal ini mengakibatkan timbulnya proses Tumimbal-Lahir (rebirth).
1. Penghentian derita (Dukha Nirodha)
a. Dukha hanya dapat lenyap dengan padamnya Napsu
keinginan (Tanhakkhaya) dan padamnya arus kekotoran bathin (Asavakkhaya), yang
artinya berhentinya proses Tumimbal-Lahir dan tercapainya Nibbana.
b. Selama perasaan, pikiran dan perbuatan kita
dibiarkan bekerja terus sampai melampaui batas-batas kemampuan, maka slama itu
pula kita dapat terbebas dari segala penderitaan atau Dukkha.
c. Jalan menuju penghentian derita (marga)
Untuk dapat mencapai tujuan melenyapkan Dukkha diturunkan Delapan Ruas
Jalan Utama atau Ariya Atthangika Magga, ialah :
1) Harus memiliki pandangan yang terang.
2) Harus memiliki pikiran yang benar.
3) Harus memiliki ucapan yang benar.
4) Harus memiliki perbuatan yang benar.
5) Harus memiliki mata-pencaharian yang benar.
6) Harus memiliki daya-upaya yang benar.
7) Harus memiliki perhatian yang benar.
8) Harus memiliki konsentrasi yang benar.[6]
2.
Ariya Atthangika Magga atau delapan ruas jalan utama
Delapan ruas jalan utama ini disebut JALAN-TENGAH
atau MAJJHIMA-PATTIPADA adalah merupakan parama Bodhi Marga atau jalan untuk
mencapai penerangan sempurna, untuk menjadi sempurna, untuk menjadi Buddha.[7]
Delapan ruas jalan utama itu terdiri atas :
a.
Pandangan/pengertian benar atau Samma Ditthi
b.
Pikiran benar atau Samma Sankappa
c.
Ucapan benar atau Samma Vacca
d.
Perbuatan benar atau Samma Kammanta
e.
Daya upaya benar atau Samma Ajiva
f.
Daya upaya benar atau Samma Vayama
g.
Perhatian banar atau Samma Sati
h.
Konsentrasi benar atau Samma Samadhi
3.
Kamma/Karma atau Sebab-Akibat perbuatan
Kamma adalah kata pali dan karma adalah kata
sansekerta yang secara singkat berarti “perbuatan”, yaitu setiap perbuatan
didahului oleh suatu sebab dan kemudian setelah perbuatan itu dilakukan
menimbulkan akibat.[8] Jadi kamma adalah suatu
perwujudan dari perbuatan, yang dalam arti umum meliputi semua jenis kehendak
dan maksud perbuatan yang baik maupun yang buruk. Alam semesta ini adalah suatu
perwujudan dari perbuatan (proses). Hukum Kamma itu tidak berasa dari luar, namun
sebenarnya adalah hukum yang bersemayam dalam diri kita sendiri dan gerak
hidupnya. Watak-watak dalam hati nuraninya dan tata-susila terutama menentukan
tertib dalam semesta ini.
4.
Punnabbhava atau Tumimbal-lahir
Punnabbhava adalah kata pali dan punarbhava adalah
kata sansekerta yang berarti Tumimbal-lahir atau kelahiran-kembali (rebirth).
Ada 4 macam Tumimbal-lahir dari pada makhluk-makhluk :
1. Lahir dari kandungan (JALABUJO-YONI)
2. Lahir dari telur (ANDAJA-YONI)
3. Lahir dari kelembaban (SANSEDAJA-YONI)
4. Ada makhluk yang lahir spontan, langsur membesar
seperti : Dewa Brahma dan makhluk Neraka serta lain-lainnya.[9]
Selanjutnya
terdapat pula empat macam Tumimbal-lahir secara penyambung-kelahiran
(Patishandi) di 31 alam kmehidupan yaitu :
a.
Alam kehidupan yang menyedihkan (APAYAPATISANDHI)
b.
Alam napsu yang menyenangkan (KAMASUGATIPATISANDHI)
c.
Alam yang masih mempunyai bentuk (RUPAVACARAPATISANDHI)
d.
Alam yang tidak berbentuk (ARUPAVACARAPATISANDHI)
5.
Tilakkhana atau Tiga corak umum
Tiga corak umum atau Tilakkana ini adalah yang
menjadi dasar ajaran agama Buddha, terdiri dari :
a.
Anitya
(Semua bentuk yang terkondisi adalah tidak kekal)
b.
Dukkha
(Semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna)
c.
Anatman
(Semua bentuk yang terkondisi dan bentuk yang tidak
terkondisi adalah tanpa “Aku”, arti lainnya beahwa segala sesuatu tidak
mempunyai inti yang kekal abadi atau tidak adanya eksistensi pribadi (tanpa
“Aku”). [10]
D.
PATICCA
SAMMUPPADA
Paticca
Samupapada mempunyai arti : “Timbul atas dasar
dari suatu sebab sebelumnya, terjadi dengan cara dari sebab, kejadian sebab
musabab, ketergantungan asal mula”. Kata ini berasal dari da (dyati; mengikat) dan ni (terus), memberikan kesan suatu
rangkaian atau rantai yang berhubungan. Kata itu berarti; suatu permulaan atau
sabab utama, dasar, suatu sebab, utama atau jauh; sumber, asal mula, sebab. Dua
belas Nidanas itu ada dalam risalah Sansakerta sebagai berikut :
“Dari ketidaktahuan (awidya)
sebagai sebab timbul Kesadaran (Vijnana); dari kesadaran sebagai
sebab timbulnya Nama dan Wujud (Nama-Rupa); dari Nama dan Wujud
sebagai sebab timbulnya Enam Bidang Pengertian (Sad-ayatana); dari Enam
Bidang Pengertian sebagai sebab timbulnya Hubungan (Sparca); dari Hubungan
(Sparca) sebagai sebab timbulnya Perasaan (Vedana); dari Perasaan (Vedana) sebagai sebab timbulnya Idaman (trsna);
Idaman (trsna) sebagai sebab timbulnya Tamak/Kemelekatan (Upadana); dari
Tamak/Kemelekatan (Upadana) sebagai sebab timbulnya Kejadian (Bhava);
dari Kejadian (Bhava) sebagai sebab timbulnya Kelahiran (Jati); dari Kelahiran
(Jati) sebagai sebab timbulnya usia tua,
kematian, duka-cita, ratapan, perasaan sakit, kekesalan, dan keputusasaan. [11]
DAFTAR
PUSTAKA
·
Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Jakarta: karaniya.
2007
·
Majelis Agama Buddha
Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995)
·
Honig Jr, Ilmu Agama,
(Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
·
Sumber : Kebahagiaan
dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)
KEYAKINAN TERHADAP
KITAB SUCI TRIPITAKA
(SUTRA PITAKA, VINAYA PITAKA, ABIDHARMA
PITAKA DAN BAGIAN-BAGIANNYA)
A. KITAB
SUCI TRIPITAKA
Ajaran
agama Buddha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang Buddha
dengan para siswa dan pengikutnya. Dengan demikian, isi kitab tersebut semuanya
tidak hanya berasal dari kata-kata sang Buddha sendiri melainkan juga kata-kata
dan komentar-komentar dari para siswanya[12].
