ALIRAN TANTRAYANA, MANTRAYAN, DAN VAJRAYANA
Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Ida zubaedah (1111032100032)
JURUSAN
PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS
USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
Pendahuluan
Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana adalah sebuah sub sekte
dari pada Mahayana, boleh dibilang Tantrayana adalah aspek esoteric dari
Buddhism, (Vajrayana).
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang
berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek
kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang berarti
wahana/kereta. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wang Shifu dengan lugas
di atas, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri
berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya
yang bertahap namun pasti, seperti tenun itu ibaratnya. Adapun tujuan akhir
dari pada Vajrayana, ialah : Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan
tubuh fisik kita saat ini di kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga
kalpa-kalpa yang tak terhitung .
Ajaran-ajaran Buddha Sakyamuni dirangkum ke dalam Vinayana
Abhidarma Sutra dan Tantra. Tantra sendiri diturunkan salah satunya kepada
Bhiksu Arya Kashyapa murid sang Buddha yang terkenal dengan latiahn-latihan
kerasnya.
1. Tantrayana
Tantrayana
adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa karena memiliki
cirri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara
India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa,
Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti
dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu
mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam
pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana
atau Tantra-Mahayana.
Fase
ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (fase pertama ialah
Hinayana, dan fase kedua ialah Mayana), dan merupakan fase yang paling penting
Agama Budha di India. Fase ini mulai sekitar tahun 500 M. Dan berakhir sampai
tahun 1.000 M. Yang paling menarik dalam fase ini adalah
cosmical-soteriological (yang berhubungan dengan keselamatan). [1]
sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan
utama adalah penyesuan yang harmonis dengan cosmos dan pencapaian penerangan
dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya adalah kebanyakan Sansekerta atau
Apabhramsa.
Aliran
Tantra Buddhist disebut juga Esoterik ( = Guhya Upadesa ) yang berarti secara
rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliran Buddhist lainnya disebut
Exoterik ( = Vyakta Upadesa ) yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat.
Bagi aliran Exoterik pelajarannya didasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai
ke-Buddha-an adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran
Esoterik pencapaian ke-Buddha-an hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau
ritual (Vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat
mengerti ajaran Tantra Buddist dikarenakan begitu rumit dan kompleks dalam
perkembangannya. Oleh karenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk
membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran
Exoterik dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran Esoterik secara baik.[2]
Emapat tingkatan Tantra;
1) Kriya Tantra; bersifat keupacaraan dan
bakti, keyakinan atau saddha lebih menonjol dibandingkan prajna.
2) Caryatantra; keyakinan dan Prajna
seimbang.
3) Yogatantra; proses kontemplatif dan
analitik lebih berkembang serta serta tumbuhnya perasaan kesamaan.
4) Anutarayigantantra; penyadaran
mistik akan kenyataan bahwa nirvana dan samsara itu identik, yang memuncak
dalam rasa kesamaan mutlak.
Secara umum Tantrayana dapat juga
dikatakan bagian dari Mahayana, karena ada beberapa inti filsafat Mahayana yang
diterangkan secara Esoterik dan penuh simbolis, seperti : Sunyata, Bodhicitta,
Tatha, Vijnana.
Sebagai suatu ajaran mistik atau gaib,
kemunculan tantra tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama Buddha
Mahayana. Munculnya Tantra sebagai suatu sistem metafisika Buddhist bersama
waktunya dengan perkembangan berbagai sistem filsafat agama Buddha Mahayana,
terutama dengan sistem Madya maka dan Yogacara, dan interaksi antara mereka.
Aspek rasional bathin tidak dapat lagi dipercaya untuk membawa ke penerangan
(Bodhi), karena landasan pemikiran rasional itu sendiri, dunia empiris,
terbukti bersifat khayal. Sistem Yogacara yang menekankan pada pengalaman
keagamaan penerangan yang disimpulkan sebagai Trikaya (Tiga Tubuh Buddha) serta
pentingnya kesadaran (Vijanana) sebagai dasar dari gerakan ke arah penerangan,
secara wajar meletakkan nilai lebih tinggi pada pengalaman mistik dari pada
pengetahuan empiris.[3]
Istilah Tantra secara etimologis berarti
‘menenun’ atau “alat tenun”, adalah istilah yang dipergunakan untuk mengacu
pada praktek-praktek esoterik (rahasia; tersembunyi) yang bertujuan
membangkitkan sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri seseorang guna mencapai
kesempurnaan, disamping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau
sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian.[4]
Singkatnya istilah tantrayan dapat dipergunakan untuk menunjukan sistem
keagamaan, atau sutra yang tergolong pada sistem ini.
a.
Kitab Astasahasrika-Prajnaparamita-Sutra;
kitab yang tertua dari kumpulan Prajnaparamita-Sutra, menyatakan bahwa Prajna-Paramita-Naya
Dharani, yang berasal dari selatan ( Daksinapata ) akan menyebar ke arah
Timur untuk selanjutnya berkembang ke Utara ( Uttarapatha ).
b.
Kitab Sekoddesa-Tika
karya Naropa, sebuah otorita di dalam kalacaka Tantra, menyatakan bahwa
Mantrayana telah dibabarkan oleh Hyang Buddha di Sri-Dhanyakataka.
c.
Tradisi-tradisi Buddist
yang terdapat didalam literatur bahasa Sansekerta, Mandarin, dan Tibet,
semuanya menyebutkan bahwa Nagarjuna, sesepuh Mahayana, yang mengambil ilmu
esoterik dan kumpulan kitab Prajnaparamita-Sutra dari kerajaan Naga,
adalah berasal dari India Selatan. Semua otoritas di atas selanjutnya setuju
bahwa Sri Parwata merupakan pusat kegiatan-kegiatan orang suci tersebut.
d.
Manjusrimulakalpa,
sebuah kitab tentang upacara Mantrayana, telah diketahui diketemukan dari
munalikkan Matham dekat Padmanabhuram di India Selatan.
Tantra
membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangkitkansuatu
penekanan baru pada metode intuisi dan Esoterik bersama dengan perkembangan
konsepsi ke-Tuhan-an dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra
menyentuhhampir setiap sekte Agama Buddha Mahayana yang berikutnya, menjadi
inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Buddist. Jika kita ingin
mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Buddist, maka yang paling
bijaksana adalah memulainya dengan tradisi mantra, bagian integral (
kelengkapan ) dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra
terdapat dalam Agama Buddha dan Agama Hindu.
Tampaknya
terdapat berbagai tahapan dalam pengembangan bentuk mantra. Pertama sebuah
sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya (
ikhtisar ). Selanjutnya hrdaya diringkas menjadi dharani yang
hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang gilirannya diringkaskan
lebih lanjut menjadi bentuk mantra yang hanya terdiri dari atas beberapa
suku kata. Akhirnya mantra tersebut disingkat kembali menjadi bija-mantra
( benih mantra ), yang hanya terdiri dari satu suku kata tunggal.[5]
Konsep
mantra pada pokoknya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda, nada
) sebagai suatu sumber kekuatan atau sebagai kekuatan itu sendiri, yang
memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti
pengakuan akan adanya hubungan misteri tertentu antara evolusi kosmik dan
suara. Suara dipersamakan dengan kekuatan dibelakang kosmos. Manusia dipandang
sebagai miniatur alam semesta.
Alam
semesta adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosma. Kekuatan pembawaan
didalam keduanya adalah sama. Kekuatan-kekuatan yang sama itu menguasai
bagian-bagian yang berhubungan dengan
dua pola. Jika kekuatan ini dipersamakan dengan suara, yakni aksara dan
suku kata yang merupakan simbol-simbol kekuatan ini, dan jika kekuatan ini
dipahami didalam bentuk sifat-sifat ke-Tuhan-an, maka mudahlah untuk menetapkan
mantra tertentu pada sifat ke-Tuhan-an tersebut.[6] Tugas
seorang Saddhaka ( siswa baru ) adalah menerima kaidah-kaidah ini dan
mempraktekannya, terutama mantra-mantra, untuk menghayati identitasnya dengan
sifat-sifat ke-tuhan-an tersebut ini adalah penghayatan diri yang harus di perjuangkan
oleh seorang Saddhaka sejati. Mantra berfungsi sebagai pembantu untuk
penghayatan terhadap tujuan teragung ini. [7]
Mantra
bukanlah bahasa sebagaimana yang telah kita pahami, karena ia tidak membawakan
arti sesuai dengan pemakaian bahasa yang wajar. Mantra adalah sumber kekuatan
kosmik yang dipahami sebagai suara. Siapa pun dan apa pun adanya keadaan
tertinggi itu, mantra mewakili energi agung tersebut, ‘kekuatan kesadaran
seseorang, kekuatan kosmik, dan kekuatan mantra adalah sama’.
Kekuatan
mantra didalam penghayatan akan kesatuan antara kosmos dan seseorang adalah
suatu proses psiko-fisik di mana mantra berfungsi sebagai pembantu. ‘tanpa
konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan’. Mantra
bukan bersifat magis belaka. Mantra adalah ajaran pembudidayaan diri,
pengembangan mental ( bhavana ), suatu cara untuk merealisasikan pribadi
agung ( adhyatma ). Mantra membantu seseorang saddhaka membebaskan
pikirannya dari hal-hal duniawi, yang dengan demikian mencapai obyek
pemujaannya dan merasakan satu dengannya. Singkatnya; mantra adalah efektif
didalam membawa kepada pencerahan atau penerangan bathin jika dipergunakan
secara tepat.[8]
Karena itu, perkembangan ilmu mantra di dalam agama Buddha Mahayana bukanlah
suatu tanda “kemerosotan” melainkan merupakan akibat wajar dari pertumbuhan
spiritual, dalam mana setiap perkembangannya menghasilkan bentuk ungkapan
sendiri yang dibutuhkan.
Sekte
Sarvastivada memiliki kumpulan mantra yang mereka sebut Mantra-Pitaka. Begitu
juga, aliran Mahasanghika memiliki kumpulan mantra khusus demikian yang
mereka sebut Dharani-pitaka atau Vidyadhara-pitaka.
Penggunaan
judul dharani pada rumusan ke-mantra-an ini membuat pentingnya mereka sebagai
sarana meditasi menjadi lebih jelas, istilah dharani yang berasala dari
akar kata ‘dhr’ ( mempertahankan ), secara harfiah berarti ‘apa yang
melaluinnya suatu hal dipertahankan’ dan kerap kali mengacu pada ‘penyimpangan
dalam ingatan’. Menurut kitab Yogacarabhumi-Shastra, dharani
dipergunakan untuk tujuan-tujuan berikut ini :
a)
Berhubungan dengan
Dharma : membantu mengingat sabda-sabda yang terdapat didalam sutra-sutra.
b)
Berhubungan dengan arti
: membantu agar tidak melupakkan arti sabda-sabda tersebut.
c)
Berhubungan dengan
tujuan magis : membantu membangkitkan kekuatan-kekuatan magis melalui kekuatan
meditasi untuk menolong makhluk-makhluk dari kesengsaraan.
d)
Berhubungan sebagai
pembantu mencapai pencerahan atau penerangan : mengenai hakekat sebenarnya
segala sesuatu.[9]
Demikianlah, dharani telah
menempati suatu kedudukan penting didalam sejarah agama Buddha Mahayana. Di
antara sutra-sutra Mahayana dini yang didalamnya mengandung Dharani dapatlah
kita sebutkan misalnya; Samdhiraja-Sutra, Sanhinirmocana-Sutra, Suvarnaprabhasa-Sutra,
Saddharmapundarika-Sutra, Lankavatara-Sutra, dan sebagainya.[10]
Disamping mudra, dharani, dan
mantra, ciri-ciri Tantra Buddist yang tidak dapat ditinggalkan di dalam
praktek adalah Mandala yang berarti gambar-gambar indah yang mempunyai
arti mistik atau sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya
intisari kitab Tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbul-simbul
visual. Gambar-gambar itu atau mandala itu adalah : Maha-Mandala,
Samaya-Mandala, Dharma-Mandala, dan Karma-Mandala. Sekte-sekte yang utama dari
Tantrayana adalah : Mantrayana, Vajrayana, sahajayana, Kalacakrayana.[11]
Tantra
Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal sejak abad IV
Masehi,setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang Xinqiang-China)
berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi mantra-mantra,
pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut
sesungguhnya belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu
sendiri, kata Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua
rupang Buddha maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin
dan feminim, lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan sopan
santun yang ada pada masyarakat China.
Tantra Timur berkembang di China
pada abad VII, ketika dikunjungi oleh tiga orang Maha Acharya Tantrayana dari
India, yakni:
1.
Subhakarsinha (637-735M), beliau tiba di Ch'an An setelah
belajar di Nalanda (India) pada tahun 716 M. Kemudian bersama-sama dengan I
Ching menerjemahkan Sutra Tantra yang terkenal, yakni Maha Vairocana Sutra pada
tahun 725 M.
2.
Vajra Bodhi (663-725M), beliau juga pernah belajar di
Nalanda (India) dan kemudian menerjemahkan Vajrasakhara pada tahun 720 M.
3.
Amoghavajra (705-784 M), beliau adalah siswa dari Vajrabodhi
yang tiba di Ch'an pada tahun 756 M.
Selanjutnya,perkembangan mazhab
Tantrayana di China sangat pesat selama lebih kurang tiga abad, antara abad V
hingga abad VIII Masehi. Selama tiga abad tersebut, berkembang delapan aliran
besar di China, yakni:
a.
Lu-Tsung (Vinayavada), didirikan oleh Tao-hsuan
(595-667 Masehi).
b.
San Lun Tsung (Madhyamika), didirikan oleh Chi-Tsang
(549-623 M).
c.
Wei Shih Tsung (Yogacara) didirikan oleh Huan Tsang
(596-664 M).
d.
Mi-Tsung (Tantrayana), didirikan oleh Amoghavajra
(705-784 M).
e.
Hua Ten Tsung (Avatamsaka), didirikan oleh Tu Hsun
(557-640 M).
f.
Tien Tai Tsung, didirikan oleh Chih K'ai (538-597
Masehi).
g.
Chin Thu Tsung (Amida/Pure Land). Didirikan oleh Shan
Tao (613-681 Masehi).
h.
Ch'an (Zen), didirikan oleh Bodhidharma sekitar tahun
500.
Kalau Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar
pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya dalam
letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang
disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk
menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada
perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas
pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat
pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Tantra
adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya
dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan
eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan dengan penyamarataan teori
tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat
yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan esoterik, yang selama
berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan
hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.[12]
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet. Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet. Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.
Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet
1.
Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect)
Anggota
sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan keturunan dari
garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka
menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini
merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak
hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi
guna menguasai:
·
Dasar
permulaan ajaran di transfer langsung dari para acarya India
· Mempertahankan
tradisi teks-teks kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti
Kitab Bardo Thodol.
2. Sekte
Kah-dam-pa
Sekte ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara
pada tahun 1042 masehi. Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan
berguru pada Maha Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke
Tibet pada tahun 1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya
dikemudian hari sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3. Sekte
Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota sekte ini mengenakan jubah
berwarna kuning. Sekte ini merupakan pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan
dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
4. Sekte
Kar-gyu-pa
Sekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI.
Garis silsilah (lineage) sekte ini diawali dengan Buddha Vajradhara (symbol
Penerangan Agung). Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan
upacara ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat
lebih mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan
erat antara guru dan murid. Salah seorang siswa Marpa yang terkenal adalah
Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair terkenal dari Tibet.
2. Mantrayana
Bahwa Mahayana lambat laun menujun
ke arah jalan kelepasan yang lain daripada yang ditawarkan oleh Buddha semula.
Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang
diperkembangkan juga oleh agama Hindu.[13]
Mantrayana
dimulia pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang
telah dilakukannya telah memperkaya Buddism dengan perlengkapan tradisi gaib.
Mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau
penerangan. Di dalam, cara ini, banyak ‘mantra, mudra, mandala, dan dewa,
ke-Tuhan-an, secara tidak sistematis diperkenalkan kedalam Buddhism, ini adalah
setelah tahun 750, diikuti oleh suatu sistematis yang dinamakan Vajrayana, yang
menyerasikan semua ajaran sebelumnya dengan satu kelompok mengenai Panca-Tathagata
( Panca Dhayani Buddha ). Dalam kurun waktu itu, arah dan system yang lebih
lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa diantara mereka adalah
Sahajayana, yang mana seperti sekte Ch’an ( Zen ) di Tiongko, lebih
menekankan kepada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, diajarkan secara
berbelit-belit, paradoksikal (perlawanan asas ) dan kesan konkrit, dan
menghindari nasib dari kembali kedalam suatu persektean sama sekali mengenai
tidak ada ajaran yang ditegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini,
dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayan ( Roda ‘waktu’, yang
ditandai oleh tingkat penyatuan aliran ) dan oleh penekanannya pada astrology.[14]
Gerakan
baru ini timbul di India bagian Selatan dan Barat laut. Non-Indian
mempengaruhi, dari China, Asia Tengah, dan perbatasan sekitar India, memainkan
suatu bagian penting dalam pembentukannya. Juga banyak menyerap ide dari suku
bangsa pribumi India sendiri. Tantra berusaha untuk memberikan suatu
kehormatan, walaupun sub-ordinasi, peranan bagi semua semangat, bidadari atau
peri, cerita, setan atau iblis, jin, raksasa, dan hantu yang telah sering
membayangi imajinasi yang populer, dan latihan gaib yang begitu berharga pada
semua fondasi yang lebih solid di dalam masyarakat. tetapi sejauh yang elite
dikaitkan, terdapat suatu perbedaan yang penting bahwa non-Buddhist menggunakan
gaib untuk memperoleh kekuatan, sedangkan Buddhist melakukannya untuk
membebaskan mereka sendiri dari kekuatan luar dan pada keadaan sebenarnya milik
mereka sendiri.
3. Vajrayana
Ledakan kreatif dari Tantra permulaan
menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu
adalah Vajrayana yang mementukan tata cara mengenai banyak sekali tradisi yang
luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang. Dia mengambil 5 bentuk bagian
mengenai semua kekuatan kosmik, tiap kelas ada dalam suatu pengertian yang
dipimpin oleh salah satu dari Panca-Tathagata. Nama-nama dari
Panca-Tathagata ( Panca Dhani Buddha ) ialah Vairocana, Ratna-Sambhava,
Amitabha, dan Amoghasiddhi. [15]
Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali
metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki
kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini
sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini
harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada
saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering
kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita,
yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering
akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus
kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun
sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan
kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia.
Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang
dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari
penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra
rahasia.
Ajaran Wajrayana sering juga disebut
dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa
ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin
mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan.
Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang
akan ia peroleh.[16]
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya,
bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu
tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah
menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan,
ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan
pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan
karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung
kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi
dalam diri murid tersebut.[17]
Mazhab Tantrayana yang berkembang di
Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet,
Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk
mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke
enam cara tersebut:[18]
1) Pembebasan melalui proses pemakaian
2) Pembebasan melalui proses pendengaran
3) Pembebasan melalui proses ingatan
4) Pembebasan melalui proses penglihatan
5) Pembebasan melalui proses Pengecapan
6) Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam
kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi
Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan
berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang
memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran.
Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan
filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi
khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan
mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Dalam ajaran
Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi
tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
·
Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419)
lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug
amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka
ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan
dan Tahap).
Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan Kadampa sebagai pendahulu
Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu
Atisha Dipamkara.
·
Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan
naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray
(Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang
merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi
ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava
agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
·
Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa
(1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada
metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang
meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta
metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga
pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di
dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri
dalam tradisi Kagyu. [19]
·
Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma
nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran
dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra
Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[20]
Ritual dan Praktek
a. Tantrayana
Jalan
Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan
dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal
seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek
Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang
dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu
dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang
harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang
lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3
macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana
pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur,
menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari
Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan
usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti
secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai
arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan
oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran,
menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan
yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang
diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan,
dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral
dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh
menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang
tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak
hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material
dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga
bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan,
memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang
Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di
dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya
diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra,
menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia
pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan
pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan
mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu
dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan
filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan
spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk
disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima
inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[12]
b. Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat
ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama
seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni
kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara
spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai
tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta
mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari
segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari
kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni :
· Bodhi
pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
· Bodhi
prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu
sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut
meliputi perlindungan pada Sang Triratna.
Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar
pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh
Triratna tersebut.
Sikap
perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan
keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk
mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap,
membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan
alam sekitarnya.
Tahapan
selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru
yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra
adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku
kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan
magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk
agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran
tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah
berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang
mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan
pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala
ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur)
maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur).
Catur Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin
yang luhur) terdiri dari:
§ Metta: Cinta kasih universal.
§ Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan
universal.
§ Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas
kebahagiaan makhluk lain.
§ Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.
c. Vajrayana
Dalam
Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali
praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah
sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan
yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang
dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian
yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam
mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa
kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita,
yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang
harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah,
mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan
mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan /
ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek
Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan
istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran
Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia.
Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan
latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah
dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka
semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang
Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh
memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia.
Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan
kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi
materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada
murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma
dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan,
ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri
murid tersebut.
Mazhab
Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana,
mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi
yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang
melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[13]
1) Pembebasan melalui proses pemakaian
2) Pembebasan melalui proses pendengaran
3) Pembebasan melalui proses ingatan
4) Pembebasan melalui proses penglihatan
5) Pembebasan melalui proses Pengecapan
6) Pembebasan
melalui proses sentuhan.