Oleh para siswanya sumber ajaran tersebut dipilah menjadi tiga kelompok besar
yang dikenal dengan ‘pitaka’ (keranjang), yaitu Sutra Pitaka atau Sutta Pitaka,
Winaya Pitaka, dan Abbidharma Pitaka atau Abbidhamma Pitaka.
a. Sutra
Pitaka
Sutra
(bahasa Sansakerta) atau Sutta (bahasa Pali) mempunyai arti sederhana yaitu
‘benang’. Benang adalah tali halus yang dipintal dari kapas atau sutera, yang
gunanya untuk menjahit atau merangkai sesuatu. Setiap khotbah Hyang Buddha
seperti kata-kata yang dirangkai menjadi satu dengan indah dan satu sama lain
tidak dapat dipisahkan, tidak acak-acakan serta tidak saling bertentangan, oleh
sebab itu khotbah Hyang Buddha disebut ‘sutra’[13].
Sutra-sutra itu dikumpulkan dan disusun menjadi satu disebut Sutra Pitaka.
Sutra
Pittaka sendiri berisi dharma (dalam bahasa Pali: dhamma) atau
ajaran Buddha kepada muridnya[14].
Kitab Sutra Pitaka juga memuat uraian-uraian tentang cara hidup yang berguna
bagi para bhikku atau biksu dan pengikut yang lain.[15]
Kitab ini terdiri atas lima
'kumpulan' (nikaya) atau buku, yaitu:[16]
-
Dighanikaya,
Dighanikaya terdiri dari 34 sutra panjang terbagi menjadi tiga vagga : Sîlakkhandhavagga, Mahavagga dan
Patikavagga. Beberapa di antara sutta-sutta yang terkenal ialah : Brahmajala
Sutta (yang memuat 62 macam pandangan salah), Samannaphala Sutta (menguraikan
buah kehidupan seorang petapa), Sigalovada Sutta (memuat patokan-patokan yang
penting bagi kehidupan sehari-sehari umat berumah tangga), Mahasatipatthana
Sutta (memuat secara lengkap tuntunan untuk meditasi Pandangan Terang,
Vipassana), Mahaparinibbana Sutta (kisah mengenai hari-hari terakhir Sang
Buddha Gotama)
-
Majjhimanikaya, merupakan buku kedua dari Sutta Pitaka
yang memuat kotbah-kotbah menengah. Buku ini terdiri atas tiga bagian
(pannasa); dua pannasa pertama terdiri atas 50 sutta dan pannasa terakhir
terdiri atas 52 sutta; seluruhnya berjumlah 152 sutta. Beberapa sutta di
antaranya ialah : Ratthapala Sutta, Vasettha Sutta, Angulimala Sutta,
Anapanasati Sutta, Kayagatasati Sutta dan sebagainya.
-
Angutaranikaya, merupakan buku ketiga dari Sutta Pitaka,
yang terbagi atas sebelas nipata (bagian) dan meliputi 9.557 sutta. Sutta-sutta
disusun menurut urutan bernomor, untuk memudahkan pengingatan.
-
Samyuttanikaya, merupakan buku keempat dari Sutta Pitaka
yang terdiri atas 7.762 sutta. Buku ini dibagi menjadi lima vagga utama dan 56
bagian yang disebut Samyutta.
-
Khuddakanikaya, terdiri
atas 15 kitab.
b. Vinaya
Pitaka
Winaya Pittaka berisi
peraturan-peraturan untuk mengatur tata tertib sangha atau jemaat,
kehidupan sehari-hari para biksu atau bhikku atau rahib,
dan sebagainya[17].
Selain itu, kitab suci Vinaya Pitaka ini juga berisi peraturan-peraturan bagi
para Bhikku dan Bhikkuni.[18] dan terdiri atas Sutra Vibanga, Khandaka, dan
Parivawa[19].
v Kitab
Sutra Vibanga berisi
peraturan-peraturan bagi para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhu-vibanga berisi 227
peraturan yang mencakup delapan jenis pelanggaran, di antaranya terdapat empat
pelanggaran yang menyebabkan dikeluarkannya seorang bhikkhu dari sangha
dan tidak dapat menjadi bhikkhu
lagi seumur hidup. Keempat
pelanggaran itu adalah : berhubungan kelamin, mencuri, membunuh atau
menganjurkan orang lain bunuh diri, dan membanggakan diri secara tidak benar
tentang tingkat-tingkat kesucian atau kekuatan-kekuatan batin luar biasa yang
dicapai. Untuk ketujuh jenis
pelanggaran yang lain ditetapkan hukuman dan pembersihan yang sesuai dengan
berat ringannya pelanggaran yang bersangkutan. Bhikkhuni-vibanga berisi
peraturan-peraturan yang serupa bagi para Bhikkhuni, hanya jumlahnya lebih
banyak.
v Kitab
Khandaka terbagi atas Mahavagga dan
Cullavagga. Kitab Mahavagga berisi peraturan-peraturan dan uraian tentang
upacara penahbisan bhikkhu, upacara Uposatha pada saat bulan purnama dan bulan
baru di mana dibacakan Patimokkha (peraturan disiplin bagi para bhikkhu), peraturan
tentang tempat tinggal selama musim hujan (vassa), upacara pada akhir vassa
(pavarana), peraturan-peraturan mengenai jubah Kathina setiap tahun,
peraturan-peraturan bagi bhikkhu yang sakit, peraturan tentang tidur, tentang
bahan jubah, tata cara melaksanakan sanghakamma (upacara sangha), dan tata cara
dalam hal terjadi perpecahan. Sedangkan Kitab
Cullavagga berisi
peraturan-peraturan untuk menangani pelanggaran-pelanggaran, tata cara
penerimaan kembali seorang bhikkhu ke dalam Sangha setelah melakukan
pembersihan atas pelanggarannya, tata cara untuk menangani masalah-masalah yang
timbul, berbagai peraturan yang mengatur cara mandi, mengenakan jubah,
menggunakan tempat tinggal, peralatan, tempat bermalam dan sebagainya, mengenai
perpecahan kelompok-kelompok bhikkhu, kewajiban-kewajiban guru (acariya) dan
calon bhikkhu (samanera), pengucilan dari upacara pembacaan Patimokkha,
penahbisan dan bimbingan bagi bhikkhuni, kisah mengenai Pesamuan Agung Pertama
di Rajagaha, dan kisah mengenai Pesamuan Agung Kedua di Vesali
v Parivara
memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan Vinaya yang disusun dalam bentuk
tanya jawab untuk dipergunakan dalam pengajaran dan ujian.
Skema
umum isi Vinaya Pitaka[20]:
Ø Bagian
yang berhubungan dengan Pratimoksa atau Patimokha, yaitu peraturan-peraturan
untuk para biksu atau bikkhu yang dinamakan ‘bagian bhikku’ (bhikku
vibhanga).
Ø Bagian
yang sama untuk para bhikkuni.