Panca
Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa manusia
adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang
selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut lima kelompok
kegemaran, terdiri atas:
a. Rupaskandha/Rupakkhanda
(kegemaran kepada bentuk)
b. Vedanaskandha/Vedanakkandha
(kegemaran kepada perasaan)
c. Samjnaskhandha/Sannakkhandha
(kegemaran kepada pencerapan)
d. Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran
kepada bentuk-bentuk pikiran)
e. Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha
(kegemaran kepada kesadaran).
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk
mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh
Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana.
Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam
elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian
yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di
atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang
disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin,
menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Kesimpulan.
Mazhab Vajrayana dikenal luas oleh
dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik).
Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu
yang kelihatan). Menurut umat Buddha mazhab Vajrayana ini, sesungguhnya
Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan
tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana
(perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan,
perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal
dari sipelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan
Buddha.
Vajrayana atau Tantra juga dikenal
sebagai aliran mistis. Kemistisannya itu nampak dalam praktek meditasi Tantra
dalam empat hal yang tidak dapat ditinggalkan yaitu; mudra, dharani, mantra,
dan mandala. Mantra merupakan kalimat pendek yang merupakan ringkasan dari
dharani. Mantra juga merupakan sumber kekuatan-kekuatan itu sendiri yang
mempengaruhi manusia dan alam dengan kuat. Matra itu bukan magi tetapi suatu
pembudayaan diri, pengembangan mental (bhavana), tranformasi kesadaran,
membantu manusia bebas dari keduaniawian dan bersatu dengan objek pemujaan.
Sedangkan, sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya intisari
kitab tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbol-simbol visual.
DAFTAR PUSTAKA
·
Suwarto. T. Buddha
Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
·
Honig, J.R. Ilmu
Agama. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 1997
·
http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6S
·
http.vajrayana.wikipedia.com
·
Ali, Mukti. Agama-agama di Dinuia. IAIN Sunan Kali
Jaga Press. Yogyakarta:1988
·
Stokes, Gillian.
Seri Siapa Dia? Buddha. Erlangga.
Jakarta: 2001
·
Edward, Conze. Sejarah
Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010
·
Conze, Edward. Sejarah
Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication.Cet.12010
[1] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 119
[2] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[3] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[4] Antin, menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, ( Jakarta :
Golden Terayon Press, 1986 )
[5] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122
[6] M. Ikhsan, tanggok, Agama Buddha, ( Jakarta : lembaga
Penelitian UIN Jakarta, 2009 )
[7] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122
[8] Mukti ali, Agama-agama di dunia, ( Yogyakarta : IAIN Sunan Kali Jaga
Press, 1988)
[9] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 123
[10] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124
[11] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
[12] Ibid hal.444
[13] Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997 hal.236
[14] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124
[15] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, ( Jakarta : Gunung Mulia,
2010), Cet. Ke-17
[16] Suwarto T, Budha Darma Mahayana,
( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 129
[17] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
[19] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[20] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[13]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml
HINAYANA DAN MAHAYANA
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh:
Noviah ( 1111032100045)
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
I.
PENDAHULUAN
Agama
Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan
Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa
itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai
internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
Dalam
sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar
bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang
belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu
yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra
seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke
Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada
pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang
datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari
bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan
menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari
bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa
yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti
India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang
dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].
II.
DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar
yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.
ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama
dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka
dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara
keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih
mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih
hidup pada 25 abad yang silam.
Prinsip-prinsip
pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha
dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh
karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas
sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan
cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya
bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh
kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap
orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan
tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga
“Theravada” yang lebih jelas
menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi
untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami
Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana
sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk
menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan
bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan
yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang
mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran
dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu
pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam
dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat
manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah
diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu
perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab
kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
a.
Segala sesuatu
bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berada untuk
sesaat saja itu disebut dharma. Oleh
karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yag berpikir,
sebab yang ada adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah
perasaan, demikian seterusnya.
b.
Dharma-dharma
itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok
sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus maka
timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
c.
Tujuan hidup
ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran
adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu,
namun apakah yang tinggal berada di Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan
dengan jelas.
d.
Cita-cita
tertinggi ialah menjadi arahat, yaitu
orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan
oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali[4].
e.
Manusia
dipandang sebagai seorang individu dalam usahanya.
f.
Sebagai kunci
keutamaan manusia ialah kebijaksanaan.
g.
Buddha dipandang
sebagai orang suci.
h.
Membatasi
pengucapan doa pada meditasi.
i.
Meninggalkan
atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis.
j.
Meninggalkan
atau menolak melakukan ritus dan rituals (upacara-upacara agama)
k.
Tidak mengenal
dewa-dewa Lokapala (dewa angin) atau Trimurti dan tidak mengenal beryoga atau
tantra (mantra-mantra)[5].
2.
ALIRAN MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang
diperbaharui dengan diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh
Buddhaghosa atau Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat
menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan
sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana
adalah kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian
ajaran Buddha yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya
dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan
berfikir dalam agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah
dalam bentuk aliran-aliran (sekte-sekte)[6].
Kira-kira antara abad pertama dan kedua masehi, maka
Agama Buddha di India mulai Nampak kelemahannya, disebabkan oleh perubahan
zaman. Perubahan zaman meminta agar Agama Buddha dikurangi kesederhanaannya,
hingga lambat laun bentuknya mendekati bentuk Hinduisme. Anasir-anasir baru
ditambahkan, anasir-anasir yang berwujud Panca Dhyani Buddha dengan Panca
Boddhisattvanya, beberapa dewi umpamanya dewi Tara, dewi Berkuti dan lainnya[7].
Di dalam pandangan-pandangan mengenai Buddha sendiri
terdapat juga perubahan-perubahan yang penting. Bagi agama Buddha yang lama,
Buddha itu tidak lain daripada seorang manusia juga, meskipun seorang guru yang
termulia, yang pada akhirnya sampai pada martabat Arahat dan mencapai
pencerahan Agung. Ia adalah manusia dan tetap manusia.
Di dalam hubungannya dengan mereka yang percaya kepada
ajarannya, Buddha itu tidak lain daripada orang yang telah menunjukkan jalan
dan pada jalan yang ditunjukannya orang harus berjalan.
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari
golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak
diapandang sebagai Allah dalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia
dianggap mempunyai sifat luar biasa dan ia makin menjadi objek pemujaan dan
penyembahan[8].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai
bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan
Bodhisatva yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju
jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi
atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam
meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam
melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu
biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
v Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas
mengajarkan:
a.
Seseorang dalam
mencapai Nirwana tidak egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat
saling membantu.
b.
Kunci keutamaan
ialah kasih sayang yang disebut “karuna”
c.
Pencapaian
tertinggi adalah Bodhisatva (orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin
untuk masuk Nirwana).
d.
Buddha dipandang
sebagai juru selamat mausia.
e.
Ajarannya
bersifat liberal[9].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran
Mahayana adalah Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper
terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
Secara
harfiah Bodhisattva berarti orang
yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi
(hikmat) yang sempurna.
Sebelum Mahayana timbul, pengertian Bodhisattva sudah
dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi
Buddha. Di situ Bodhisattva berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk
mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yag akan menjadi Buddha. Jadi semula
Bodhisattva adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi
Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattva adalah orang yang sudah melepaskan diri
dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi
masak pada diri orang lain. Seorang Bodhisattva bukan hanya merenungkan
kesengsaraan dunia saja, melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh
karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan aktivitasnya sekarang
dan kelak untuk keselamatan dunia. Karena kasihnya kepada dunia maka segala
kebajukannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana adalah untuk
menjadi Bodhisattva. Cita-cita ini
berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat. Sebab seorang arahat hanya
memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana ini juga berlainan sekali
dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka
Buddha, seperti yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya
sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk
diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikannya seorang
Bodhisattva sudah dapat mencapai Nirwana namun ia memilih jalan yang lebih
panjang. Ia belum mau masuk Nirwana, dikarenakan belas kasihnya pada dunia,
agar dunia dlam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa
mendapatkan Nirwana yang sesempurna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bodhisattva ini, di
dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta,
yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentinagn orang lain. Orag
yang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu
untuk kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah tentu berlainan sekali dengan
ajaran Agama Buddha kuno, yang mengajarka bahwa hidup seseorang terpisah dari
hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang pajang itu seorang
Bodhisattva tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam
keadaan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattva
tidak diharuskan menyagkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa
adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Hal yang kedua, yang memberi cirri Mahayana ialah
ajaran tentang Sunyata, yang artinya
kekosongan.
Kosong (sunyata)
berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa
tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh
karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang
kosong, melainkan juga Nirwana bahkan
Dharma juga kosong. Kebenaran yang
tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat
dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak
tidak memiliki cirri-ciri yang membedakan denga yang lain.
Di dalam perkembagannya Mahayana mengalami
bermacam-macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan
kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak
abad pertama Masehi, Bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh
itu makin kuat. Karena timbulnya unsure penyembahan ini berubahlah keterangan
tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha
Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha, menjadi tempat
perlindungan.. akan tetapi di dalam Mahayanatempat perlindungan itu ialah para
Buddha, anak-anak Buddha, atau Bodhisattva dalam arti yang laus dan
Dharmakarya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara
mitologis[10].
Ajaran tentang
banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau lima
unsure yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa manusia terduru
dari lima skandha, yaitu: rupa
(tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan dsb.), dan
wijnana (kesadaran).ajaran ini
diterapka kepada diri Buddha sendiri. Diajarkan bahwa Buddha juga terdiri dari
lima skadha, dan tiap skandha adalah seorang tokoh Buddha, yang disebut
Tathagana. Kalimat Tathagana itu ialah Wairoscana
(Yang menerangi atau Yang Bersinar), Aksobhya
(Yang Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa
(Yang Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang
yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan
yag tak binasa). Para Tathagana ini berbeda sekali keadaanya dengan Buddha yang
biasa. Para Tathagana adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia,
sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran
tentang , yaitu Buddha yang pertama,
yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena
dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia
timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dhayana) sang Adhi Buddha mengalirkan
dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhiyani
Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan
amoghasiddhi.
Kesatuan tentang ajaran Buddha yang bermacam-macam itu
didapatkan dalam ajaran tentang tiga
tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga tubuh itu adalah: Dharmakaya, Sambhogakaya,
dan Nimanakaya. Dharmakaya adalah
tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi
Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakan, emanasi (pengaliran),
transformasi atau pemantulan tubuh sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap
manusia Buddha.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang
ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam sorganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai
juruselamatnya atau Dhyani Bodhisattvanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau Utusannya adalah Gautama.
Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau
dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakan oleh Sakyamuni atau Gautama,
setelah ia menjadi Buddha[11].
III.
SECARA RINGKAS PERBANDINGAN ANTARA HINAYANA DAN
MAHAYANA
A.
Perbandingan
antara Hinayana dan Mahayana
1)
Dalam Hinayana
adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan
metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Buddhism.
2)
Dalam Hinayana
kitab sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskerta, sedang Mahayana
murni dalam bahasa Sanskerta. Kitab suci Hinayana tertulis dalam bahasa Pali
yang dinamakan Tipitaka, sedangkan kitab suci Mahayana tertulis dalam bahasa
Sanskerta yang dinamakan Tripitaka-Mahayana dengan 12 bagiannya, Tripitaka Mahayana
mencakup Tipitaka Hinayana, tetapi Tipitaka Hinayana tidak mencakup Tripitaka
Mahayana.
3)
Hinayana
konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu percampuran dari lima unsure
elemen (Panca Skandha), yang terus
berubah (anitya) atau sementara (ksanika).
4)
Dalam Hinayana
pembahasan (Nirvana) ialah bersifat individu tapi haarus dicatat bahwa pada
waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan
kekal, damai, bahagia dan bauk sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana itu
adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita atau
ke-Buddha-an.
5)
Dalam Hinayana
Nirvana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran
batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya dengan
pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh
ketidaktahuan/kebodohan tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan mengenai
ketenangan yang abadi, murni, dan kekal (jneyavarana).
6)
Dalam Hinayana
pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-Arhat-an pada akhir masa kehidupannyayaitu Nirvana, sedangkan
Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattva, yang diajarkan untuk
memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta, yaitu istilah yang pertama dimaksudkan bahwa
mereka harus bernadar dan berkeinginan memperoleh Bodhi dan akhirnya menjadi
Buddha, dan istilah berikutnya ialah dimaksudkan bahwa Bodhisattva harus
memulai mencoba untuk mencapai kesempurnaa melalui Sad-Paramit dan Dasa-Bhumi.
Tujuan Mahayana haruslah merealisasikan kebenaran tertinggi (pramita satya) yang sangat luas dan
mengenai satu rasa seperti lautan dimana semua sungai kehilangan identitas
mereka.
7)
Dalam Hinayana
umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang Sangha dan memberikan
hadiah makanan, pakaian dan dengan membangun vihara untuk tempat tinggal
bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan bhiksu dan
pengamat 5 atau kadang-kadang 8 sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya
dicalonkan sebagai Bodhisattva, yang mempunyai tugas seperti telah dijelaskan
diatas.
8)
Menurut
Hinayana, Buddha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedang menurut
mahayanasemua makhluk mempunyai sifat dasar atau benih-benih Buddha, secara
tekhnis dikenal sebagai Tathagata-garbha (Rahim
Tathagata), yang merupakan tempat perpaduan kedua-duanya yang baik dan buruk,
dan hanya bilaman yang buruk itu dibasmi secara total, maka ia akan menjadi
Tathagana.
9)
Mahayana,
konsepsi madhyammika dan Yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah
tidak kekal, sementara (ksanika),
dank arena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak.
10) Menurut
konsepsi Hinayana menegnai kebenaran tertinggi ialah hanya Pudgala-sunyata, sedang Mahayana kedua-duanya yakni Pudgala-sunyata dan Dharma sunyata.
11) Menurut
Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau Jana,
yaitu: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, dan arahatta, sedangkan Mahayana
mengenal 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut
Bodhisattva-Bhumi ada 12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan
sempurna dan menjadi Buddha.
B.
Persamaan antara
Hinayana dan Mahayana
1)
Memusnahkan
kemelekatan, kebencian, dan khayalan ataun ilusi (raga, dvesa, moha).
2)
Dunia tiada
permulaan atau awal (anamaggo-ayam-samsaro)
begitu juga akhir.
3)
Empat
Kesunyataan Mulia atau Kebenaran Utama, dukha,
samudaya, nirodha, marga, dan 8 Jalan Utama.
4)
Semua makhluk
dunia dan obyek adalalah tidak kekal (anatiya),
bersifat sebentar (ksanika) dan di dalam keadaan terus-menerus berubah (Santana), dan tanpa adanya sesuatu
substansi nyata (anatmakam).
5)
Hukum
Sebab-Akibat yang saling bergantungan (pratitya-samutpada)
adalah berlaku secara universal.
C.
Perbedaan antara
Hinayana dan Mahayana
TH.Stcherbatsky,
Ph.D. di dalam bukunya The Conception of Buddhist Nirvana (With Sanskrit Text of
Madhyamaka-Karika), menjelaskan perbedaan antara Hinayana dan Mahayana
secara garis besar sebgai berikut:
1)
Perbedan di
dalam interpretasi mengenai Pratiyasamutpada,
2)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Nirvana,
3)
Perbedaan di dalam
tujuan akhir,
4)
Perbedaan yang
berhubungan dengan usaha untuk pencapaian Nirvana,
5)
Perbedaan yang
berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan,
6)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Dharma,
7)
Perbedaan di
dalam konsep mengenai Buddhology,
8)
Hinayana
intelektual, Mahayana intelektual juga bakti-puja,
9)
Hinayana
pluralistic, Mahayana non-dualistik,
10) Hinayana rasionalistik, Mahayana gaib[12].
IV.
RITUAL DAN PRAKTEK BUDDHA MAHAYAA DAN HINAYANA
1.
Persembahan
Barang dalam Sembahyang
Buddhism Mahayana dlam prakteknya menuntun atau
membimbing umatnya untuk menghayati dan merealisasikan Buddha Dharma dengan dua
cara, yaitu:
a.
Cara sulit,
dengan belajar Dharma dari Sutra-Sutra dan Sastra suci serta meditasi.
b.
Cara praktis (Upaya-Kausalya), dengan cara sembahyang
atau puja-Bakti.
Kedua cara ini maksudnya untuk pengolahan batin supaya
alam spiritual miliknya berkembang secara perlahan-lahan di dalam jalan menuju penerangan
atau pencerahan, makna Ti-Kaya.
Untuk Buddha Mahayana biasanya melakukan persembahan barang dalam
sembahyag di depan altar Buddha atau Bodhisattva atau Tuhan Yang Maha Esa
berupa:
1.
Dupa atau hio,
2.
Lilin merah,
3.
Air minum
mineral,
4.
Bunga-bunga,
5.
Buah
(bermacam-macam buah).
Persembahan barang dalam sembahyang secara lengkap di
atas biasanya dilakukan pada Hari Upavasatha dan dengan makan makanan nabati.
Persembahan barang boleh juga dari sayuran yang dimasak, manisan buah, kacang,
kue, dan lain-lainnya asalkan barangnya bukan dari bahan atau langsung dari
daging atau makhluk bernyawa/hewan ternak. Jangan persembahkan barang berupa
kemenyan, minuman mengandung alcohol, minyak wangi (minyak colognette), rokok
cerutu (lisong).
2.
Makna dari
Barang Persembahan
Agama Buddha merupakan sekteris, tiap jenis barang
persembahan mempunyai makna tersendiri secara filsafat dan keyakinan iman
menurut sekte masing-masing. Secara umum jenis barang persembahan mempunyai
makna, yaitu:
1.
Dupa atau hio:
dengan wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan (Dharma-Dhatu),
mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thatagana,
Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisattva Mahasattva, dan para Deva
dan Devi (makhluk halus yang suci).
2.
Lilin merah: lilin
merah yang dinyalakan memberikan penerangan bermakna supaya kita diberikan
penerangan, menerangi jalan kehidupan dan penghidupan diwaktu sekarang, Buddha
Dharma menerangi rohani kita, pikiran kita, secara perlahan-lahan kita dibawa
kejalan penerangan, pencerahan.
3.
Air minum
mineral (air minum yang telah dimasak): persembahan air mempunyai makna agara
pikiran kita, ucapan kita, dan perbuatan kita bersih selalu, membersihkan
kotoran batin atau hati nurani kita. Belajar dari sifat air, supaya kita
bersikap rendah hati bukan rendah diri, sabar tapi mempunyai prinsip untuk
maju, rohani kita atau spiritual kita bertambah maju.
4.
Bunga-bunga:
bunga mekar memberikan harum, melambangkan keindahan dan ketidakkekalan. Harum
bunga yang tercium oleh hidung kita karena terbawa oleh hembusan angin dari
arah yang berlawanan. Angin yang bertiup dari arah timur, harum bunga tercium
oleh kita dari sebelah barat. Harum nama kita keseluruh penjuru tidak terhalang
waktu dan ruang.
5.
Buah: prsembahan
buah mempunyai makna jangan membunuh makhluk hidup.buah boleh dimakan, tapi
bijinya bisa ditanam dan dia akan tumbuh bereksistensi seperti semula lagi.
3.
Cara Sembahyang
Sebelum mengambil dupa untuk sembahyang, tangan bersih
terlebih dahulu. Mengeluarkan dupa dan menyalakannya tidak boleh langsung
diatas altar di hadapan ruphang (Buddha; Bodhisattva; Deva/Devi), dan
memadamkan api dari dupa tidak dengan ditiup melalui mulut. Dengan tangan kanan
mengeluarkan dupa dari tempatnya atau bungkusnya, setelah dupa dinyalakan, cara
memegangnya yaitu jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan mengapit
dupa, ujung kaki dupa sampai ke ibu jari kanan, jari telunjuk dan jari tengah
dan ibu jari dari tangan kiri berada di dalam dengan posisi yang sama dari yang
kanan. Ber-namaskara (weng sin) tiga
kali, dupa dipegang pada posisi tersebut di mulai dari depan hati lalu
tempelkan ibu jari di depan dahi. Dengan membaca mantra untuk membersihkan
tempat, membersihkan jasmani dan rohani, persembahan dupa. Menancapkan dupa ke
tempat dupa (hio lo) dengan tangan
kana, dan baca dalam hati mulai dengan pemasangan dupa ditengah (mengucapkan di
dalam hati; ku mencintai alam semesta/dunia ini), lalu dupa yang kedua di
sebelah kanan (dengan ucapan; aku berusaha menjalankan sila), lalu dupa yang
ketiga di sebelah kiri (dengan ucapan; aku berusaha menolong semua makhluk
hidup yang memerlukan pertolongan). Sebelum memasangkan dupa boleh mengucapkan
nama-nama para Buddha, Bodhisattva, dari tiga masa waktu dan di sepuluh penjuru
bertururt-turut sebanyak tiga kali. Setelah dupa dipasang, kemudian namaskara
(weng sin) tiga kali.
V.
KESIMPULAN
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa aliran dalam agama Buddha yaitu Hinayana
dan Mahayana adalah dua aliran yang berlainan. Jenis esensi aliran dan ajaran
Buddha Hinayana adalah sesuai dengan keaslian ajaran Buddha. Tidak mengenal
adanya dewa-dewa penyelamatmanusia. Dengan demikian maka dalam Hinayana tidak
terdapat upacara-upacara keagamaan dan pemujaan terhadap yang Maha Suci.