Ø Suatu
bagian yang dinamakan ‘khandhaka’ (kelompok), tiap-tiap kelompok berhubungan
dengan suatu aspek khusus mengenai kehidupan dari sangha, seperti
pentahbisan, upasattha, memenuhi ketentuan-ketentuan yang berhubungan
dengan pakaian, jubah, obat-obatan, makanan, tempat tinggal, dan lain
sebagainya
Pitaka ini terdiri dari lima buku berikut ini :
1)
Parajika Pali
(Pelanggaran Berat)
2)
Pacittiya Pali
(Pelanggaran Ringan)
3)
Mahavangga Pali
(Kelompok Besar)
4)
Culavagga Pali
(Kelompok Kecil)
5)
Parivara Pali
(Ikhtisar Vinaya)[21]
c. .
Abbidharma Pitaka
Abidharma
atau abhidhamma adalah susunan ceramah dan perkembangan logika tentang
dharma dari ajaran Hyang Buddha, membahas filsafat dan metafisika, juga sastra,
memberikan definisi kata-kata Buddha Dharma, dan penjelasan
terperinci mengenai filsafat dengan sistematis, memantapkan suatu metode
mengenai latihan spiritual oleh para sesepuh dari aliran atau sekte pada waktu
itu, kumpulan dari kitab Abidharma ini dinamakan Abidharma Pitaka[22].
Sehingga Abbidharma Pitaka berisi ajaran yang lebih mendalam mengenai hakikat
dan tujuan hidup manusia, ilmu pengetahuan yang membawa pada kelepasan dan lain
sebagainya[23].
Abidharma pitaka tersusun dari risalat berikut :
a)
Dhammasangani
(Penguraian Damma).
b)
Vibhanga (Buku
Telaah).
c)
Dhatukhata
(Pembahasan Unsur).
d)
Puggalapannatti
(Penjabaran Individu).
e)
Kathavatthu
(Titik Kontroversi).
f)
Yamaka (Buku
Pasangan).
g)
Patthana (Buku
Kaitan Musababab).[24]
DAFTAR PUSTAKA
·
Romdhon, dkk., Agama-Agama
di Dunia, Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988
·
Suwarto T., Buddha
Dharma Mahayana. Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995
·
Hilman Hadikusuma, Antropologi
Agama, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1983)
·
Sumber : Makalah
Dede Ardi Hikmatullah
A.
Pengertian
Nibbana
Nibbana adalah sebutan bahasa Pali dan Nirvana adalah bahasa
Sansekerta.[25]
Nibbana terdiri dari kata Ni yang artinya padam dan Vana berarti
Jalinan atau Keinginan. Keinginan ini bertindak sebagai suatu tali yang
menghubungkan suatu kehidupan dengan kehidupan yang lain. Nibbana juga
diterangkan sebagai pemadam api nafsu keinginan (Lobha), kebencian (Dosa), dan
khayalan (Moha). Selama seseorang terikat dengan Keinginan atau Kemelekatan
orang tersebut menimbun kegiatan Kamma[26]
baru yang pesti terwujud dalam bentuk seseorang atau bentuk yang lain dalam
lingkaran kelahiran dan kematian yang terus menerus. Bila semua bentuk
keinginan dibasmi, daya kemampuan Kamma berhenti bekerja, dan seseorang
mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kematian.[27]
Jika Nibbana
merupakan sebuah ketiadaan, Nibbana harus benar-benar sama dengan ruang (Akasa).
Baik ruang maupun Nibbana adalah abadi dan tidak berubah. Ruang abadi karena
tidak ada apa-apa di dalamnya. Nibbana tidak berruang dan tanpa batas waktu.
Oleh karena itu Nibbana umat Buddha bukan suatu ketiadaan maupun bukan suatu
penghentian belaka.[28]
Nibbana yang dicapai semasa hidup didalam dunia ini, masih
mengandung sisa-sisa kelompok kehidupan yang masih ada disebut Sopadisesa
Nibbana Dhatu, seperti yang dicapai oleh Buddha Gotama didalam kehidupannya
di dunia ini. Meskipun batin Beliau telah bersih dari keinginan (Lobha),
kebencian (Dosa), dan khayalan (Moha), sebelum menjadi Buddha, beliau
dilahirkan sebagai Siddharta Gotama, maka beliau masih daapat wafat. [29]
Kemudian setelah hancurnya tubuh (mati), tanpa suatu sisa dari kehidupan jasmani
disebut Anupadisesa Nibbana Dhatu.
Jadi Nibbana itu dibagi atas dua bagian yaitu :
1.
Nibbana yang
masih mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan yang masih ada dan ini
dicapai dalam kehidupan di dunia ini (Sopadisesa Nibbana Dhatu)
2.
Nibbana yang tidak
mengandung sisa-sisa kelima kelompok kehidupan, yang dicapai setelah meninggal
dunia (Anupadisesa Nibbana Dhatu)
Dalam Itivuttaka Sang Buddha mengatakan :
“O para Bhikku, ada dua unsure Nibbana. Apakah itu ? Unsur Nibbana
dengandasar masih sisa dan yang tanpa dasar.”
“… seorang Bhikku sebagai seorang Arahat, seorang yang telah
membasmi kekotoran, yang telah menjalani hidup, melakukan apa yang harus
dilakukan, menyisihkan beban, yang telah mencapai tujuannya, yang telah
membasmi belenggu kehidupan. Lima organ indranya masih ada, dan oleh karenanya
ia mengalami pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan…”[30]
B.
Jalan untuk mencapai Nibbana
1.
Delapan Jalan Ruas Utama/jalan tengah
Jalan menuju Nibbana adalah Jalan Tengah (Majjima Patipada)
yang menghindari ekstrim penyiksaan diri yang melemahkan kecerdasan dan ekstrim
pengumbaran napsu yang menghalangi kemajuan moral. Jalan tengah ini terdiri
dari delapan unsur sebagai berikut :
1.
Pengertian
benar
2.
Pikiran Benar
3.
Ucapan Benar
4.
Perbuatan Benar
5.
Mata Pencaharian
Benar
6.
Usaha Benar
7.
Perhatian Benar
8.
Konsentrasi
Benar
Pengertian benar yang merupakan kunci utama agama Buddha.
Mengerti dengan benar berarti memahami segala sesuatu sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana nampaknya. Pengertian benar mengakibatkan pemikiran benar . Mempunyai dua tujuan
melenyapkan pikiran – pikiran jahat dan mengembangkan pikiran – pikiran baik.
Dalam hubungan ini, pikiran benar terdiri dari tiga bagian, yaitu :
·
Nekkhamma ; melepaskan diri dari kesenangan dunia dan sifat
mementingkan diri sendiri yang berlawanan dengan kemelekatan, sifat mau menang
sendiri.
·
Abyapada ; cinta kasih, itikad baik, atau kelemah – lembutan
yang berlawanan dengan kebencian, itikad jahat, atau kemarahan.
·
Avihimsa ; tidak kejam atau kasih sayang, yang berlawanan
dengan kekejaman atau kebengisan.
2.
Yang lenyap di Nibanna
Orang yang
telah mencapai Nibanna disebut “orang yang sempurna”, seperti YMS Buddha
Gotama.orang yang sempurnah telah membuang ikatan, semua ikatan terhadap badan
jasmaninya, perasaannya, pencerapannya, bentuk-bentuk pikirannya dan
kesadarannya sampai ke akar-akarnya dan selanjutnya tidak dilahirkan kembali
dalam kehidupan. Sekarang orang sempurnah telah wafat, telah bebas dari ikatan
badan jasmaninya, perasaannya, bentuk-pikirannya dan kesadarannya. Orang yang
sempurnah hanya dapat dilihat oleh orang yang telah melihat Damma, dan siapa
yang melihat orang sempurna, iya melihat Dhamma. Demikianlah orang yang
sempurna merupakan badannya Dhamma dan bersatu dengan Sangyang Adi Buddha.