Sedangkan Buddha Mahayana mengakui adanya dewa-dewa Buddha yang masing-masing
mempunyai fungsi, termasuk didalamnya dewa Lokapala. Kepercayaan demikian
bersumber pada ajaran kebebasan dalam berfikir dan keterbukaan sikap yang
diberikan kepada pemeluk-pemeluknya yang mendorong banyak kemungkinan untuk
menerima pertukaran kebudayaan dengan unsur-unsur kebudayaan suku bangsa ajaran
tersebut.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Abdul Manaf, Mujahid. Sejarah agama-Agama. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996
Ø Arifin, Muhammad. Menguak
Misteri Ajaran agama-Agama Besar. Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
Ø Hadiwijono, Harun. Agama
Hindu dan Buddha. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø Jr, A.g Honig. Ilmu
Agama. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø T, Suwarto. Buddha
Dharma Mahayana. Majelis Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Ø Kebahagiaan
Dalam Dhama. Majelis
Buddhayana Indonesia. 1980
[1]Suwarto. T, Buddha
Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana, 1995), h. 833
[2]M. Arifin, Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986),
cet-1, h.108
[5] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.109
[6] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.110
[8]A.g Honig Jr, Ilmu Agama, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2003 ), cet – 10, h.225
[9] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar,
(Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.111
[12]Suwarto.T, Budha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana
Indonesia, 1995), h.839-842.
PENDAHULUAN
A
special transmission,
Outside
the scriptures.
No
dependence on words and letters.
Direct
pointing to the mind
and
the realization of Buddhahood.
-
Bodhidharma
Membicarakan tentang Zen dalam ajaran Buddhisme bukanlah hal
yang mudah. Hal ini dikarenakan Zen, merupakan ajaran tentang meditasi yang
menuntut untuk dipraktikkan bukan dibicarakan atau dikaji dalam ceramah-ceramah
keagamaan. Maksudnya adalah meninggalkan ketergantungan pada kata, aksara, dan
bahasa dan memulai pemahaman dengan hati.
Secara Harfiah, kata Zen merupakan bahasa Jepang dari Ch’an
dalam bahasa Cina. Ch’an sendiri merupakan penyebutan Dhyana dalam bahasa Cina.
Jadi Zen merupakan perkembangan dari sekte Dhyana di India. Dhyana berarti
meditasi. Zen Buddhisme memfokuskan dirinya pada pencapaian pencerahan (Bodhi)
melalui meditasi sebagaimana yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Zen
meyakini bahwa setiap manusia memiliki sifat kebuddhaan alamiah atau potensi
untuk mencapai pencerahan.
ZEN BUDDHISME
DAN AJARAN-AJARANNYA
d
Sejarah Buddhisme Zen
Zen di India
Sejarah Zen dimulai dari India. Seiring perubahan zaman,
Hinduisme—yang juga merupakan akar Buddhisme—yang sempat tersingkir oleh beberapa
ajaran baru yang muncul di India; kembali menemukan jalan kebangkitannya.
Beruntung sebelum Buddhisme tergusur oleh Hinduisme—karena Hinduisme mengalami
kebangkitan—pengaruh Buddhisme telah tesebar melintas benua hingga ke Cina.
Agama Buddha Mahayana, salah satu sekte dalam Agama Buddha, dibawa ke Cina oleh
Boddhidharma[1].
Pada masa Sang Buddha, yoga sebagai konsentrasi terhadap
Brahman dipraktikkan secara luas. Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk
meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu: pencapaian ketenangan
dengan duduk bermeditasi. Faktanya, metode-metode dalam yoga dewasa ini
terbatas hanya berkaitan dengan apa yang harus dimakan, berpuasa, dan
sumpah-sumpah tertentu; seperti sumpah untuk tetap berdiri dengan satu kaki
dengan tujuan untuk memperpanjang waktu. Melalui sejenis pertapaan dan kesatuan
seluruh latihan, yogi melatih dirinya sendiri untuk mengabaikan hal-hal yang
bersifat eksternal dan mengontrol pergerakan ruhnya sendiri hingga yang paling
tipis sekalipun[2].
Sang Buddha mempraktikkan yoga ini selama dua belas tahun
sejak ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengunjungi
orang-orang suci dan menanyai orang-orang bijak, berkelana ke empat penjuru
negeri. Akan tetapi, pada akhirnya Sang Buddha tidak menemukan jawaban terhadap
dua pertanyaannya yang esensial melalui Yoga. Yaitu: Apa itu manusia dan
Bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya?[3]
Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan
kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia
mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha
menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh
umat manusia.
Zen in Cina
Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian
mentransmisikan (semacam mewariskan) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina.
Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao
Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Boddhidharma merepresentasikan generasi ke dua puluh delapan
dari Sesepuh dalam Agama Buddha. Pada saat itu Cina dibagi menjadi tiga wilayah
yang saling bermusuhan. Kekacauan terjadi dimana-mana menunjukkan pergolakan
yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Negara itu dipimpin oleh para tiran
dan berdarah-darah karena pemberontakan. Dinasti Liang memimpin satu wilayah
kuno di Cina. Kerajaan Wu-Ti, merupakan kepala dinasti ini dan seorang buddhis
yang kuat, mendengar tentang Boddhidharma dan mengundangnya untuk datang ke
istananya. Wu Ti menanyakan “apa yang menjadi ajaran dasar dalam Agama Buddha?’
dan Boddhidharma menjawab, ‘satu kekosongan yang besar sekali. Langit yang
cerah. Langit yang tidak menunjukkan yang tercerahkan dan yang bodoh. Dunia
yang tepat sebagaimana seharusnya”. Meskipun keinginannya untuk menjadi seorang
Buddha sangat kuat, Wu Ti tidak memahami pesan yang dibawa oleh Boddhidharma
dan kemudian menyadari bahwa pada masa itu untuk Zen belum siap untuk
disebarkan di Cina. Karenanya, ia menyeberangi sungai Yang-Tse dan beristirahat
di Kuil Shorin di Gunung Utara. Di sana, ia membpraktikkan duduk Zazen di
hadapan sebuah tembok selama sembilan tahun, beberapa mengatakan tanpa henti.
Zen tersebar dengan cepat melalui Sesepuh Cina yang ke-6, Hui
Neng (Eno). Setelah Eno, terdapat bunga kelopak lima berkembang. Ekspresi Zen
ini berarti Zen terbuka seperti sebuah bunga dengan lima kelopak dan menyebar
luas seantero negeri, terima kasih kepada kelima aliran yang muncul dari garis
keturunan spiritual Eno (Hui Neng). Kelima aliran tersebut adalah Igyo, Hongen,
Soto, Unmon, dan Rinzai. Di gunung-gunung dan hutan-hutan Cina, dibangun ribuan
kuil (vihara) yang kemudian ditinggali oleh lebih dari 10 ribu orang,
mencurahkan diri mereka untuk belajar dan mempraktikkan Dharma Buddha. Dalam
perjalanan waktu, Zen mengeisi peradaban Cina, mengangkat pemikirannya,
budayanya, dan seninya ke ketinggian yang maha mulia.
Di Tiongkok (Cina) madzhab Mahayana berinteraksi dengan
Taoism dari Lao Tze (604-531 SM) dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze
(551-479) dan di Jepang berinteraksi dengan Shintoisme. Bentuk interaksi ini
positif dan negatif, artinya Buddha saling bersinggungan dengan
kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Cina dan di Jepang, yang dalam
perjalanan sejarah mempengaruhi alirang-aliran Buddha Mahayana di Cina dan
Jepang. Dari kelima aliran Zen ini, hanya tiga yang juga berkembang mencapai
Jepang: Soto, Rinzai, Obaku (yang terakhir merupakan cabang dari aliran
Rinzai). Dua yang lainnya mati di Cina.
Zen di Jepang
Aliran Mahayana berkembang di Cina kemudian diperkenalkan ke
Jepang lewat Korea, yakni ketika raja Kudara mengirimkan kitab-kitab dan
patung-patung Buddha kepada Kaisar Jepang. Pada mulanya, kehadiran agama baru
ini ditentang. Sejak tahun 552M Buddhisme telah masuk ke Jepang dan Cina.
Ajaran-ajaran Buddha dengan cepat tersebar setelah timbul anggapan bahwa
dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan
Shintoisme. Sebenarnya, corak kepercayaan Buddhisme di Jepang terbagi menjadi
dua. Yang pertama, kelompok yang ingin mencapai kelepasan dengan usahanya
sendiri, yang kemudian disebut Zen Buddhisme. Yang kedua, ignin melepaskan diri
dnegan pertolongan dewa-dewa.
Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari perkembangan
Zen. Terima kasih kepada Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan Keizan (Pendiri
aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang ketat yang didisain
untuk mengartikulasikan penciptaan mentail. Koan atau pertanyaan yang
membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang sangat penting dan
ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin langsung untuk ke
pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran (awakening).
Sementara itu, tradisi Soto bertujuan melampaui segala sesuatu
untuk berkonsentrasi dan merenungkan kehidupan Sang Buddha, mengikuti
keseharian Sang Buddha, rasa syukur yang bertambah setiap harinya terhadap
keberadaan sehari-hari, tanpa mengharapkan apa pun yang biasa. Esensi dari Soto
adalah Shikatanza, duduk dan hanya duduk. Dengan Master Dogen (1200-1254)
tradisi Soto dan esensi Buddhisme mencapai satu level kematangan dan ketelitian
yang susah untukd iatasi pada saat yang lain. Masterpiecenya, “Shobogenzo”
merupakan karya yang sangat diperlukan untuk memahami Buddhisme dan esensi dari
seluruh Peradaban Timur.
Zen telah mempengaruhi kehidupan keseharian orang-orang
Jepang. Pengaruh ini dapat dilihat pada kehidupan Jepang seperti: Makan,
berpakaian, kaligrafi, arsitektur, teater, musik, taman, dekorasi dan lain
sebagainya. Termasuk hari ini, ketika banyak orang Jepang tidak mengetahui apa
Zen itu, perilaku keseharian mereka dan ekspresi-ekspresi mereka menunjukkan
pengaruh ajaran ini di Jiwa Jepang.
d
Ajaran-ajaran Zen Buddhisme
Meskipun dikatakan bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh
segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta
meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen
Buddhisme:
a.
Surangama Sutra
b.
Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.
Lankavatara Sutra,
d.
Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.
Sutra Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth
Patriarch)
Zen Buddhisme menerapkan Meditasi, yaitu Samatha Bhavana dan
Vipasyana Bhavana. Meditasi Zen Buddhisme, ti dan dengan tata cara upacara,
melainkan secara wajar dan alamiah serta tidak terikat pada posisi duduk
bersila. Dalam Zen Buddhisme, bagi mereka walaupun tidak ada pendidikan formal
juga akan tetap memperoleh kemajuan spiritual, dengan demikian, Buddha Dharma
akan lebih mudah dipahami dan dihayati, asalkan dengan usaha yang
sungguh-sungguh, tekun latihan meditasi. Maka secara filsafat Zen Buddhisme,
ajaran Dharma diberikan secara langsung dari hati ke hati.
Filsafat Zen Buddhisme juga membahas tentang Sunyata. Sebagaimana
dijelaskan dalam Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra, bahwa hati dan pikiran
kita, janganlah terikat dengan Anitya, Dukkha, dan Anatman. Segala sesuatu yang
bersyarat di alam fenomena ini tidaklah kekal atau terus berubah dan tidak
pasti, demikian juga seperti perasaan dan pikiran kita, jika terikat pada
perasaan dan pikiran kita, seandainya perbuatan baik yang telah dilakukan
sedangkan karma baik atas perbuatan baik kita itu tidak langsung berbuah,
bukankah itu akan sangat mengecewakan?[4]
Tujuan utama dari sekte Zen atau Ch’an bukanlah hanya duduk
bermeditasi, melainkan membina kesadaran pada diri kita sendiri atau membuka
kesadaran diri kita sendiri untuk mencapai ‘U’ (Satori). Setelah tercapainya
‘U’ (Satori) maka secara psikologi, pikiran dan batin kita telah maju dan telah
bebas dari segala macam kemelekatan atau ikatan. Dia akan terus maju dan secara
teologis, dapat diartikan semakin mendekati Sang Absolut. Sekte Ch’an tidak
terikat pada segala macam tradisi, tata-upacara sembahyang, dan tidak terikat
pada Sutra-sutra. Yang paling penting adalah bagaimana menembusi isinya dan
mengenal diri sendiri secara intuisi; bagaimana merealisasikan Dharma. Dharma
itu Sunyata karena itu tidak dapat jika hanya dijelaskan dengan kata-kata,
hanya dengan usaha yang tekun dan waktu yang lama seseorang baru dapat
merealisasikannya.[5]
Zen memelihara jalan ini sebagai jalan yang melaluinya Buddha
sendiri mencapai pencerahan. Zen mengajarkan bahwa seluruh manusia memiliki
kapasitas yang sama untuk mencapai pencerahan karena kita memiliki sifat alami
kebuddhaan; sebenarnya, kita merupakan keberaan yang telah tercerahkan, tetapi
potensial kebenaran kita telah terhijab oleh kebodohan. Berdasarkan beberapa
tradisi Zen, kebodohan ini menguasai dapat dikuasai melalui pemecahan tiba-tiba—yang
disebut satori—selama meditasi dimana sifat alami dari keberadaan dan
pengalaman kita, disingkapkan.
Aliran Zen yang berbeda, diantaranya adalah Rinzai dan
Soto—dua yang utama—menemukan kembali beberapa metode untuk mencapai
pencerahan, termasuk mempraktikkan zazen (“hanya duduk” bermeditasi). Meskipun
pesan Zen nampak sangat sederhana, latihannya sangat sukar dan membutuhkan
petunjuk dari seorang master. Di Jepang, Zen menjadi populer di kalangan
prajurit samuria karena fokusnya pada kedisplinan dan kontrol diri; Zen juga
mengiformasikan praktik-praktik seni yang lainnya, seperti kaligrafi, lukis,
desain taman, dan memanah. Sejak awal abad ke-20, satu versi populer Zen telah
tersebar ke seluruh dunia dan mempengaruhi baik di USA ataupun Eropa.
Zen merupakan sebuah warisan khusus di luar Kitab Suci. Kitab
suci dalam agama Buddha adalah Tripitaka, yang terdiri atas Vinaya Pitaka, Sutta
Pitaka, dan Abidharma Pitaka. Secara tradisional Tripitaka berisi kata-kata
Sang Buddha. Sang Buddha sendiri, tentunya tidak pernah menulis apa-apa,
seperti Socrates dan Kristus, beliau menyebarkan ajarannya secara lisan. Dan
murid-murid dan para keturunannya yang menuliskannya kemudian. Pemahaman
terhadap kitab suci, merupakan kunci awal mempelajari Zen. Dalam vihara-vihara
Zen, tak jarang isi-isi kitab suci seperti Sutra Intan, Sutra Altar dan lain
sebagainya, dihafalkan di luar kepala. Tanpa kitab suci, kita tidak akan
memahami apa yang kita—sebagai Buddhis dan termasuk pengikut-pengikut Zen di
dalamnya—sedang coba dapatkan dan bagaimana cara mendapatkannya.
Satu-satunya cara yang dapat membebaskan diri dari kitab suci
adalah dengan memiliki hubungan yang kuat dan terus-menerus dengan seorang guru
yang telah mencapai pencerahan spiritual atau Penerangan Sempurna. Guru yang
demikian, merupakan perwujudan kitab suci.
Dari seorang guru yang telah mencapai Pencerahan Sempurna,
ajaran-ajarannya diwariskan atau ditransmisikan kepada murid-muridnya. Dalam
tradisi Zen, terdapat empat macam pewarisan ilmu tersebut, yaitu:
a.
Transmisi Ordinasi.
Terdapat tiga jenis
ordinasi: Upasaka-upasika; bhikshu-bhikshuni; dan Bodhisattva. Ketiga ordinasi
ini membentuk persaudaraan spiritual atau Sangha. Setiap ordinasi, melibatkan
pelaksanaan sikap spiritual tertentu dan ketaatan pada aturan tertentu.
Upasaka-upasika
diordinasi oleh Bhikshu, atau bhikshuni atau Boddhisattva. Menyatakan
berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha dan menaati Sepuluh Sila, yakni
menjauhkan diri dari:
1.
Menyakiti makhluk lain
2.
Mengambil apa yang tidak diberikan
3.
Mempraktikkan kehidupan seks yang salah
4.
Perkataan yang kasar
5.
Perkataan yang tidak benar
6.
Perkataan yang fitnah
7.
Perkataan sia-sia
8.
Keserakahan
9.
Kebencian
10. Pandangan salah.
Seorang Bhikshu
atau bhikshuni diordinasi sekelompok bhikshu yang terdiri atas lima orang,
termasuk diantaranya seorang sesepuh (sthavira) yaitu bhikshu yang paling tidak
suda berada dalam Persaudaraan selama sepuluh tahun. Bhikshuni mendapatkan dua
kali ordinasi, sekali oleh sekelompok bhikshu dan sekali oleh sekelompok
bhikshuni. Baik bhikshu maupun bhikshuni, meninggalkan kehdiupan duniawi,
mengabdikan seluruh kemampuan mereka untuk penyadaran Nirvana, dan menaati 150
sila. Empat pasal yang paling utama adalah:
1.
Tidak melakukan hubungan seks;
2.
Pencurian;
3.
Pembunuhan dan mendorong tindakan bunuh diri, dan
4.
Menyatakan dengan tidak benar pencapaian spiritual tertentu.
Seorang
Boddhisattva diordinasi oleh Buddha. Tetapi pada praktiknya diordinasi oleh
Boddhisattva yagn lebih senior. Ia mengembangkan niat untuk mencapai Penerangan
Sempurna, demi kebahagiaan semua makhluk, dan menjalankan suatu peraturan yang
(menurut tradisi Indo-Tibet) terdiri dari 18 syarat mayor dan 46 syarat minor,
semuanya menekankan pada altruisme.
b.
Transmisi Kitab Suci
Untuk memahami
kitab suci, diperlukan pengajaran dari seorang guru yang telah mencapai
Pencerahan Sempurna. Bersamanya, kitab suci dibaca lembar demi lembar, dan
dipahami maknanya. Biasanya, hasil penafsiran terhadap kitab suci juga ditulis
sendiri oleh yang bersangkutan untuk dijadikan pedoman pemahaman kitab suci. Mempelajari
kitab suci seorang diri tidaklah ckup. Seseorang pda waktu yang sama harus
mempelajari interpretasi yang benar, di bawah bimbingan seorang guru dari
“silsilah pewarisan”.[6]
c.
Transmisi Doktriner
Doktrine adalah
sitematis ajaran seperti yang terdapat dalam kitab suci. Yang terdiri atas Lima
Agregrat, Sembilan Orang Suci, Dua Belas Mata Rantai, dan seterusnya. Di India,
secara bersamaan terdapat empat transmisi doktrin yang berbeda, dalam bentuk empat
ajaran filosofis: Vaibhashika, Sautrantika, Vijnandavadin, Madhyamika. Ini
semua merupakan sajian sistematis dari Ajaran dalam arti berturut-turut:
realisme sederhana, realisme Kritis, idealisme, dan absolutisme. Semua
transmisi ini, diteruskan dengan penguatan dan tambahan di Tibet dan Timur
Jauh. Di Cina, transmisi doktri di jaga di sekolah-sekolah besar pribumi Hua
Yen (Avatamsaka atau ‘ornamen bunga’) dan Tien-t’ai dikategorikan
berturut-turut oleh Takakusu sebagai aliran totalisme dan fenomenologis (Mahayana).[7]
d.
Transmisi Jiwa Agama Buddha
Ini merupakan
transmisi yang paling penting dan dimaksud pada pernyataan “Transmisi Khusus di
luar kitab suci”. Menurut tradisi buddhis sang Buddha pernah suatu waktu duduk
dikelilingi sekumpulan besar siswa-siswaNya. Beratus-ratus Bodhisattva dan
Arahat, Bikshu-biksuni, serta Upasaka-upasika hadir bersama-sama dengan
berbagai kelompok makhluk-makhluk surgawi.Semuanya diam, menunggu Sang Buddha
bersabda. Tapi pada kesempatan ini, bukannya mengeluarkan kata-kata, ditengah
keheningan Sang Bhagava hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas… Hanya
Mahakasyapaa, satu diantara siswa-siswa tertua—yang termahsyur karena
kesederhanaanya—mengerti makna perbuatan Sang Buddha, dan ia tersenyum. Sang
Buddha kemudian bersabda, “Aku yang memiliki Mata dari Dharma yang luar biasa,
yakni Nirvana, Kesadaran, misteri realita dan non-realita, serta pintu gerbang
kebenaran transenden. Aku sekarang menyerahkannya kepada Mahakasyapa.” Inilah
yang dimaksud dengan transmisi.[8]
Mahakasyapa mentransmisikan
jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung Sang Buddha selama
dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya kepada Sanakavasa,
muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM hingga kepada
Boddhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu garis
guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan
nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India. Daftar nama-nama guru
ini, yang secara tradisional dikenal sebanyak Dua Puluh Tujuh – Dua Puluh
Delapan dengan Boddhidharma—Sesepuh Zen dari India adalah sebagai berikut :
1. Mahakasyapa
2. Ananda
3. Sanakavasa
4. Upagupta
5. Dhritaka
6. Michchaka
7. Vasumitra
8. Buddhanandi
9. Buddhamitra
10. Parshva
11. Punyayashas
12. Ashvaghosha
13. Kapimala
14. Nagarjuna
15. Kanadeva
16. Rahulata
17. Sanghanandi
18. Gayasata
19. Kumarata
20. Jayata
21. Vasubandhu
22. Monorhita
23. Haklena
24. Aryasimha
25. Basiasita
26. Punyamitra
27. Prajnatara
28. Bodhidarma[9]
Studi daftar ini mengungkapkan
hubungan yang sangat dekat antara Zen dan apa yang dikenal sebagai tradisi
pusat Agama Buddha India. Dialah Boddhidharma yang termahsyur, sesepuh kedua
puluh delapan dari India—yang dalam lukisan kuno digambarkan sebagai seorang
yang menyebrangi lautan dengan daun bambu—yang membawa Zen ke Cina, dengan
sendirinya menjadi sesepuh pertama dari Cina. Apa yang ia bawa ke Cina bukanlah
Zen dalam bentuk seperti yang kita kenal saat ini bersama dengan
doktrin-doktinnya, kitab suci, dan organisasi viharanya, melainkan semangat
atau jiwa yang ia turunkan kepada muridnya Hui K`o, yang kemudian menurunkannya
pada muridnya lagi hingga sesepuh yang
ke-6. Master-master ini dikenal sebagai Enam Sesepuh Aliran Zen dari Cina,
Yakni :
1. Boddhidharma
(lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528)
2. Hui K`o
(lahir 487 - meninggal 593)
3. Jianzhi
SengTs`an (meninggal 606)
4. Dayi Tao
Hsin(lahir 580 - meninggal 651)
5. Hung Jen
(lahir 601 - meninggal 674)
6. Hui Neng / Wei
Lang(lahir 638 - meninggal 713)[10]
Karena kejeniusan
Hui Neng, ia mengajarkan kembali kepada 43 orang. Sesudah itu banyak sekali
garis transmisi, namun ada dua diantaranya yang sangat berperan hingga
sekarang.Kedua garis keturunan ini diwakili oleh aliran Sotodan aliran Rinzai.