3.
Orang yang telah mencapai Nibanna bebas dari lahir, derita,
umur-tua dan mati; lobha, dosa dan moha.
Tiada lagi penderitaan bagi mereka yang telah mencapai Nibanna,
yang telah terbebas dari penderitaan, yang telah membebaskan diri dari segala
ikatan napsu, yang telah memutuskan semua ikatan. Manusia yang demikian tidak
lagi terikat oleh Tumimbal lahir dan kematian.[31]
Dimana saja bersemayam orang suci, tempat itu pasti menyenagkan,
baik di kota, di kampus maupun di dalam hutan, di laut maupun di darat.
Cita-cita umat Buddha, pertama-tama iyalah untuk mencapai tingkat kesucian,
untuk menjadi manusia suci atau Arahat, atau menjadi Bodhisattva untuk mencapai
tingkat ke-Buddha-an dan Nibanna.
C.
Sifat-Sifat
Nibbana
Berlawanan dengan Samsara (perwujudan keberadaan) Nibbana
adalah kekal (dhuva), diinginkan (subha), dan bahagia (sukha).
Kekal (dhuva)
Sifat Nibbana adalah Esa dan tidak di ciptakan. Didalam kitab Udana
dijelaskan tentang ke-Esa-an Nibbana ini demikian:
“Disana oh
para siswa, segala sesuatu tidak dilahirkan, tidak ada asal mulanya, tidak
terbentuk, tidak diciptakan. Karena itu bilamana disana tidak ada sesuatu yang
dilahirkan, tidak ada asal mulanya, karena itu tentu tidak perlu dan tidak
mungkin menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk pencipta. Karena tidak lagi
ada bentuk, dan tidak ada lagi sesuatu yang diciptakan, maka tidak berlu dan
tidak mungkin lagi menghindari kelahiran, asal mula dan bentuk Pencipta.[32]
Diiinginkan
(subha)
Kehidupan adalah milik manusia yang paling dicintai tetapi ketika
ia dihadapkan dengan kesukaran-kesukaran yang tidak dapat diatasi dan
beban-beban yang tak tertahankan, lalu hidup itu menjadi suatu beban yang amat
berat. Kadang-kadang ia mencoba untuk mencari pembebasan dengan mengakhiri
hidupnya, seolah olah bunuh diri dapat menyelesaikan masalah.[33]
Bahagia (sukha)
Kebahagiaan Nibbana harus dibedakan dari kebahagiaan duniawi biasa.
Kebahagiaan Nibbana tidak membosankan atau monoton. Ini adalah suatu bentuk
kebahagiaan yang tidak pernah membisankan, tidak pernah berubah. Ini muncul
dengan menghilangkan nafsu keinginan tidak sama dengan kebahagiaan duniawi yang
sementara, yang diakibatkan oleh kepuasan hawa nafsu.
Sang Buddha menyebutkan sepuluh tingkat kebahagiaan yang dimulai
dengan kesenangan materi yang kasar yang diakibatkan oleh rangsangan hawa nfsu
yang menyenangkan. Seperti seorang naik makin lama makin tinggi di dalam taraf
moral, macam kebahagiaan menjadi lebig agung, luhur dan halus, begitu sampai
dunia hampir tidak mengenalnya sebagai kebahagiaan. Dalam Jhana pertama
seseorang mengalami suatu kebahagiaan yang sukar dipahami, tidak tergantung
pada lima panca indra secara mutlak. Kebahagiaan ini disadari dengan menghambat
keinginan kesenangan hawa nafsu yang sangat dijunjung. Dalam Jhana keempat,
bagaimanapun, bahkan macam kebahagiaan ini dibuang sebagai hal yang kasar dan
tidak menguntungkan, dan ketenangan hati dikatakan kebahagiaan.[34]
DAFTAR
PUSTAKA
o Majlis
Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis
Buddhayana Indonesia, 1980)
o Ven.
Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya, (Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1992)
o
Sumber : Makalah Fitri Astuti
A.
Pengertian
Meditasi
Kata “meditasi” berasal dari bahasa
Latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal merenungkan, memikirkan, mempertimbangkan
atau latihan, pelajaran persiapan. Dalam Kamus Teologi meditasi adalah do’a
batin, merenungkan Kitab Suci atau tema-tema rohani yang lain, bertujuan
mencapai kesatuan dengan Allah dan memperoleh pemahaman atas kehendak Illahi.
Sebagai suatu bentuk doa bagi pemula, latihan meditasi langkah demi langkah
akan membawa orang kepada tingkatan kontemplasi yang lebih tinggi dan
sederhana.[35]
Menurut KBBI, meditasi artinya pemusatan
pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu. Meditasi mengandung pengertian
yang sama dengan tafakur. Bertafakur adalah menimbang-nimbang dengan
sungguh-sungguh, memikirkan, merenung atau mengheningkan cipta. Semua istilah
tersebut sering disebut sering dinamakan semadi. Bersemadi adalah memusatkan
pikiran (meniadakan segala hasrat jasmaniah).[36]
Bersemadi juga sama dengan bertapa. Bertapa adalah mengasingkan diri dari
keramaian orang-orang (dunia) dengan menahan hawa nafsu untuk mencari
ketenangan batin.
Lima ciri
ketenangan pertama (pathama jhana):
1.
Vitaka :saat merenungkan dan berusaha memegang objek.
2.
Vicara : dapat memegang objek dengan kuat.
3.
Piti : kegiuran yang amat dalam sewaktu
meditasi
4.
Sukha : kebahagiaan yang sulit digambarkan sewaktu
meditasi
5.
Ekaggatarama : batin terpusat, pikiran tidak lari
kemana-mana, dan bersatu dalam objek.
B. Tujuan
meditasi
Sebelum kita membahas
tentang pembagian meditasi, kita juga perlu mengetahui tujuan dari meditasi itu
sendiri. Karena dengan adanya tujuan, kita dapat mengetahui kenapa orang-orang
budha sering melakukan praktek meditasi.
Tujuan terakhir meditasi
adalah sama dengan tujuan akhir dari Buddha Dharma, yaitu untuk mencapai
Nirwana, dan menghapuskan, dan diluar bentuk-bentuk pengalaman manusia biasa.
Oleh karena itu mereka tidak banyak membicarakan tentang Nirwana sebelum
mendapat kemajuan untuk mencapainya sendiri, sebagai suatu jalan yang langsung
diluar pemikiran logika dan rasa pencerapan. Akan tetapi dalam agama Buddha
lebih banyak mengarahkan pelajarannya pada dua macam yang lebih penting,
langsung, nyata, dan dapat dibuktikan kebenarannya berdasarkan pengalaman.