Dalam sutera Intan tertulis empat jenis Zen, yaitu:
1.
Zen/ Ch’an Tathagata (Metode-metode Klasik dari konsentrasi)
Seperti menghitung nafas dan menungmbuhkan semangah kasih
universal yang telah diajarkan oleh Buddha Gautama dan secara umum di
praktikkan oleh semua bentuk agama Buddha, termasuk Zen. [11]
2.
Ch’an dari Sesepuh
Yakni Ch’an dari Hui Neng, seseuph Cina keenam dari aliran
Zen. Ini merujuk pada ajaran dari Sutra Altar tentang kesatuan atau dengan kata
lain ketidakterpisahan samadhi dan prajna. Hui Neng bersabda, “Hadirin yang
terpelajar, dalam sistem saya Samadhi dan Prajna adalah fundamental. Tetapi
jangan beranggapan kleiru bahwa keduanya berdiri sendiri-sendiri, karena mereka
adalah satu tak terpisahkan dan bukannya dua rupa. Samadhi merupakan inti dari
Prajna, dan Prajna adalah aktivitas dari Samadhi. Pada saat kita mencapai
Prajna, Samadhi telah ada bersamanya dan begitu juga sebaliknya… seorang murid
seharusnya tidak berpikir bahwa terdapat pemisah aantara ‘Samadhi dari Prajna’
dan ‘Prajna dari Samadhi’.” (Sutra Wei Lang, halaman 46)[12]
3.
Ch’an Turunan
Merupakan Ch’an yang diajarkan oleh keturunan spiritual dari
Sesepuh Hui Neng, khususnya dari guru besar generasi keempat, kelima, keenam,
dan ketujuh yang menjadi para pendiri Lima “Sekte” Ch’an di Cina. Jika Ch’an
Tathagata dan Ch’an dari Sesepuh adalah India dalam bentuknya, maka Ch’an
Turunan berkarakteristik Cina. Bukannya dengan mengutip dari kitab suci, dan
memberikan ceramah panjang tentang filosofi dan praktik Zen dalam cara-cara
tradisional, seperti yang bahkan dilakukan oleh Hui Neng, Ch’an dari tipe ini
mencoba mengalami pencerahan dengan cara yang lebih langsung dan konkret dengan
bantuan kata-kata, kalimat-kalimat, dan tindakan-tindakan yang kelihatannya
eksentrik dan lucu. Ini semua adalah apa yang terkenal sebagai kung-ans (dari
kata Jepang koans: secara harfiah
berarti “catatan-catatan publik”) atau “sebab-sebab bersamaan” dari Pencerahan,
seperti teriakan yang tiba-tiba, tertawa yang tidak semena-mena, atau satu
pukulan tongkat.[13]
4.
Ch’an Wacana
Ini adalah aliran Ch’an dari orang-orang yang hanya berbicara
tentang Ch’an atau menulis buku dan artikel tentangnya, tetapi tidak pernah
berusaha mempraktikkannya. Di Barat, Ch’an jenis ini lazim dan sangat dominan,
bahkan di Cina pun Ch’an ini mulai menjadi hal yang lumrah. Ketika orang-orang
tidak lagi berusaha mempelajari untuk mencapai pencerahaan melalui Zen,
melainkan mempelajari apa itu Zen, dan terus mendiskusikannya.[14]
d
Zen praktis
Pada dasarnya, terdapat dua kualitas esensial yang kita
butuhkan dalam praktik-praktik Agama Buddha. Yang pertama adalah bahwa kita
mampu untuk menarik diri dari masyarakat selama beberapa waktu, mungkin
beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Dan hal lain
yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk mengambil apa pun yang kita capai
dari pengalaman kita selama isolasi dan membawanya ke dunia—pada hubungan kita
dengan sesama manusia dan pada kehidupan kita sehari-hari. Seperti menarik
nafas dan menghela nafas, kita membutuhkan keduanya.[15]
KOAN
Secara umum, koan berarti masalah atau teka-teki, tetapi
permasalahan dalam pandangan Zen adalah hal yang sangat menakjubkan bagi
pikiran yang sadar. Koan biasanya terdiri daru satu kata tau frasa yang seolah
tanpa makna atau pernyataan ‘omong-kosong’ dalam pandangan awam. Akan tetapi,
kan telah mengembangkan kekuatan konsentrasi, seorang pelaku Zen dapat
memfokuskan perhatiannya pada koan sebagai sebuah objek meditasi. Karena koan
tidak dapat diselesaikan melalui penjelasan logis, introspeksi terhadap koan
didisain sebagai jalan pintas proses intelektual yang berakhir pada realisasi
yang sebenarnya.
Dalam tradisi Ch’an, koan disebut dengan kung-an. Koan
diajarkan secara personal antara guru dan masing-masing muridnya. Seorang murid
yang telah menerima koan, akan bermeditasi tentang hal tersebut sampai ia
menemukan jawabannya. Hal ini bisa dilakukan selama beberapa bulan, atau bahkan
bertahun-tahun. Setelah menemukan jawabannya, sang murid langsung
men-konfirmasikan hasil meditasinya tersebut kepada gurunya. Tradisi awal Zen,
koan bersifat sangat personal. Akan tetapi, dewasa ini, koan menjadi semacam problem
universal bagi banyak orang. Bahkan disusun buku-buku berisikan koan-koan yang
diberikan seorang guru pada murid-muridnya. [16]
ZAZEN
Zazen merupakan inti dari ajaran praktis Zen Buddhisme.
Tujuan dari zazen hanyalah duduk, “membuka pikiran”. Ini dilakukan untuk
menginterpretasi koan dan dipraktikkan oleh baik Rinzai dan Soto dengan metode
Shikantaza (whole-hearted sitting).[17]
Secara lieteral, zazen berarti ‘duduk bermeditasi’ merupakan
sebuah disipline meditatif pelaku zen untuk menenangkan tubuh dan pikiran dan
mengalami (experience) pemahaman (batin) terhadap asal-usul eksistensi dan
dengan cara demikian berhasil meraih pencerahan (satori).
Postur zazen adalah duduk, dengan melipat kaki dan tangan dan
punggung yang tegak tetapi tenang dan kuat. Kaki yang terlipat merupakan
standar yang baik dari gaya duduk. Dan tangan-tangan yang terlipat menjadi satu
merupakan simbol dari sebuah mudra sederhana di sekitar perut. Pada beberapa
praktik, seseorang bernafas melalui hara (pusat gravitasi dalam perut) dan kelopak
mata separuh tertutup, mata tidak sepenuhnya tertutup dan pada saat yang sama
tidak juga terbuka.[18]
Tradisi Zazen
Periode zazen sangat panjang, biasanya dilakukan secara
berkelompok di sebuah zendo (aula meditasi), pernah digantikan juga dengan periode
kinhin (walking meditation/ meditasi dengan berjalan). Permulaan periode zazen
secara tradisional diumumkan dengan membuyikan bel sebanyak tiga kali
(shijosho), dan diakhiri dengan membunyikan bel satu kali (hozensho). Sebelum
dan setelah duduk zazen, para praktisi zazen saling memberi hormat pada tempat
duduk mereka (gassho) dan memberi hormat dari para praktisi kepada gurunya.
Di jepang, duduk zazen secara tradisional dilakukan pada
sebuah tatakan yang disebut zabuton dan menduduki sebuah bantal kecil yang
disebut zabu. Posisi-posisi yang biasa dilakukan ketika duduk di atas zafu
adalah:
a.
Kekkafuza (full lotus-teratai penuh)
b.
Hankafuza (half lotus-teratai separuh)
c.
Burmese (kaki bersilang, postur ketika pergelangan kaki
diletakkan bersama didepan tubuh)
d.
Seiza (posisi berlutut menggunakan bangku kecil atau zafu)
Bukan hal yang mengherankan bagi para praktisi zen modern
yang melakukan zazen di atas kursi, sering dengan ganjalan di belakang punggung
untuk membantu menjaga posisi natural tulang belakang.
Secara umum, praktik zazen diajarkan melalui salah satu dari
ketiga jalan, yaitu:
1.
Konsentrasi
2.
Introspeksi Koan
3.
Shikantaza (hanya duduk)
Konsentrasi dan
Interpretasi terhadap Koan
Level-level awal dari latihan-latihan zazen biasanya
menekankan pada konsentrasi. Dengan memfokuskan pikiran pada pernafasan hara
(mungkin sejenis pernafasan perut), dan tak jarang dibantu dengan menghitung,
dengan cara membangun kekuatan konsentrasi atau joriki. Di beberapa pusat Zen,
praktik perapalan mantra-mantra secara mental melalui pernafasan digunakan
dengan cara menghitung nafas bagi para pemula. Di beberapa komunitas, atau
sangha-sangha, praktiknya adalah dengan melanjutkan cara ini sampai mencapai
beberapa tanda-tanda pengalaman religius dari samadhi atau “kesatupusatan/
keterpusatan” pikiran. Pada titik ini, para praktisi berpindah dari metode zazen pertama ke metode
zazen kedua.
Setelah berhasil membangun kekuatan konsentrasi, para
praktisi Zen dapat mulai memfokuskan pikrannya pada salah satu koan sebagai
objek meditasi. Karena koan bukan permasalahan yang bisa diselesaikan dengan
akal intelektual, introspeksi terhadap koan didesain sebagai jalan pintas
intelektual menuju ke realisasi yang sebenarnya.