Pertama adalah pemeliharaan serta bertambahnya dan berkembangnya
perasaan-perasaan yang positif dan mulia, seperti: cinta kasih, kasih sayang,
kesucian batin, keseimbangan, dan perasaan simpati pada orang lain. Dan yang
kedua adalah melenyapkan kelobaan, kebencian, kegelapan batin, kesombongan,
nafsu-nafsu, dan semua perasaan negatif (buruk).
C. Persiapan
dalam meditasi
Dalam melakukan meditasi
harus ada persiapan terlebih dahulu. Usaha yang pertama dalam latihan meditasi
adalah menenangkan pikiran, memperbesar kebebasan dan mempertinggi
ketelitian.dengan keadaan pikiran yang bebas dan objektif, serta diikuti oleh
pandangan terang, barulah dapat dengan siap sedia menghadapi dan melenyapkan
perasaan-perasaan yang negatif. Menurut mereka, terkait dengan kehidupan yang
serba modern sekarang ini banyak mengandung segi-segi yang dapat merintangi
dalam latihan dan kemajuan meditasi, yaitu:
·
Rintangan yang
berbentuk kejiwaan,
·
Materi,
·
Keadaan sosial.
D. Cara atau
teknik dari meditasi
Di dalam delapan jalan utama
no.7 disebutkan tentang: Perhatian yang benar, yang dinamai juga Empat Dasar
Kesadaran (Sattipatthana). Keempat bagian dari Empat Dasar Kesadaran itu
adalah:
®
Kesadaran
terhadap jasmani, kesadaran ini terbagi menjadi 6 bagian:
§ Kesadaran terhadap pernafasan
§ Kesadaran terhadapsikap badan
§ Kesadaran terhadap gerakan badan
§ Kesadaran terhadap proses yang mengerikan
§ Kesadaran terhadap unsur-unsur materi
§ Kesadaran terhadap kekotoran badan
®
Kesadaran
terhadap perasaan
®
Kesadaran
terhadap pikiran
®
Kesadaran
terhadap bentuk-bentuk pikiran[37]
Dalam ajaran Buddha,
kesadaran sejati merupakan dasar dari hidup yang baik yang tidak boleh
ditinggalkan dimanapun, dan kapanpun oleh setiap orang. Hal ini merupakan
syarat pokok bagi semua, bukan hanya pengikut Sang Buddha, akan tetapi untuk
mereka juga yang ingin berusaha mengatur dan mengendalikan (menguasai)
pikirannya yang sangat sulit dikendalikan juga bagi mereka yang sungguh-sungguh
ingin memperkembangkan kecakapannya yang masih terpendam sehingga dapat
mencapai kebahagiaan yang besar.
E.
Meditasi
untuk mencapai ketenangan batin
Dua ribu lima ratus tahun yang lampau,
seorang putra mahkota pada usia dua puluh sembilan tahun, saat seseorang berada
di puncak kegemilangan hidup, telah meninggalkan tahta yang penuh dengan
kemegahan dan kekuasaan dan pergi menyendiri ke hutan menjauhi keduniawian
mencari obat untuk mengatasi penyakit kehidupan, mencari jalan keluar dari
belenggu ketidakpastian untuk mencapai Nibbana.
Di bawah bimbingan para ahli meditasi
pada zaman itu, beliau mencari dengan harapan bahwa mereka dapat menunjukkan
jalan ke arah pembebasan dan kebijaksanaan; beliau melatih konsentrasi,
pemusatan perhatian (samatha atau samadhi) dan telah mencapai
tingkat-tingkat tertinggi dari latihan-latihan tersebut. Namun beliau merasa
tak puas dengan semua itu karena tidak menghasilkan Penerangan Agung.
Pengetahuan dan kemampuan guru beliau cenderung pada mistik dan karenanya tidak
memuaskannya untuk mencari apa yang masih belum diketahuinya.
Menjadi kepercayaan di India pada zaman
itu, terutama di kalangan para ahli kebatinan (ascetic), bahwa penyucian batin
dan kebebasan akhir batin dapat diperoleh dengan melatih diri secara keras,
kalau perlu dengan menyiksa diri. Beliau memutuskan untuk membuktikan kebenarannya.
Beliau mulai berjuang untuk melatih jasmaninya dengan harapan, agar batinnya
dapat mengatasi jasmaninya dan mampu membebaskan dirinya. Dengan amat tekun dan
rajin beliau berlatih. Beliau hanya hidup dengan makan dedaunan, akar-akar
pohon kemudian mengurangi jumlah makanan sehingga amat minim, pakaiannya sangat
bersahaja yang dihimpunnya dari sampah buangan dan tidur di antara bangkai atau
di atas duri. Kekurangan makan dan minuman membuat jasmani beliau sangat lemah.
Selama enam tahun lamanya beliau
berjuang sedemikian kerasnya hingga hampir mendekati pintu ajal, namun tujuan
tetap tak tercapai. Cara menyiksa diri jelas baginya tidak berarti melalui
pengalamannya sendiri. Percobaan dengan cara seperti itu ternyata gagal. Namun
beliau tidak putus asa. Dengan pikiran yang kuat dan kemauan yang membara,
beliau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan. Beliau berhenti menyiksa diri
dan berpuasa yang ekstrim itu dan kembali makan minum seperti biasa. Jasmani
beliau yang telah lemah dan kurus itu kembali pada keadaan sehat seperti dulu.
Beliau kini menyadari bahwa Jalan ke arah keberhasilan yang diidamkannya
terletak pada penyelidikan ke dalam yaitu akan kemurnian batin sendiri, tanpa
bantuan guru, beliau memutuskan untuk bertapa menyendiri untuk mencapai tujuan
akhir.
Dengan bersila di bawah pohon yang
kemudian terkenal sebagai pohon Bodhi atau pohon Penerangan
Sempurna, di tepi sungai Neranjara, di Gaya (kini dikenal dengan sebutan
Buddhagaya) suatu tempat yang sejuk dan mendorong kemantapan batin dan dengan
tekad yang membaja : ‘Sekalipun badanku tinggal kulit dan tulang serta darahku
mengering, aku takkan meninggalkan tempat ini sebelum mencapai Penerangan
Sempurna’. Begitu mantap usahanya, begitu kuat pengabdiannya, begitu keras
tekadnya dalam mencapai kebenaran dan memperoleh Kebijaksanaan Tertinggi.
Dengan akhir pandangan seperti itu,
beliau menyelusuri kedalaman batinnya untuk mencari cara meditasi yang dapat
memberi ketenangan mutlak, penerangan dan kebebasan. Dengan cara Ana-apana-sati,
beliau mencapai dan memasuki Jhana pertama (hasil kedalaman meditasi
yang disebut juga Dhyana – Sankrt, suatu istilah yang sulit
diterjemahkan). Secara bertahap beliau mencapai dan memasuki Jhana kedua,
ketiga dan keempat. Dengan demikian beliau mempersiapkan diri membersihkan
kekotoran batin yang masih melekat dan mampu mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana
bhavana), Pandangan Benar dan Kebijaksanaan Mutlak, yang membuat orang
mampu memandang sesuatu sebagaimana adanya dengan mengetahui ketiga corak umum
(Tilakkhana) atau tiga sifat dari apa saja yang saling terkait yaitu anicca,
dukkha dan anatta. Dengan Pandangan Terang ini, dengan
penembusan yang bijaksana beliau mampu memahami dan mengetahui semua
kesempurnaannya, yaitu yang disebut sebagai Empat Kesunyataan Mulia
tentang penderitaan, sebab musababnya, lenyapnya dan cara mengakhiri.
Dengan mengetahui kesunyataan tersebut
maka batinNya terbebas dari segala akar atau ikatan kenikmatan indriya (kama-asava),
kotoran batin kehidupan (bhava–asava), kegelapan batin (avijja–asava).
Sewaktu batin terbebas dari mereka, segeralah tumbuh pengetahuan dan pengertian
: ‘Pandangan Benar timbul padaku, tak tergoyahkan kebebasan batinku. Inilah
kelahiranku yang terakhir, tiada kelahiran lagi untuk selanjutnya bagiku, tak
ada hasrat untuk menjadi’.
DAFTAR PUSTAKA
Krishnanda Wijaya-Mukti. Wacana
Buddha-Dharma.(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003)
Honig, Ilmu
Agama. PT BPK Gudang Mulia: Jakarta, 2009
Sumber : Kebahagaiaan
dalam Dhama. Majelis Budhayana Indonesia
Dhammananda, Sri. Keyakinan Umat Buddha. Karaniya:
Jakarta, 2007
A. Nichiren Syosyu di Jepang
Nichiren
Shōshū (日蓮正宗) adalah sebuah aliran agama Buddha yang
berasal dari Jepang. Pendiri ajaran ini, bernama Nichiren Daishonin, dianggap
oleh penganut aliran ini sebagai Sang Buddha pokok[rujukan?]. Sekte ini
merupakan salah satu dari sekian banyak sekte Nichiren yang ada di Jepang.
Sekte Nichiren Shoshu ini berpusat di Taisekiji, Fujinomia, propinsi Shizuoka, Jepang.
Sekte ini juga menjadikan pewaris Dharma kedua, Nikko Shonin dan pewaris
Dharma ketiga, Nichimoku Shonin, sebagai
pendiri sekte Nichiren Shoshu.
Agama Buddha menyebar dari India ke Tiongkok, lalu ke Korea, dan dari Korea
lalu masuk ke Jepang. Berbeda dengan agama lain, agama
Buddha sangat terbuka alias terus terang mengungkapkan dasar pokok pendirian
sektenya, atau alasan Buddhaloginya. Dalam teriminologi buddhisme dinamakan
dasar sutra. Sutra adalah catat catatan tertulis dari ajaran sang Buddha
Sakyamuni, dan jumlahnya mencapai puluhan ribu buah. Secara logika tentunya
teramat sulit untuk mengetahui apa lagi memahami dan menguasai semua
sutra-sutra itu. Sehingga secara aktual penganut awan Buddhisme
biasanya mengacu kepada Bhikku sebagai guru dharma pribadi masing-masing.
Setelah Sang Buddha Sakyamuni moksa, Air Dharma diwariskan kepada Ananda, dan Ananda
mewariskan kepada penerus-penerus berikutnya antara lain Nagarjuna, Vashubandu, Tien Tai, Dengyo dan seterusnya. Kalau
dilihat dari dasar buddhalogi, Nichiren Shoshu berawal dari Saddharma Pundarika
Sutra versi terjemahan dari Kumarajiva, serta Sastra
Ichinen Sanzen, Hokke Mong-gu, dan Hokke Geng-gi, karya maha guru Tien Tai,
maha guru Mio Lo, maha guru Dengyo. Sastra
adalah penjelasan, penguraiaan, pemaknaan dari sebuah sutra. Kumarajiva adalah
seorang bhikku dari India yang menyebarkan agama Buddha ke Tiongkok. Beliau
adalah salah satu peterjemah sutra dari bahasa
Sanskerta ke dalam bahasa Tionghoa yang sangat terkenal dan
terpercaya. Kumarajiva diyakini mampu "memindahkan" makna sutra dari bahasa
Sanskerta ke bahasa Tionghoa dan karya agung beliau tersebut
sampai saat ini masih ada dan masih diterbitkan dalam buku di Jepang dan Taiwan. Sebagai
"bukti" hal tersebut, ketika beliau wafat dan di kremasi, lidah
beliau, tidak bisa terbakar.
Di Tiongkok, Mahaguru Tien Tai menyebarluaskan Saddharma Pundarika Sutra.
Dalam bahasa Tionghoa Saddharma Pundarika Sutra disebut Miao Hua Lien Hwa Cing
dan dalam bahasa Jepang dibaca Myohorengekyo. Sutra Saddharma Pundarika adalah
ajaran Buddha Sakyamuni mazhab Mahayana. Dari Tiongkok, Myohorengekyo atau
Saddharmapundarika-sutra lalu disebarkan ke Jepang oleh Mahaguru Dengyo.
Buddha Nichiren Daishonin terlahir dengan nama Zennichi Maro pada tanggal
16
Februari 1222 di
desa kecil Kominato, Provinsi Awa (sekarang daerah Chiba)
Jepang. Sejak usia 12 tahun Zennichi Maro masuk ke kuil untuk menjadi bhikkhu.
Pada usia 16 tahun dia ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan nama Zesho-bo Renco.
Setelah lebih dari 20 tahun mempelajari berbagai sutra dari sekte-sekte
di berbagai kuil,
maka beliau berkesimpulan hanya Saddharma Pundarika Sutra yang merupakan
sebagai ajaran terpokok dari Buddha Sakyamuni yang bisa menyelamatkan umat
manusia dari berbagai penderitaan hidup dan mati. Sejak itu beliau menyebut
diri Nichiren.
Adapun ajaran-ajaran dari Nichiren
Daisonin:[38]
a. Nam-myoho-renge-kyo,
b. Gohonzon,
c. Teori ‘kaida’
Selain ajaran tersebut
Nichiren Daisonin juga meramalkan, jika yang berwajib tetap mengingkari hukum
yang benar, dua bencana besar akan menimpa jepang. Diantaranya:[39]
1. Penyerbuan orang asing
2. Perang
saudara yang meluas
B.
Nichiren Shoshu di Indonesia
Nichiren Shoshu mulai berkembang luas di Jepang, setelah Perang Dunia II di bawah pendudukan tentara Amerika, yang membebaskan kehidupan beragama. Para penganut
membentuk organisasi massa umat awan bernama Sokagakai dan kemudian menjadi wadah dan
motor penggerak penyiaran agama ini.
Shintaro
Noda, pegawai Nissho Iwai, sejak tahun 1920-an telah
menetap di Indonesia, sempat menjadi tawanan tentara sekutu di Jawa dan Australia, dan karena
itu menderita berbagai penyakit, akhirnya dipulangkan tentara sekutu ke Jepang.
Di Jepang beliau bergabung dengan Sokagakkai dan menganut Nichiren Shoshu
berhasil sembuh dari penyakit.
Pada akhir
tahun 1940 akhir Shintaro Noda, anggota Sokagakkai, pegawai
Nissho Iwai kembali bertugas di Indonesia dan sekaligus menjadi penyiar agama
Nichiren Shoshu sekaligus pimpinan Nichiren Shoshu di Indonesia sampai awal
tahun 1970-an dan secara organisatoris berafiliasi kepada
Sokagakkai dan kemudian hari membentuk Sokagakkai internasional.
Pemerintahan
Orde Baru yang diskriminatif, mengkategorikan semua agama
Buddha sebagai unsur-unsur budaya Tionghoa yang tidak
boleh berkembang dan segala kegiataanya harus diawasi menimbulkan berbagai
goncangan. Terpaksa dibuat Yayasan Nichiren Shoshu Indonesia pada tahun 1967, yang
sebenarnya dipimpin oleh bukan umat Nichiren, melainkan saudara sepupu dari
seorang penganut. Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekacauan kepemimpinan
karena pimpinan de facto Shintaro
Noda yang berkewarganegaraan Jepang tidak dapat menjadi pemimpin de jure. Akhirnya
pada awal tahun 1970-an Shintaro Noda disingkirkan dari kepemimpinan, dan
munculah pimpinan baru, Senosoenoto, suami dari Keiko Sakurai seorang anggota
sokagakkai.
Di kemudian
hari Senosoenoto berhasil mengajak kawannya Ir Soekarno, seorang mantan menteri
pada masa Orde Lama, menjadi penganut dan kemudian menjadi salah satu
pucuk pimpinan NSI. Soekarno sangat aktif dalam organisasi agama buddha di
Indonesia, mewakili NSI menjadi pendiri organisasi yang sekarang bernama
WALUBI. Soekarno wafat pada tahun 1981.
Pada tahun 1980 perjuanggan
untuk menyebarkan agama Buddha Nichiren Syosyu telah terprogram dengan uraian
sebagai berikut:[40]
-
Masa perkenalan (1963 -
1972)
Tahun 1965 sampai dengan tahun 1972,
merupakan masa perkenalan agama Buddha Nichiren Syosyu di indonesia. Dengan
lahirnya orde baru, semua agama yang resmi diakui oleh pemerintah. Bagi agama
Buddha Nichiren Syosyu Indonesia era ini digunakan untuk mengatur dan menyusun
organisasi dengan ketentuan Hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia.
Sehingga terlahirlah “Yayasan Buddhis Nichiren Syosyu Indonesia tertanggal 22
September 1970 No. 76”, yang telah dipertegas
dalam anggaran dasarnya, khususnya perihal maksud dan tujuan yang
sejalan dengan cita-cita bangsa indonesia dalam pembangunan nasional yang
tertuang dalam GBHN berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Tujuh tahun dalam masa ini merupakan
perjuangan yang berat dalam membangun suatu himpunan yang kuat berdasarkan
prinsip-prinsip Ajaran Sang Buddha secara murni dan tetap. Tantangan yang
terbesar pada masa ini adalah terjadinya perbadaan pendapat dikalang pimpinan
sekitar tahun 1971 – 1972. Namun berkat maitri
karuna (welas asih) dan kekuatan gohonzon, krisis besar itu dapat diatasi,
sehingga pada tahun itu juga sejumlah 39 anggota Nichiren Syosyu Indonesia
berziarah ke kuil Pusat Ghohondo pad tanggal 1972, yang merupakan bukti
berhasilnya menatasi krisis tersebut dan berakhirnya masa perkenalan ini.[41]
-
Masa pembuktian
Identitas (1972 - 1979)
Pada masa ini berarti bahwa agama Buddha
Nichiren Syosyu Indonesia harus dapat menunjukan identitasnya sebagai berikut:
a. Agama
Buddha Nichiren Syosyu adalah bukan agama jepang dan betul-betul Agama Buddha
dari mazhab Mahayana berdasarkan Tripitaka dan berkepribadian Nasional.
b. Agama
Buddha Nichiren Syosyu bukan agama yang eksklusif untuk orang-orang atau
tertentu saja, tetapi adalah agama untuk lapisan masyarakat berdasarkan prinsip
"Icien Bodai Soyo” (Gohonzon
yang dianugrahkan untuk seluruh umat manusia).[42]
DAFTAR PUSTAKA
o
Daisaku Ikeda. Buddhisme:
falsafah Hidup. Alih Bahasa: Soedibyo.
Jakatra: PT Intermasa, 1988.
o Majelis
Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia. Sejarah
dan Perkembangannya Agama Buddha Nicirren Syosyu di Indonesia.
o
Sumber : Makalah Nur Zaman
A.
Sejarah Buddhisme Zen
Zen di India
Zen adalah salah satu aliran Buddha Mahayana.
Kata Zen adalah bahasa Jepang yang berasal dari bahasa mandarin
"Chan". Kata "Chan" sendiri berasal dari bahasa Pali
"jhana" atau bahasa Sanskerta dhyana( ध्यान ). Dalam bahasa vietnam
Zen dikenal sebagai “thiền” dan dalam bahasa korea dikenal sebagai “seon”.
Jhana atau Dhyāna adalah sebuah kondisi batin yang terpusat yang ditemui
dalam meditasi. Meski secara semantik, kata Chan sendiri berasal dari kata
‘dhyāna’ (sansekerta) atau ‘jhana’ (pali). Zen tidak bertujuan pada pencapaian
jhana. Ini sekadar menunjukkan bahwa ajaran Zen sangat menekankan pada aspek
meditasi atau samadhi.
Sejarah Zen dimulai dari India. Seiring perubahan zaman,
Hinduisme—yang juga merupakan akar Buddhisme—yang sempat tersingkir oleh
beberapa ajaran baru yang muncul di India; kembali menemukan jalan
kebangkitannya. Beruntung sebelum Buddhisme tergusur oleh Hinduisme—karena
Hinduisme mengalami kebangkitan—pengaruh Buddhisme telah tesebar melintas benua
hingga ke Cina. Agama Buddha Mahayana, salah satu sekte dalam Agama Buddha,
dibawa ke Cina oleh Boddhidharma[43].
Pada masa Sang Buddha, yoga sebagai konsentrasi terhadap
Brahman dipraktikkan secara luas. Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk
meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu: pencapaian ketenangan
dengan duduk bermeditasi. Faktanya, metode-metode dalam yoga dewasa ini
terbatas hanya berkaitan dengan apa yang harus dimakan, berpuasa, dan
sumpah-sumpah tertentu; seperti sumpah untuk tetap berdiri dengan satu kaki
dengan tujuan untuk memperpanjang waktu. Melalui sejenis pertapaan dan kesatuan
seluruh latihan, yogi melatih dirinya sendiri untuk mengabaikan hal-hal yang
bersifat eksternal dan mengontrol pergerakan ruhnya sendiri hingga yang paling
tipis sekalipun[44].
Sang Buddha mempraktikkan yoga ini selama dua belas tahun
sejak ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengunjungi
orang-orang suci dan menanyai orang-orang bijak, berkelana ke empat penjuru
negeri. Akan tetapi, pada akhirnya Sang Buddha tidak menemukan jawaban terhadap
dua pertanyaannya yang esensial melalui Yoga. Yaitu: Apa itu manusia dan
Bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya?[45]
Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan
kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia
mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha
menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh
umat manusia.
Guru-guru
Zen
Aliran Zen
dianggap bermula dari Bodhidharma. Ia berasal
dari India dan merupakan murid generasi ke-28 setelah Mahakassapa (dalam
Bahasa Pali; bahasa Sanskerta:Mahakasyapa).
Sekitar tahun 520 dia pergi
ke Tiongkok Selatan di kerajaan Liang. Dia kemudian bermeditasi selama 9 tahun
menghadap dinding batu di vihara di Luoyang.
Di sinilah juga dipercayai berdirinya vihara Shaolin (少林寺).
Aliran Zen
asli kemudian diteruskan sampai ke generasi ke-6 Hui Neng. Setelah
itu aliran Zen berpencar di Tiongkok, dan Jepang.
Seni Zen
Dari abad ke-12 dan abad ke-13,
perkembangan lebih lanjut ialah seni Zen, mengikuti perkenalan aliran
ini oleh Dogen dan Eisai setelah
mereka pulang dari Tiongkok. Seni Zen sebagian besar memiliki ciri khas lukisan
asli (seperti sumi-E dan Enso) dan puisi (khususnya haiku). Seni ini
berusaha keras untuk mengungkapkan intisari sejati dunia melalui gaya
impressionisme dan gambaran tak terhias yang tak "dualistik".
Pencarian untuk penerangan "sesaat" juga menyebabkan perkembangan
penting lain sastra derivatif seperti Chanoyu (upacara
minum teh) atau Ikebana; seni
merangkai bunga. Perkembangan ini sampai sejauh pendapat bahwa setiap kegiatan
manusia merupakan sebuah kegiatan seni sarat dengan muatan spiritual dan
estetika, pertama-tama apabila aktivitas itu berhubungan dengan teknik pertempuran
(seni beladiri).
Zen in Cina
Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian
mentransmisikan (semacam mewariskan) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina.
Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao
Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Boddhidharma merepresentasikan generasi ke dua puluh delapan
dari Sesepuh dalam Agama Buddha. Pada saat itu Cina dibagi menjadi tiga wilayah
yang saling bermusuhan. Kekacauan terjadi dimana-mana menunjukkan pergolakan
yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Negara itu dipimpin oleh para tiran
dan berdarah-darah karena pemberontakan. Dinasti Liang memimpin satu wilayah
kuno di Cina. Kerajaan Wu-Ti, merupakan kepala dinasti ini dan seorang buddhis
yang kuat, mendengar tentang Boddhidharma dan mengundangnya untuk datang ke
istananya. Wu Ti menanyakan “apa yang menjadi ajaran dasar dalam Agama Buddha?’
dan Boddhidharma menjawab, ‘satu kekosongan yang besar sekali. Langit yang
cerah. Langit yang tidak menunjukkan yang tercerahkan dan yang bodoh. Dunia
yang tepat sebagaimana seharusnya”. Meskipun keinginannya untuk menjadi seorang
Buddha sangat kuat, Wu Ti tidak memahami pesan yang dibawa oleh Boddhidharma
dan kemudian menyadari bahwa pada masa itu untuk Zen belum siap untuk
disebarkan di Cina. Karenanya, ia menyeberangi sungai Yang-Tse dan beristirahat
di Kuil Shorin di Gunung Utara. Di sana, ia membpraktikkan duduk Zazen di
hadapan sebuah tembok selama sembilan tahun, beberapa mengatakan tanpa henti. [46]
Zen di Jepang
Aliran Mahayana berkembang di Cina kemudian diperkenalkan ke
Jepang lewat Korea, yakni ketika raja Kudara mengirimkan kitab-kitab dan
patung-patung Buddha kepada Kaisar Jepang. Pada mulanya, kehadiran agama baru
ini ditentang. Sejak tahun 552M Buddhisme telah masuk ke Jepang dan Cina.
Ajaran-ajaran Buddha dengan cepat tersebar setelah timbul anggapan bahwa
dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan
Shintoisme. Sebenarnya, corak kepercayaan Buddhisme di Jepang terbagi menjadi dua.
Yang pertama, kelompok yang ingin mencapai kelepasan dengan usahanya sendiri,
yang kemudian disebut Zen Buddhisme. Yang kedua, ignin melepaskan diri dnegan
pertolongan dewa-dewa.
Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari
perkembangan Zen. Terima kasih kepada Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan
Keizan (Pendiri aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang
ketat yang didisain untuk mengartikulasikan penciptaan mentail. Koan atau
pertanyaan yang membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang
sangat penting dan ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin
langsung untuk ke pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran
(awakening).
Ajaran-ajaran Zen Buddhisme
Meskipun dikatakan
bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh segala macam teori ajaran, yang penting
adalah pengertian dan intuisi serta meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini
dijadikan sebagai teori dalam Zen Buddhisme:
a.
Surangama
Sutra
b.
Vajrachedika-Prajnaparamita
Sutra,
c.
Lankavatara
Sutra,
d.
Vimalakirti-Nirdesa
Sutra,
e.
Sutra
Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
DAFTAR PUSTAKA
Y.A.
Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991
What
Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html;
tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini
diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
Sumber : Makalah Fatimah Al Bathul
[1] Mukti, Ali, Agama-agama di Dunia, (Yogyakarta : IAIN Sunan Kali Jaga,
1988), hlm. 106
[2] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009 )
[3] Waktu kosmik adalah kalpa, satu kalpa adalah suatu periode waktu yang
sangat lampu yaitu 4326 juta tahun.
[4] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009 )
[5] Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)
[6] Drs. Suwarto T. “Buddha Dharma Mahayana” (Majelis Agama
Buddha Mahayana Indonesia. Palembang 1995) cet 1
[7] Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma (Majelis Buddhayana Indonesia)
[8] Honig Jr, Ilmu Agama, (Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
[10]Majelis
Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T.
(Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995).h.59
[11] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha
Dharma Mahayana. Penyusun: Suwarto T. (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995).h.63
[13] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana.
(Palembang: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h. 844
[15] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1983), h. 215
[17] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha. h. 63
[18] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, h.214
[19] Romdhon, dkk., Agama-Agama di Dunia, h. 112
[20] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 843
[22] Suwarto T., Buddha Dharma Mahayana. h. 844
[23] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, h. 63
[25] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian
dalam Dhamma, (Jakarta: Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[26] Kamma secara harfiah berarti perbuatan atau tindakan.
[27] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya,
(Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 173
[28] Ibid 174-177
[29] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta:
Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 134
[30] Ven. Narada Mahathera, Sang Buddha dan Ajaran-Ajarannya,
(Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1992), h. 178-179
[31] Majelis Budhayana Indonesia, Kebahagiaan
Dalam Dhamma,(Jakarta : 1980)
[32] Majlis Buddhayana Indonesia, Kebahagian dalam Dhamma, (Jakarta:
Majlis Buddhayana Indonesia, 1980), h. 135
[33] Sumber : Makalah Fitri Astuti
[34] Sumber : Makalah Fitri Astuti
[35] Krishnanda Wijaya-Mukti. Wacana
Buddha-Dharma.(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), h.212
[36] Ibid.
[38] Majelis Agama Mahayama Indonesia, h.522.
[41] Dikutip dari buku: Majelis Agama Buddha Nichiren Syosyu Indonesia. Sejarah
dan Perkembangannya Agama Buddha Nicirren Syosyu di Indonesia.
[43] Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:35
[44] What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html;
tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini
diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
0 komentar:
Posting Komentar