Shikantaza biasanya diasosiasikan dengan aliran Soto, dan praktik
koan dengan aliran Rinzai. Pada kenyataannya banyak juga komunitas Zen yang
menggabungkan kedua metode tersebut, bergantung pada guru dan muridnya.
SANZEN
Para bhiksu Zen tidak sendirian berjuang dengan koannya.
Buku-buku tidak akan lagi relevan untuk menjawab pertanyaannya, dan koan-koan
yang mereka meditasikan tidak didiskusikan dengan bhiksu-bhiksu lainnya. Karena
alasan ini, maka diadakan jalan lain untuk memeperoleh jawaban.
Sehari dua kali, setiap bhiksu menemui master-nya (guru-nya)
dalam pertemuan pribadi untuk “berkonsultasi yang berkaitan dengan
meditasi”—disebut sanzen di aliran Rinzai dan dokusan di aliran Soto.
Pertemuan-pertemuan ini selalu dilaksanakan meskipun hanya
dalam waktu singkat. Pada pertemuan ini juga, para bhiksu biasanya akan
melakukan klarifikasi atau konsultasi tentang koan yang mereka interpretasikan,
atau pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman spiritual mereka.
Peran seorang Master dalam Sanzen:
Dalam sanzen, perna master adalah sebagai:
1.
Untuk memvalidasi jawaban yang benar
2.
Untuk menolak jawaban yang kurang memadai/ mencukupi
3.
Untuk menjaga para muridnya tetap bersemangat dan membulatkan
tekad selama beberapa tahun pelatihan yang dibutuhkan.
SATORI OR KENSHO
Menurut D.T. Suzuki, satori ialah “looking into one’s nature
or the opening satori”; this acquiring of a new point of view in our dealings
with life and the world is popularly called by Japanese Zen students ‘satori’
(wu in Chinese). It is really another name of Enlightenment (“Annuttara-samyak-sambodhi”).”
Terobosan pertama dan paling penting dalam pelatihan zen
adalah pengalaman intuitif yang dikenal dengan satori atau kensho. Meskipun
persiapannya mungkin memakan waktu bertahun-tahun, pengalaman itu sendiri hanya
sekelebat cahaya, meledak seperti sebuah di kedalaman hati sanubari orang yang
mengalaminya, dan hanya dalam hitungan detik mengubah pandangan orang tersebut
pada perspektif yang sangat berbeda.
Satori merupakan versi Zen dari pengalaman mistis, yang, apa
pun bentuk penampakannya akan membawa kegermbiraan atau kesenangan, pada
ke-satu-an, dan pada sebuah perasaan tentang realitas yang tak dapat diuraikan
dalam bahasa.
Tetapi, satu hal yang paling pentin dari Zen adalah bahwa Zen
tidak mengizinkan ruh manusia menarik diri sepenuhnya pada level spiritual atau
metafisik sepenuhnya. Kejeniusan zen terletak pada fakta bahwa Zen tidak
menempatkan dunia ini di bawah posisi ideal yang berhasil ia capai (ketika
enlightenment); tidak juga menarik diri dari dari dunia dengan sikap enggan atau
mengabaikan.
Objek Zen adalah untuk memasukkan sesuatu yang temporal pada
keabadian—untuk memperlebar pintu-pintu persepsi sehingga keajaiban dari
pengalaman satori dapat mengalir setiap hari ke dunia.
Catatan Huston Smith tentang Satori:
Pertama, Satori merupakan sebuah kondisi dimana kehidupan
dengan sangat jelas terlihat baik. Kedua, sebuah pandangan objektif terhadap
relasi satu dengan lainnya. Ketiga, kehidupan seorang Zen tidak menarik diri
dari dunia; Satori mengembalikan seseorang pada dunia—dunia dilingkupi cahaya
baru. Keempat, sebuah sikap yang menyamaratakan persetujuan. Kelima,
sebagaimana adanya dikotomi antara diri dan bukan diri, terbatas dan tidak
terbatas, penerimaan dan penolakan adalah transenden, bahkan dikotomi antara kehidupan
dan kematian menghilang.
d
Aliran-aliran Zen Buddhisme
Meskipun meditasi (dhyana atau “pikiran yang berkonsentrasi”)
telah dipraktikkan oleh Buddhisme sejak awal, “Mazhab Meditasi” dengan
bentuk-bentuk latihan dan transmisi (telepati atau transfer ilmu dengan mind to mind) merupakan produk dari
Buddhisme di Cina. Di Cina, bagaimana pun, Ch’an (Zen dalam bahasa Jepang)
tumbuh dan berkembang berdampingan dengan tradisi-tradisi Buddhis yang lainnya.
Zen ini diperkenalkan ke Jepang oleh seorang Bhiksu Hosso, Dosho dan seorang
Master Vinaya dari Cina (Ritsu dalam istilah Jepang) Tsao-hsuan (yang dikenal
sebagai Dosen di Jepang) pada periode Nara. Pada awal periode Heian,
Saicho—atau Dengyo Daishi—menyatukan Zen, sebagai sebuah unsur paling penting
dalam sistem Tendai-nya. hanya selama
periode pertengahan Zen berhasil dibentuk sebagai sebuah mazhab independen
dalam Buddhisme. Terdapat tiga aliran Zen di Jepang yang berkembang pada era
Kamakura, yaitu (1) Sekte Rinzai, diperkenalkan dari Cina oleh Eisai pada 1191;
(2) Sekte Soto, diperkenalkan oleh Dogen dari Cina pada 1227; dan (3) Sekte
Fuke didirikan oleh Kakushin pada 1255.[19]
Tradisi ke keempat, yang dikenal sebagai Sekte Obaku, didirikan oleh seroang
biarawan Cina, Ingen, pada 1654.
a.
Eisai dan Mazhab Rinzai
Eisai (1141-1215)
mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari
Heian dan Kamakura. Sebagai seorang biarawan muda Tendai, ia merasa patah
harapan menyadari penurunan persepsi Buddha tradisional dan pelajaran-pelajaran
kebiaraan di Pegunungan Hiei. Penekanan gurunya bukanlah pada sebuah “keyakinan
keselamatan” sebagaimana di aliran-aliran Honen, Shinran, dan Nichiren. Tujuan
utamanya adalah dengan purifikasi (pemurnian) dan pemulihan keagungan Buddhisme
tradisional di Jepang. Ia hidup pada masa ketika para biarawan dan pendeta
terhimpun dalam kekuatan dan keberlimpahan, suatu kondisi dimana para
aristrokrat beranggapan bahwa mengundang para bhiksu tampan bersuara merdu
untuk menyanyikan sutra-sutra terdahulu merupakan sebuah hiburan.
Untuk mempelajari
tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan
menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun
1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an. Meskipun aliran
Rinzai di Jepang dipengaruhi oleh aliran Lin-ch’i di Cina, tetapi keduanya
memiliki etos yang berbeda terhadap pemerintahan. Ch’an menekankan pada, “tidak
adak kebergantungan pada kata-kata dan huruf-huruf; sebuah transmisi luar biasa
di luar ajaran-ajaran yang telah diklasifikasikan; tujuan yang jelas pada
pikiran manusia (mind of man); mencari sifat alami manusia (seeing into one’s
true nature)”. Ch’an bahkan tidak menghormati raja atau pangeran yang berkuasa.
Tetapi, Eisai mempelajari hukum dan mengobservasi kesamaan dalam aturan-aturan
upacara dari praktik-praktik Tendai, Shingon dan Zen.
Tradisi Rinzai
menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s
true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik
post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai
Kebuddhaan.[20]
Selain itu, tradisi
Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement)
yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious
seekers).[21]
Beberapa guru Zen yang lainnya juga mengekspresikan penglihatan sekejap
yang diikuti oleh pengembangan (cultivation) secara bertahap. Untuk mencapai
penglihatan batin ini dan untuk memperdalamnya, zazen dan memeditasikan koan
dianggap sangat esensial.
b.
Dogen dan Sekte
Soto
Dalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari
sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi
kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan
dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei.
Pencariannya terhadap “kepastian” dalam mencapai Kebuddhaan mengantarkannya
keluar dari Pegununangan Hiei, pertama ia datang pada guru Pure Land, dan
kemudian Myozen, salah seorang murid dari Eisai. Pada 1223, Dogen pergi ke
Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah
mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching,
seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen
mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba
mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang
baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran
independen yang dikenal dengan Soto (bahasa Jepang dari Ts’ao-tung).
Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu
sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan
secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).”
Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh
hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.[22]
Shinkataza mengimplikasikan “sekedar duduk”. Steve Hagen mendeskripsikan kata
bahasa Jepang dari empat bagian: shi berarti tranquility, kedamaian; kan
berarti awareness, kesadaran; ta berarti hitting exactly the right spot (note
one atom off), mengenai titik yang sangat tepat (tidak satu atom pun luput);
dan za berarti duduk.
Sebuah terjemah dari shinkataza ditawarkan oleh Kobun Chino
Otogawa memberikan beberapa pandangan tambahan: shikan berarti murni, satu dan
hanya untuk itu. Ta merupakan kata yang sangat kuat, yang menunjukkan aktivitas
keberpindahan. Ketika kau memukul, gerakan tersebut disebut ta. Dan za memiliki
makna yang sama dengan zazen, duduk. (Shikan
means pure, one, only for it. Ta is a very strong word. It shows moving
activity. When you hit, that movement is called ta, so strike is ta. Za is the
same as in the word zazen, sitting.)[23]
DAFTAR PUSTAKA
Kitagawa, Joseph.
M. Religion in Japanese History.
1966. New York: Columbia University Press.
Nakamura, Hajime. Buddhism in Comparative Light. 1975. New
Delhi: Islam and the Modern Age Society.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom
Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.
Suwarto, Drs. Buddha Dharma Mahayana. 1995. Jakarta:
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Watts, Allan W. The Way of Zen. 1957. Toronto: Pantheon
Books Inc.
Y.A. Mahabhikshu
Hsing Yun. Pembahasan 3 Sutra Agama
Buddha. 1994. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
Y.A. Maha Sthavira
Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran.
1991. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
[1]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:35
[2]
What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html;
tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini
diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
[3]Ibid.
[4]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 480
[5]Ibid. hlm: 483
[7]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:32
[8]Ibid. hlm:33
[9]
Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 434-435
[10]
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:36
[11]Ibid. hlm:13
[12]Ibid. hlm:14
[13]Ibid. hlm: 16
[14]Ibid. hlm: 17
[16]
An article from Genjo Marinello with entitled “Zen Koan Practice”, published by
Plum Mountain News, January 1995.
[17]http://en.wikipedia.org/wiki/Zazen
[18]
An article “Zazen” taken from http://www.bodhizendo.org/zazen.htm
[19]
Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London:
Columbia University Press, hlm123. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[20]
en.wikipedia.org/wiki/Zen
[21]
Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London:
Columbia University Press, hlm126. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[23]Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar