Kamis, 30 Mei 2013

kumpulan makalah-makalah Buddisme


ALIRAN TANTRAYANA, MANTRAYAN, DAN VAJRAYANA

Makalah
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Buddhisme
Dosen Pembimbing : Hj. Siti Nadroh, M.Ag
Oleh :
Ida zubaedah  (1111032100032)


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013


Pendahuluan
Tantrayana, Mantrayana dan Vajrayana adalah sebuah sub sekte dari pada Mahayana, boleh dibilang Tantrayana adalah aspek esoteric dari Buddhism, (Vajrayana).
Berasal dari kosa kata Sanskrit "Vajra" yang berarti berlian dalam aspek kekuatannya, atau halilintar dalam aspek kedahsyatan dan kecepatannya, serta dari kata "yana" yang berarti wahana/kereta. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Wang Shifu dengan lugas di atas, Vajrayana merupakan Jalan Intan. Kata "Tantra" sendiri berarti "Tenun" dalam bahasa Sansekerta, merujuk kepada prakteknya yang bertahap namun pasti, seperti tenun itu ibaratnya. Adapun tujuan akhir dari pada Vajrayana, ialah : Mencapai kesempurnaan dalam pencerahan dengan tubuh fisik kita saat ini di kehidupan ini juga tanpa harus menunggu hingga kalpa-kalpa yang tak terhitung .
Ajaran-ajaran Buddha Sakyamuni dirangkum ke dalam Vinayana Abhidarma Sutra dan Tantra. Tantra sendiri diturunkan salah satunya kepada Bhiksu Arya Kashyapa murid sang Buddha yang terkenal dengan latiahn-latihan kerasnya.
1.   Tantrayana
Tantrayana adalah satu mazhab dalam agama Buddha yang sangat istimewa karena memiliki cirri-ciri khas yang unik. Mazhab ini berkembang pesat diantaranya negara India, China, Tibet, Jepang, Korea dan Asia Tenggara serta benua Eropa, Australia hingga benua Amerika. Mazhab ini merupakan perpaduan puja bhakti dengan praktek meditasi yogacara serta metafisika Madhyamika. Maka dari itu mazhab Tantrayana bukan hanya membicarakan teori, akan tetapi praktek dalam pelaksanaannya. Di dalam perkembangannya, mazhab ini kadangkala dinamakan Tantra-Vajrayana atau Tantra-Mahayana.
Fase ketiga dari perkembangan Agama Budha ialah Tantrayana (fase pertama ialah Hinayana, dan fase kedua ialah Mayana), dan merupakan fase yang paling penting Agama Budha di India. Fase ini mulai sekitar tahun 500 M. Dan berakhir sampai tahun 1.000 M. Yang paling menarik dalam fase ini adalah cosmical-soteriological (yang berhubungan dengan keselamatan). [1] sifat dasar dominan dari Tantrayana adalah occultism (kegaiban). Penekanan utama adalah penyesuan yang harmonis dengan cosmos dan pencapaian penerangan dengan mantra atau metode gaib. Bahasanya adalah kebanyakan Sansekerta atau Apabhramsa.
Aliran Tantra Buddhist disebut juga Esoterik ( = Guhya Upadesa ) yang berarti secara rahasia, tersembunyi dan mistik, sedangkan aliran Buddhist lainnya disebut Exoterik ( = Vyakta Upadesa ) yang berarti sesuatu yang terbuka atau terlihat. Bagi aliran Exoterik pelajarannya didasarkan pada Tripitaka dan untuk mencapai ke-Buddha-an adalah secara berangsur-angsur dan bertingkat. Bagi aliran Esoterik pencapaian ke-Buddha-an hanya dalam sekejap, melakukan upacara atau ritual (Vidhi) merupakan peranan yang penting. Adalah tidak mudah untuk dapat mengerti ajaran Tantra Buddist dikarenakan begitu rumit dan kompleks dalam perkembangannya. Oleh karenanya, seorang guru yang ahli harus ada untuk membimbing calon siswa tersebut. Dikatakan bahwa setelah mengerti ajaran Exoterik dengan cukup barulah dapat mengerti ajaran Esoterik secara baik.[2]
Emapat tingkatan Tantra;
1)      Kriya Tantra; bersifat keupacaraan dan bakti, keyakinan atau saddha lebih menonjol dibandingkan prajna.
2)      Caryatantra; keyakinan dan Prajna seimbang.
3)      Yogatantra; proses kontemplatif dan analitik lebih berkembang serta serta tumbuhnya perasaan kesamaan.
4)      Anutarayigantantra; penyadaran mistik akan kenyataan bahwa nirvana dan samsara itu identik, yang memuncak dalam rasa kesamaan mutlak.
Secara umum Tantrayana dapat juga dikatakan bagian dari Mahayana, karena ada beberapa inti filsafat Mahayana yang diterangkan secara Esoterik dan penuh simbolis, seperti : Sunyata, Bodhicitta, Tatha, Vijnana.
Sebagai suatu ajaran mistik atau gaib, kemunculan tantra tidak dapat dipisahkan dari perkembangan agama Buddha Mahayana. Munculnya Tantra sebagai suatu sistem metafisika Buddhist bersama waktunya dengan perkembangan berbagai sistem filsafat agama Buddha Mahayana, terutama dengan sistem Madya maka dan Yogacara, dan interaksi antara mereka. Aspek rasional bathin tidak dapat lagi dipercaya untuk membawa ke penerangan (Bodhi), karena landasan pemikiran rasional itu sendiri, dunia empiris, terbukti bersifat khayal. Sistem Yogacara yang menekankan pada pengalaman keagamaan penerangan yang disimpulkan sebagai Trikaya (Tiga Tubuh Buddha) serta pentingnya kesadaran (Vijanana) sebagai dasar dari gerakan ke arah penerangan, secara wajar meletakkan nilai lebih tinggi pada pengalaman mistik dari pada pengetahuan empiris.[3]
Istilah Tantra secara etimologis berarti ‘menenun’ atau “alat tenun”, adalah istilah yang dipergunakan untuk mengacu pada praktek-praktek esoterik (rahasia; tersembunyi) yang bertujuan membangkitkan sifat-sifat ke-Tuhan-an dalam diri seseorang guna mencapai kesempurnaan, disamping juga untuk mengacu pada kitab-kitab suci atau sutra-sutra yang menguraikan ajaran-ajaran atau doktrin yang demikian.[4] Singkatnya istilah tantrayan dapat dipergunakan untuk menunjukan sistem keagamaan, atau sutra yang tergolong pada sistem ini.
a.          Kitab Astasahasrika-Prajnaparamita-Sutra; kitab yang tertua dari kumpulan Prajnaparamita-Sutra, menyatakan bahwa Prajna-Paramita-Naya Dharani, yang berasal dari selatan ( Daksinapata ) akan menyebar ke arah Timur untuk selanjutnya berkembang ke Utara ( Uttarapatha ).
b.         Kitab Sekoddesa-Tika karya Naropa, sebuah otorita di dalam kalacaka Tantra, menyatakan bahwa Mantrayana telah dibabarkan oleh Hyang Buddha di Sri-Dhanyakataka.
c.          Tradisi-tradisi Buddist yang terdapat didalam literatur bahasa Sansekerta, Mandarin, dan Tibet, semuanya menyebutkan bahwa Nagarjuna, sesepuh Mahayana, yang mengambil ilmu esoterik dan kumpulan kitab Prajnaparamita-Sutra dari kerajaan Naga, adalah berasal dari India Selatan. Semua otoritas di atas selanjutnya setuju bahwa Sri Parwata merupakan pusat kegiatan-kegiatan orang suci tersebut.
d.         Manjusrimulakalpa, sebuah kitab tentang upacara Mantrayana, telah diketahui diketemukan dari munalikkan Matham dekat Padmanabhuram di India Selatan.
Tantra membawakan peranan penting dalam sejarah Mahayana, karena ia membangkitkansuatu penekanan baru pada metode intuisi dan Esoterik bersama dengan perkembangan konsepsi ke-Tuhan-an dan tata upacara. Di dalam satu atau lain cara Tantra menyentuhhampir setiap sekte Agama Buddha Mahayana yang berikutnya, menjadi inspirasi dalam perkembangan tata peribadatan dan seni Buddist. Jika kita ingin mencari dasar logis mengenai sejarah asal mula Tantra Buddist, maka yang paling bijaksana adalah memulainya dengan tradisi mantra, bagian integral ( kelengkapan ) dari keyakinan Tantra. Adalah suatu kenyataan bahwa Tantra terdapat dalam Agama Buddha dan Agama Hindu.
Tampaknya terdapat berbagai tahapan dalam pengembangan bentuk mantra. Pertama sebuah sutra panjang diringkas menjadi beberapa bait kalimat yang disebut hrdaya ( ikhtisar ). Selanjutnya hrdaya diringkas menjadi dharani yang hanya terdiri dari satu atau dua baris kalimat, yang gilirannya diringkaskan lebih lanjut menjadi bentuk mantra yang hanya terdiri dari atas beberapa suku kata. Akhirnya mantra tersebut disingkat kembali menjadi bija-mantra ( benih mantra ), yang hanya terdiri dari satu suku kata tunggal.[5]
Konsep mantra pada pokoknya didasarkan atas keyakinan akan kegunaan suara (sabda, nada ) sebagai suatu sumber kekuatan atau sebagai kekuatan itu sendiri, yang memiliki pengaruh kuat terhadap organisme manusia dan alam semesta. Ini berarti pengakuan akan adanya hubungan misteri tertentu antara evolusi kosmik dan suara. Suara dipersamakan dengan kekuatan dibelakang kosmos. Manusia dipandang sebagai miniatur alam semesta.
Alam semesta adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosma. Kekuatan pembawaan didalam keduanya adalah sama. Kekuatan-kekuatan yang sama itu menguasai bagian-bagian yang berhubungan dengan  dua pola. Jika kekuatan ini dipersamakan dengan suara, yakni aksara dan suku kata yang merupakan simbol-simbol kekuatan ini, dan jika kekuatan ini dipahami didalam bentuk sifat-sifat ke-Tuhan-an, maka mudahlah untuk menetapkan mantra tertentu pada sifat ke-Tuhan-an tersebut.[6] Tugas seorang Saddhaka ( siswa baru ) adalah menerima kaidah-kaidah ini dan mempraktekannya, terutama mantra-mantra, untuk menghayati identitasnya dengan sifat-sifat ke-tuhan-an tersebut ini adalah penghayatan diri yang harus di perjuangkan oleh seorang Saddhaka sejati. Mantra berfungsi sebagai pembantu untuk penghayatan terhadap tujuan teragung ini. [7]
Mantra bukanlah bahasa sebagaimana yang telah kita pahami, karena ia tidak membawakan arti sesuai dengan pemakaian bahasa yang wajar. Mantra adalah sumber kekuatan kosmik yang dipahami sebagai suara. Siapa pun dan apa pun adanya keadaan tertinggi itu, mantra mewakili energi agung tersebut, ‘kekuatan kesadaran seseorang, kekuatan kosmik, dan kekuatan mantra adalah sama’.
Kekuatan mantra didalam penghayatan akan kesatuan antara kosmos dan seseorang adalah suatu proses psiko-fisik di mana mantra berfungsi sebagai pembantu. ‘tanpa konsentrasi mendalam dan meditasi, mantra tidak memiliki kekuatan’. Mantra bukan bersifat magis belaka. Mantra adalah ajaran pembudidayaan diri, pengembangan mental ( bhavana ), suatu cara untuk merealisasikan pribadi agung ( adhyatma ). Mantra membantu seseorang saddhaka membebaskan pikirannya dari hal-hal duniawi, yang dengan demikian mencapai obyek pemujaannya dan merasakan satu dengannya. Singkatnya; mantra adalah efektif didalam membawa kepada pencerahan atau penerangan bathin jika dipergunakan secara tepat.[8] Karena itu, perkembangan ilmu mantra di dalam agama Buddha Mahayana bukanlah suatu tanda “kemerosotan” melainkan merupakan akibat wajar dari pertumbuhan spiritual, dalam mana setiap perkembangannya menghasilkan bentuk ungkapan sendiri yang dibutuhkan.
Sekte Sarvastivada memiliki kumpulan mantra yang mereka sebut Mantra-Pitaka. Begitu juga, aliran Mahasanghika memiliki kumpulan mantra khusus demikian yang mereka sebut Dharani-pitaka atau Vidyadhara-pitaka.
Penggunaan judul dharani pada rumusan ke-mantra-an ini membuat pentingnya mereka sebagai sarana meditasi menjadi lebih jelas, istilah dharani yang berasala dari akar kata ‘dhr’ ( mempertahankan ), secara harfiah berarti ‘apa yang melaluinnya suatu hal dipertahankan’ dan kerap kali mengacu pada ‘penyimpangan dalam ingatan’. Menurut kitab Yogacarabhumi-Shastra, dharani dipergunakan untuk tujuan-tujuan berikut ini :
a)         Berhubungan dengan Dharma : membantu mengingat sabda-sabda yang terdapat didalam sutra-sutra.
b)         Berhubungan dengan arti : membantu agar tidak melupakkan arti sabda-sabda tersebut.
c)         Berhubungan dengan tujuan magis : membantu membangkitkan kekuatan-kekuatan magis melalui kekuatan meditasi untuk menolong makhluk-makhluk dari kesengsaraan.
d)        Berhubungan sebagai pembantu mencapai pencerahan atau penerangan : mengenai hakekat sebenarnya segala sesuatu.[9]
Demikianlah, dharani telah menempati suatu kedudukan penting didalam sejarah agama Buddha Mahayana. Di antara sutra-sutra Mahayana dini yang didalamnya mengandung Dharani dapatlah kita sebutkan misalnya; Samdhiraja-Sutra, Sanhinirmocana-Sutra, Suvarnaprabhasa-Sutra, Saddharmapundarika-Sutra, Lankavatara-Sutra, dan sebagainya.[10]
Disamping mudra, dharani, dan mantra, ciri-ciri Tantra Buddist yang tidak dapat ditinggalkan di dalam praktek adalah Mandala yang berarti gambar-gambar indah yang mempunyai arti mistik atau sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya intisari kitab Tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbul-simbul visual. Gambar-gambar itu atau mandala itu adalah : Maha-Mandala, Samaya-Mandala, Dharma-Mandala, dan Karma-Mandala. Sekte-sekte yang utama dari Tantrayana adalah : Mantrayana, Vajrayana, sahajayana, Kalacakrayana.[11]
Tantra Timur adalah tantra yang berkembang di daratan China dikenal sejak abad IV Masehi,setelah Srimitra yang berasal dari Kucha (sekarang Xinqiang-China) berhasil menerjemahkan sebuah kitab Tantrayana yang berisi mantra-mantra, pengobatan, doa pemberkahan dan ilmu gaib lainnya. Hal tersebut sesungguhnya belum mencerminkan nilai-nilai agung dari aliran Tantrayana itu sendiri, kata Mr. Chauming. Tantra Timur bercorak perfeksionis dimana semua rupang Buddha maupun Bodhisattva serta vajrasatva baik yang bersifat maskulin dan feminim, lebih menunjukkan kesempurnaan, keagungan yang sesuai dengan sopan santun yang ada pada masyarakat China.
Tantra Timur berkembang di China pada abad VII, ketika dikunjungi oleh tiga orang Maha Acharya Tantrayana dari India, yakni:
1.      Subhakarsinha (637-735M), beliau tiba di Ch'an An setelah belajar di Nalanda (India) pada tahun 716 M. Kemudian bersama-sama dengan I Ching menerjemahkan Sutra Tantra yang terkenal, yakni Maha Vairocana Sutra pada tahun 725 M.
2.      Vajra Bodhi (663-725M), beliau juga pernah belajar di Nalanda (India) dan kemudian menerjemahkan Vajrasakhara pada tahun 720 M.
3.      Amoghavajra (705-784 M), beliau adalah siswa dari Vajrabodhi yang tiba di Ch'an pada tahun 756 M.
Selanjutnya,perkembangan mazhab Tantrayana di China sangat pesat selama lebih kurang tiga abad, antara abad V hingga abad VIII Masehi. Selama tiga abad tersebut, berkembang delapan aliran besar di China, yakni:
a.       Lu-Tsung (Vinayavada), didirikan oleh Tao-hsuan (595-667 Masehi).
b.      San Lun Tsung (Madhyamika), didirikan oleh Chi-Tsang (549-623 M).
c.       Wei Shih Tsung (Yogacara) didirikan oleh Huan Tsang (596-664 M).
d.      Mi-Tsung (Tantrayana), didirikan oleh Amoghavajra (705-784 M).
e.       Hua Ten Tsung (Avatamsaka), didirikan oleh Tu Hsun (557-640 M).
f.       Tien Tai Tsung, didirikan oleh Chih K'ai (538-597 Masehi).
g.      Chin Thu Tsung (Amida/Pure Land). Didirikan oleh Shan Tao (613-681 Masehi).
h.      Ch'an (Zen), didirikan oleh Bodhidharma sekitar tahun 500.
Kalau Tantra Barat adalah tantra yang berkembang di Tibet dan sekitar pegunungan Himalaya batas antara China dan India, yang sebenarnya hanya dalam letak geografis saja. Daerah ini memiliki tradisi dan sejenis kepercayaan yang disebut Bon-Pa. Dan orang-orang Tibet umumnya memiliki kemampuan untuk menguasai roh-roh halus. Di samping symbol dari jenis rupang Buddha sedikit ada perbedaan. Bila dilihat Tantra Barat lebih bercorak naturalis terlihat jelas pada anggota tubuhnya, yakni bersifat feminisme (dalam bentuk wanita). Terdapat pula rupang angkara murka, seperti Angry Vajra (Vajravarahi dalam wajah murka).
Tantra adalah lebih sulit untuk memberikan suatu penjelasan daripada sekte lainnya dalam Buddhisme. Alasannya ialah kedua-duanya mengenai ajaran bagi internal dan eksternal. Untuk memulai dengan Tantra ialah bukan dengan penyamarataan teori tapi dengan latihan yang teratur dan mendalam, karena mengenai suatu tingkat yang lebih tinggi bukanlah eksoterik melainkan esoterik, yang selama berabad-abad dijaga secara bersama-sama dengan cara tradisi lisan dan dengan hati-hati melindungi dari keinginan-keinginan yang kotor.[12]
Pada jaman sekarang, Tantrayana lebih dikenal berasal dari Tibet.
Sehingga orang awam berpendapat bahwa Tantrayana adalah agama Buddha Tibet,dan bersumber dari kepercayaan dan "rekayasa/ciptaan" bangsa Tibet. Hal ini tidaklah mengherankan, karena hanya di Tibet, Bhutan, Nepal, Ladakh, India dan Mongolialah Tantra tetap eksis dan bertahan sampai sekarang, terutama sekali di Tibet.
Sekte-sekte Tantrayana yang utama di Tibet
1.         Sekte nim-ma-pa (sekte jubah merah/ancient red sect)
Anggota sekte ini selalu memakai jubah dan topi merah. Mereka merupakan keturunan dari garis silsilah (lineage) dari maha guru Padma sambhava.
Mereka menjalankan ajaran esoteric (ajaran rahasia). Ajaran dan interpretasi sekte ini merupakan penggabungan dari Buddha Dharma dan Bon-pa. Dan di dalam prakteknya mereka tidak hanya merupakan jalan pikiran yang rasional, namun juga memerlukan inspirasi guna menguasai:
·        Dasar permulaan ajaran di transfer langsung dari para acarya India
·       Mempertahankan tradisi teks-teks kuno yang disimpan / dipendam dalam bumi (tanah) seperti Kitab Bardo Thodol.
2.       Sekte Kah-dam-pa
Sekte ini dipelopori oleh Atissa Srinyana Dipankara pada tahun 1042 masehi. Atissa pada tahun 1012 pernah mengunjungi Sriwijaya dan berguru pada Maha Acarya Dharmapala selama duabelas tahun, Atissa kembali ke Tibet pada tahun 1042. Beliau wafat tigabelas tahun, kemudian perkembangannya dikemudian hari sekte ini bergabung denga Ge-lug-pa.
3.      Sekte Ge-lug-pa (Sekte jubah kuning)
Anggota sekte ini mengenakan jubah berwarna kuning. Sekte ini merupakan pembaharuan dari sekte Kah-dam-pa dan dipelopori oleh Tzong-ka-pa pada abad XV.
4.      Sekte Kar-gyu-pa
Sekte ini didirikan oleh Lama Marpa pada abad XI. Garis silsilah (lineage) sekte ini diawali dengan Buddha Vajradhara (symbol Penerangan Agung). Para siswa sekte ini dalam pelaksanaan latihan religi dan upacara ritualnya wajib memandang gurunya sebagai Vajradhara, supaya dapat lebih mendekatkan diri pada Sang Buddha, sambil menjamin keberhasilan hubungan erat antara guru dan murid. Salah seorang siswa Marpa yang terkenal adalah Milarepa, yang juga dikenal sebagai filsuf dan penyair terkenal dari Tibet.
2.      Mantrayana
Bahwa Mahayana lambat laun menujun ke arah jalan kelepasan yang lain daripada yang ditawarkan oleh Buddha semula. Maka dengan jelas orang mulai merumuskan berbagai jalan kelepasan, seperti yang diperkembangkan juga oleh agama Hindu.[13]
Mantrayana dimulia pada abad ke-4 dan mendapat momentumnya setelah abad ke-5. Apa yang telah dilakukannya telah memperkaya Buddism dengan perlengkapan tradisi gaib. Mempergunakannya untuk tujuan kemudahan pencarian bagi pencerahan atau penerangan. Di dalam, cara ini, banyak ‘mantra, mudra, mandala, dan dewa, ke-Tuhan-an, secara tidak sistematis diperkenalkan kedalam Buddhism, ini adalah setelah tahun 750, diikuti oleh suatu sistematis yang dinamakan Vajrayana, yang menyerasikan semua ajaran sebelumnya dengan satu kelompok mengenai Panca-Tathagata ( Panca Dhayani Buddha ). Dalam kurun waktu itu, arah dan system yang lebih lanjut membuat penampilan mereka. Perlu dicatat bahwa diantara mereka adalah Sahajayana, yang mana seperti sekte Ch’an ( Zen ) di Tiongko, lebih menekankan kepada latihan meditasi dan pengolahan intuisi, diajarkan secara berbelit-belit, paradoksikal (perlawanan asas ) dan kesan konkrit, dan menghindari nasib dari kembali kedalam suatu persektean sama sekali mengenai tidak ada ajaran yang ditegaskan secara kaku. Menuju pada akhir periode ini, dalam abad ke-10, kita mempunyai Kalacakrayan ( Roda ‘waktu’, yang ditandai oleh tingkat penyatuan aliran ) dan oleh penekanannya pada astrology.[14]
Gerakan baru ini timbul di India bagian Selatan dan Barat laut. Non-Indian mempengaruhi, dari China, Asia Tengah, dan perbatasan sekitar India, memainkan suatu bagian penting dalam pembentukannya. Juga banyak menyerap ide dari suku bangsa pribumi India sendiri. Tantra berusaha untuk memberikan suatu kehormatan, walaupun sub-ordinasi, peranan bagi semua semangat, bidadari atau peri, cerita, setan atau iblis, jin, raksasa, dan hantu yang telah sering membayangi imajinasi yang populer, dan latihan gaib yang begitu berharga pada semua fondasi yang lebih solid di dalam masyarakat. tetapi sejauh yang elite dikaitkan, terdapat suatu perbedaan yang penting bahwa non-Buddhist menggunakan gaib untuk memperoleh kekuatan, sedangkan Buddhist melakukannya untuk membebaskan mereka sendiri dari kekuatan luar dan pada keadaan sebenarnya milik mereka sendiri.
3.      Vajrayana
Ledakan kreatif dari Tantra permulaan menuju suatu asumsi yang kompleks tentang kosmos dan kekuatan spiritual dan itu adalah Vajrayana yang mementukan tata cara mengenai banyak sekali tradisi yang luas dalam taraf permulaan yang telah berkembang. Dia mengambil 5 bentuk bagian mengenai semua kekuatan kosmik, tiap kelas ada dalam suatu pengertian yang dipimpin oleh salah satu dari Panca-Tathagata. Nama-nama dari Panca-Tathagata ( Panca Dhani Buddha ) ialah Vairocana, Ratna-Sambhava, Amitabha, dan Amoghasiddhi. [15]
Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.[16]
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.[17]
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[18]
1)      Pembebasan melalui proses pemakaian
2)      Pembebasan melalui proses pendengaran
3)      Pembebasan melalui proses ingatan
4)      Pembebasan melalui proses penglihatan
5)      Pembebasan melalui proses Pengecapan
6)      Pembebasan melalui proses sentuhan.
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Dalam ajaran Vajrayana, sekte menjadi penting karena merupakan sebuah identitas. Ini adalah sekilas informasi tentang sekte-sekte besar yang mempunyai tradisi ciri khasnya masing-masing :
·         Sekte Gelugpa: pendirinya adalah Tsongkhapa (1357-1419) lebih menekankan kepada disiplin intelektual, karenanya para Bhiksu dari Gelug amatlah pandai dalam pembahasan Metafisika, filsafat, dll. Pusaka ajaran yang terkenal dari tradisi ini adalah Krama Marga alias Lam Rim (Jalan dan Tahap). Tradisi ini didirikan oleh Je Tsongkhapa, dengan Kadampa sebagai pendahulu Gelug, yang mana Kadampa ini didirikan oleh seorang Maha Guru India, yaitu Atisha Dipamkara.
·         Sekte Skayapa: Kunchong Gyalpo (1034-1102) terkenal dengan naskah-naskah autentiknya, pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Lam Dray (Jalan dan Hasil). Tradisi ini berawal dari Sakya Shri Bhadra dari India, yang merupakan pemegang tahta terakhir dari Institut Buddhist Nalanda yang mengungsi ke Tibet pada saat invasi dari Moch.Bhaktiar Khalji, juga oleh beberapa Lotsava agung yg disebutkan oleh Vince Delusion sebelumnya.
·         Sekte Kagyudpa: (Dagpo Kagyud) didirikan oleh Gampopa (1079-1133). terkenal sebagai tradisi Meditatif, lebih menekankan kepada metode-metode Yoga-nya. Pusaka ajaran dari tradisi ini adalah Maha Mudra, yang meliputi Enam Yoga Naropa (tib.Naro Cho Drug ; skt.Saddharmopadesa), serta metode-metode esoterik lain yang menyertainya dari awal sampai akhir, juga pendidikan Shedras selama 12 tahun yang diikuti dengan retreat Maha Mudra di dalam ruang tertutup selama 3 tahun 3 bulan 3 hari merupakan ke-khas-an tersendiri dalam tradisi Kagyu. [19]
·         Sekte Nyingmapa: Dikenal sebagai tradisi non-Monastic. Terkenal dengan pusaka Terma nya,serta ajaran-ajaran esoterik langka di masa lampau. Ciri khas utama ajaran dari tradisi ini adalah Dzogchen (Maha Sandhi). Tradisi ini berawal dari Vajra Guru Padmasambhava (Lian Hua Sheng Da Shi) lebih kurang 700 M.[20]
   Ritual dan Praktek
a.  Tantrayana
Jalan Tantra berusaha untuk mengubah nafsu manusia dasar keinginan dan kemalasan dalam pertumbuhan rohani dan pembangunan. Jadi, bukannya menyangkal primal seksual dan sensual mendesak seperti dalam agama Buddha tradisional, praktek Tantra menerima ini mendesak kehidupan sebagai suci energi kekuatan, yang dimurnikan dan berubah menjadi kekuatan sehat dan sehat menghubungkan individu dengan kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Untuk menjadi sukses dengan kerja Tantra, seseorang harus memiliki keterampilan dalam kontrol diri dan penerimaan diri dan orang lain.
Tindakan atau perbuatan itu ada 3 macam, yakni: tubuh, vokal, dan mental. Pikiran atau perbuatan mental, darimana pikiran yang dikonsentrasikan ialah keserbaragaman yang paling manjur, menentukan ucapan dan tindakan yang mempengaruhi pikiran. Perbuatan sakral dari Tantra bertujuan menghasilkan suatu transformasi mengenai kesadaran dengan usaha dari (secara spiritual) suara dan gerakan yang sangat mempunyai arti secara spiritual.
Dengan suara yang sangat mempunyai arti secara spiritual dengan berbagai ‘dharani atau mantra’ yang disebabkan oleh akibat yang sangat besar pengulangan yang konstan ada pada pikiran, menduduki di dalam Buddism Tantra suatu posisi yang sangat penting. Gerakan yang sangat mempunyai arti itu secara spiritual mencakup semuanya yang diperbuat oleh sebagian tubuh, seperti mudra yang dilakukan oleh tangan, dan yang diperbuat mengenai sembah dan tari. Karena ritual dan perbuatan sakral dapat dibentuk hanya dengan tubuh. Tantra jauh dari menurunkan tubuh menyambutnya sebagai kapal keselamatan dan memujanya dengan suatu ekstent yang tidak terdengar dari dalam setiap bentuk lain Buddism. Lebih dari itu, tidak hanya bagian tubuh dari alam semesta material, tapi banyak obyek material dikerjakan untuk tujuan sakramen; karena itu Tantra menganggap dunia itu juga bukan sebagai suatu rintangan tapi sebagai suatu bantuan Penerangan, memuliakannya sebagai gambar hidup dari keselamatan dan wahyu dari Yang Absolut. Sebagai ganti mengorbankan dunia itu seseorang harus hidup di dalamnya, di dalam suatu jalan seperti itu bahwa kehidupan dunia sendirinya diubah ke dalam kehidupan transendental.
Menurut pandangan Tantra, menanamkan tubuh itu dengan kesucian adalah kemungkinan dari tindakan manusia pada pikiran bukan hanya oleh gerakan anggota tubuh tapi dengan memainkan pernafasan dan air mani, semuanya dihubungkan secara intim bahwa dengan mengendalikan setiap salah satu dari semua itu dan sisanya yang dua itu dikendalikan secara otomatis. Lagi, dihubungkan tidak sebanyak dengan perumusan filsafat yang luas daripada dengan notulen yang mendetail mengenai latihan spiritual, aspek-aspek tertentu yang terlalu kompleks, sulit, dan sedikit untuk disetujui dengan tulisan. Tantra tentu saja sangat menegaskan perlunya menerima inisiasi atau upacara dan petunjuk dari sorang guru spiritual yang ahli.[12]
b.  Mantrayana
Pokok-pokok ajaran Mantrayana dapat ditemui pada karya karya padma-dkarpo dari Tibet. Menurut beliau, tujuan dari Mantrayana adalah sama seperti apa yang dituju oleh aliran-aliran lainnya dalam agama Buddha, yakni kemanunggalan manusia dengan penerangan sempurna atau kesempurnaan secara spiritual.
Langkah pertama untuk mencapai tujuan tersebut menurut konsepsi Mantrayana adalah mengambil perlindungan serta mempersiapkan diri dengan berpedoman pada Bodhicitta, yang berarti fondasi dari segala macam kebaikan, sumber dari segala usaha kebahagiaan dan sumber dari kesucian. Bodhicitta biasanya terbagi menjadi dua bagian, yakni :
·      Bodhi pranidhi citta : Tingkat persiapan untuk pencapaian kebuddhaan.
·      Bodhi prasthana citta :Tingkat pelaksanaan sesungguhnya dalam usaha menuju cita-cita.
Bodhicitta adalah sebagai suatu sarana bagi setiap umat Buddha untuk mencapai tujuannya. Perlindungan tersebut meliputi perlindungan pada Sang Triratna. Dalam hal ini, Mantrayana memandang Sang Triratna bukanlah hanya sekedar pengertian harfiah, melainkan sebagai kekuatan spiritual yang disimbolkan oleh Triratna tersebut.
Sikap perlindungan yang demikian itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan keteguhan hati. Keteguhan hati ini berfungsi untuk menguak tabir rahasia untuk mencapai penerangan sempurna. Dan selanjutnya akan menumbuhkan perubahan sikap, membawa si siswa untuk mulai melihat keadaan sesungguhnya tentang 'diri' dan alam sekitarnya.
Tahapan selanjutnya yang harus dilaksanakan adalah memperkuat dan memajukan sikap baru yang diperoleh dari meditasi dengan membaca mantra berulang-ulang. Mantra adalah kata dalam bahasa sanskerta yang berarti pesona. Mantra adalah satu suku kata yang berfungsi sebagai 'suatu pelindung pikiran' yang mengandung kekuatan magis dan melambangkan Triratna (Buddha-Dharma-Sangha) ataupun makhluk-makhluk agung lainnya. Mantra juga merupakan formula untuk memelihara agar pikiran tetap terkonsentrasi, tidak melayang-layang tak menentu.
Langkah berikutnya adalah mempersembahkan suatu Mandala (gambar-gambar indah yang mengandung arti filosofis) sebagai sarana untuk menyempurnakan pengetahuan pengetahuan yang telah dicapainya. Setiap langkah dalam mempersiapkan Mandala ini haruslah selalu berhubungan dengan Sad Paramita (enam perbuatan yang luhur) maupun Catur Paramita (Brahma Vihara=empat keadaan batin yang luhur).
Catur Paramita atau Brahma Vihara (empat keadaan batin yang luhur) terdiri dari:
§  Metta: Cinta kasih universal.
§  Karuna: Welas asih, kasih sayang, belas kasihan universal.
§  Mudita: Rasa simpati universal, rasa bahagia atas kebahagiaan makhluk lain.
§  Upekha: Keseimbangan batin yang tak tergoyahkan.
c. Vajrayana
Dalam Wajrayana, terdapat banyak sekali metoda dalam berlatih. Memang banyak sekali praktisi Wajrayana yang memiliki kemampuan luar biasa, namun hal ini bukanlah sesuatu yang mistik. Hal ini sebenarnya merupakan hasil samping dari latihan yang dilakukan, dan hal ini harus diabaikan. Seperti kata sang Buddha, yang dapat menyelamatkan kita pada saat kematian adalah Dharma, bukanlah kesaktian yang kita miliki. Sering kemampuan yang didapat ini menjadi penghalang dalam mencapai tujuan utama kita, yaitu mencapai pencerahan. Hasil samping berupa kemampuan (siddhi) ini sering akan meningkatkan kesombongan (ke-aku-an) kita, yang sebenarnya justru harus kita hilangkan, dan bukan merupakan sesuatu yang harus dibanggakan. Namun sayang sekali, banyak orang yang berpandangan salah, mereka mengagungkan kemampuan gaib yang dimiliki oleh seseorang, dan mengabaikan Dharma yang mulia. Hal ini dapat terjadi karena adanya kebodohan / ketidak tahuan (Moha) yang dimiliki.
Praktek Vajrayana tidak terlepas dari penjapaan mantra, maka sering juga dikenal dengan istilah ajaran mantra rahasia.
Ajaran Wajrayana sering juga disebut dengan Praktek Rahasia, atau Kendaraan Rahasia. Hal ini menggambarkan bahwa ketika seorang praktisi semakin merahasiakan latihannya, maka ia akan semakin mendapatkan kemajuan pencapaian dan berkah dari latihan yang ia lakukan. Semakin ia menceritakan tentang latihannya, maka semakin sedikit berkah yang akan ia peroleh.
Sang Buddha sering berpesan kepada murid-muridNya, bahwa mereka tidak boleh memperlihatkan kemampuan (siddhi) mereka, tanpa suatu tujuan yang mulia. Demikian pula, Para praktisi tinggi Wajrayana tidak pernah menunjukkan kemampuan mereka hanya demi ego, demi ketenaran, demi kebanggaan, ataupun demi materi. Para praktisi tinggi ini biasanya menunjukkan kemampuan pada murid-murid dekat, ataupun pada orang tertentu yang memiliki hubungan karma dengannya, demi Dharma yang mulia, misalnya untuk menghapus selubung kebodohan, ketidak tahuan, kekotoran batin, ataupun karena kurangnya devosi dalam diri murid tersebut.
Mazhab Tantrayana yang berkembang di Tibet sekarang ini pada umumnya adalah Vajrayana, mengenai Vajrayana di Tibet, Guru Rinpoche Padma Sambhava memberikan instruksi yang mencakup enam cara untuk mencapai pembebasan melalui proses pemakaian yang melibatkan Panca Skandha. Ke enam cara tersebut:[13]
1)      Pembebasan melalui proses pemakaian
2)      Pembebasan melalui proses pendengaran
3)      Pembebasan melalui proses ingatan
4)      Pembebasan melalui proses penglihatan
5)      Pembebasan melalui proses Pengecapan
6)      Pembebasan melalui proses sentuhan.
Panca Skandha adalah suatu konsep dalam agama Buddha yang menyatakan bahwa manusia adalah merupakan kombinasi dari kekuatan atau energi fisik dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang disebut lima kelompok kegemaran, terdiri atas:
a.       Rupaskandha/Rupakkhanda (kegemaran kepada bentuk)
b.      Vedanaskandha/Vedanakkandha (kegemaran kepada perasaan)
c.       Samjnaskhandha/Sannakkhandha (kegemaran kepada pencerapan)
d.      Samskaraskhandha/Sankharakkhandha(kegemaran kepada bentuk-bentuk pikiran)
e.       Vijnanaskhandha/Vinnanakkhandha (kegemaran kepada kesadaran).
Vajrayana memandang alam kosmos (alam semesta) dalam kaitan ajaran untuk mencapai pembebasan. Apabila di Mahayana terdapat konsepsi Trikaya (tiga tubuh Buddha), maka didalam Vajrayana, Buddha bermanifestasi dan berada dimana-mana. Oleh karenanya, Buddha adalah wadah atau badan kosmik yang memiliki enam elemen, yakni : tanah, air, api, angin, angkasa dan kesadaran. Dalam rangkaian yang tersusun sebagai sistim, Vajrayana selain memiliki pandangan filosofis di atas, juga memiliki puja bakti ritual maupun sistim meditasi khusus yang disebut Sadhana yaitu meditasi dengan cara memvisualisasikan dengan mata batin, menyatukan mudra, dharani (mantra) dan mandala.
Kesimpulan.
Mazhab Vajrayana dikenal luas oleh dunia Barat sebagi aliran esoterik (ajaran rahasia, tersembunyi, mistik). Sedangkan mazhab-mazhab lainnya dalam agama Buddha disebut eksoterik (sesuatu yang kelihatan). Menurut umat Buddha mazhab Vajrayana ini, sesungguhnya Sang/Hyang Buddha membabarkan Dharma selama-lamanya. Akan tetapi bagi umat awan tidak dapat mendengar dan mengerti dengan baik. Sehingga tanpa Adhisthana (perantara dan bimbingan), sukarlah bagi umat awan untuk mengerti badan, perkataan dan pikiran Hyang/Sang Buddha. Perantara tersebut bukanlah berasal dari sipelaku itu sendiri, akan tetapi berasal dari bimbingan dan Kekuatan Buddha.
Vajrayana atau Tantra juga dikenal sebagai aliran mistis. Kemistisannya itu nampak dalam praktek meditasi Tantra dalam empat hal yang tidak dapat ditinggalkan yaitu; mudra, dharani, mantra, dan mandala. Mantra merupakan kalimat pendek yang merupakan ringkasan dari dharani. Mantra juga merupakan sumber kekuatan-kekuatan itu sendiri yang mempengaruhi manusia dan alam dengan kuat. Matra itu bukan magi tetapi suatu pembudayaan diri, pengembangan mental (bhavana), tranformasi kesadaran, membantu manusia bebas dari keduaniawian dan bersatu dengan objek pemujaan. Sedangkan, sebuah lingkaran seperti diagram psikosmos yang didalamnya intisari kitab tantra digambarkan dengan aksara-aksara atau simbol-simbol visual.
DAFTAR PUSTAKA
·         Suwarto. T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddha Mahayana Indonesia. Jakarta: 1995
·         Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia. Jakarta: 1997
·         Dikutip dari www.padmakumara.wordpress.com
·         http://www.indoforum.org/t96087/#ixzz1pAJ4Xz6S
·         http.vajrayana.wikipedia.com
·         Ali, Mukti. Agama-agama di Dinuia. IAIN Sunan Kali Jaga Press. Yogyakarta:1988
·         Stokes, Gillian. Seri Siapa Dia? Buddha. Erlangga. Jakarta: 2001
·         Edward, Conze. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication. 2010
·         Conze, Edward. Sejarah Singkat Agama Buddha. Oneworld Publication.Cet.12010



[1] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 119
[2] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[3] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 120
[4] Antin, menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, ( Jakarta : Golden Terayon Press, 1986 )
[5] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122
[6] M. Ikhsan, tanggok, Agama Buddha, ( Jakarta : lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009 )
[7] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 122

[8] Mukti ali, Agama-agama di dunia, ( Yogyakarta : IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988)
[9] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 123

[10] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124

[11] Honig, Ilmu Agama, ( Jakarta : PT BPK Gunung Mulia, 2009)
[12] Ibid  hal.444
[13] Honig, J.R. Ilmu Agama. BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1997 hal.236
[14] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 124
[15] Harun, Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, ( Jakarta : Gunung Mulia, 2010), Cet. Ke-17
[16] Suwarto T, Budha Darma Mahayana, ( Jakarta : Majelis Agama Buddha Mahayan Indonesia, 1995 )hlm. 129
[17] http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml

[19] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[20] http://www.sckirteh.com/forum/index.php?topic=24.5;wap2
[12] Ibid hal.440
[13]http://www.walubi.or.id/wacana/wacana_057.shtml

 
HINAYANA DAN MAHAYANA

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Buddhisme

Dosen Pembimbing:
Hj. Siti Nadroh, M.Ag

Oleh:
Noviah ( 1111032100045)


JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2013

       I.            PENDAHULUAN
            Agama Buddha pernah mengalami masa keemasannya di Bumi Nusantara pada masa keprabuan Sriwijaya di Sumatera, kerajaan kuno Mataram dan Majapahit di Jawa. Pada masa itu, terdapat Perguruan Tinggi Agama Buddha (Mahayana) yang mempunyai nilai internasional, yakni di Sumatra dan Jawa.
            Dalam sejarah tercatat beberapa sarjana dari negeriTiongkok dan India datang belajar bahasa Sansekerta, filsafat dan logika Agama Buddha Mahayana. Mereka yang belajar kesini adalah; I-Tsing (634-713) dua kali ke Sriwijaya dengan 41 bhiksu yng mahasiswa, Hui-Ning (antara tahun 664-667) berguru kepada Janabhadra seorang maha guru Buddhism di Jawa, Atisa (982-1054) dari India datang ke Palembang belajar logika dan filsafat Agama Buddha Mahayana. Tercatat yang ada pada waktu itu para bhiksu dan sarjana maupun mahasiswa dari negeri China yang datang ke bumi Nusantara untuk belajar Agama Buddha Mahayana, tidak ada dari bumi Nusantara yang datang ke Tiongkok untuk belajar. I-Tsing menyalin dan menterjemahkan banyak kitab-kitab suci penting Agama Buddha Mahayana dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Mandarin. Menurut memoir dari I-Tsing, apa yang terdapat di Sriwijaya seperi tata-upacara keagamaan adalah sama seperti India, dan diperkenalkan dia ke Tiongkok melalui buku-buku terjemahannya yang dikumpulkan selama dua kali berada di Sriwijaya - Palembang[1].

    II.            DUA ALIRAN BESAR DALAM AGAMA BUDDHA
Di dalam Agama Buddha terdapatlah dua aliran besar yaitu Aliran Selatan/Hinayana/Theravada dan Aliran Utara/Mahayana.
1.      ALIRAN HINAYANA
Hinayana adalah ajaran-ajaran asli dari Buddha Gautama dan kitab sucinya ialah Tipitaka yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka dan Abhidamma Pitaka.
Di dalam aliran Hinayana tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit-rumit dan mereka yag menganut aliran ini masih mempertahankan kesederhanaannya seperti dahulu di waktu Sang Guru sendiri masih hidup pada 25 abad yang silam.
 Prinsip-prinsip pandangan dari ajarana Hinayana adalah mempertahankan kemurnian ajaran Buddha dan menjaga ajaran Buddha tidak terpengaruh oleh kebudayaan lain, oleh karenanya dipandang orthodox. Pengikut-pengikutnya juga tidak begitu meluas sebagaimana aliran Mahayana. Kata Hinayana sendiri telah menunjukkan isi dan cita-cita yang terkandung didalamnya yaitu berarti kendaraan kecil. Maksudnya bahwa aliran ini tidak dapat menampung banyak orang untuk memperoleh kebahagiaan nirwana, karena dalam prinsip pandangannya menyatakan bahwa setiap orang bergantung pada usahanya sendiri dalam mencapai kebahagiaan abadi dengan tanpa adanya penolong dari dewa ataupun manusia Buddha. Aliran ini disebut juga “Theravada” yang lebih jelas menggambarkan pendirian aliran tersebut, karena Theravada berarti “jalan orang-orang tua” [2]
Penganut-penganut Hinayana menitikberatkan meditasi untuk mencapai peneranga sempurna sebagai jalan yang terpendek untuk menyelami Dhamma dan mencapai pembebasan, Nibbana. Kita hanya mengenal Dhamma dan Nibbana sebagai jalan dan tujuan dari hidup kita ini, sedang yang lain-lain itu tidakk menjadi kebutuhan pokok.
Upacara-upacara keagamaan kurang dianggap penting dan bahkan upacara-upacara yang berlebih-lebihan hanya menjadikan ikatan-ikatan yang dapat menghambat kemajuan-kemajuan bathin[3].
Para sarjana-sarjana modern, saat ini banyak yang mencurahkan perhatiannya pada Agama Buddha dan menyelidiki kebenaran-kebenaran dari ajaran-ajaran Sang Buddha yang telah disabdakan 25 abad yang lalu.
Agama Buddha tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan karena kedua-duanya bersumber pada kesunyataan yang ada di dalam dunia ini. Dengan kemajuan-kemajuan ilmiah yang telah dapat dicapai oleh umat manusia, maka kita akan lebih yakin lagi akan kebenaran-kebenaran yang telah diajarkan oleh Sang Buddha kepada kita.
v  Ajaran Hinayana
Dalam pokok ajarannya Hinayana mewujudkan suatu perkembangan yang logis dari dasar-dasar yang terdapat di dalama kitab-kitab kanonik. Jika ajaran itu di ikhtisarkan secara umum, dapat dirumuskan demikian:
a.       Segala sesuatu bersifat fana serta hanya berada untuk sesaat saja. Apa yang berada untuk sesaat saja itu disebut dharma. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang tetap berada. Tidak ada aku yag berpikir, sebab yang ada adalah pikiran. Tidak ada aku yang merasa, sebab yang ada adalah perasaan, demikian seterusnya.
b.      Dharma-dharma itu adalah kenyataan atau realitas yang kecil dan pendek, yang berkelompok sebagai sebab dan akibat. Karena pengaliran dharma yang terus menerus maka timbullah kesadaran aku yang palsu atau ada “perorangan” yang palsu.
c.       Tujuan hidup ialah mencapai Nirwana, tempat kesadaran ditiadakan. Sebab segala kesadaran adalah belenggu karena kesadaran tidak lain adalah kesadaran terhadap sesuatu, namun apakah yang tinggal berada di Nirwana itu, sebenarnya tidak diuraikan dengan jelas.
d.      Cita-cita tertinggi ialah menjadi arahat, yaitu orang yang sudah berhenti keinginannya, ketidaktahuannya, dan sebagainya, dan oleh karenanya tidak ditaklukkan lagi pada kelahiran kembali[4].
e.       Manusia dipandang sebagai seorang individu dalam usahanya.
f.       Sebagai kunci keutamaan manusia ialah kebijaksanaan.
g.      Buddha dipandang sebagai orang suci.
h.      Membatasi pengucapan doa pada meditasi.
i.        Meninggalkan atau menolak hal-hal yang bersifat metafisis.
j.        Meninggalkan atau menolak melakukan ritus dan rituals (upacara-upacara agama)
k.      Tidak mengenal dewa-dewa Lokapala (dewa angin) atau Trimurti dan tidak mengenal beryoga atau tantra (mantra-mantra)[5].

2.      ALIRAN MAHAYANA
Aliram Mahayana, yaitu aliran Hinayana yang diperbaharui dengan diberi pelajaran-pelajaran ekstra yang dipelopori oleh Buddhaghosa atau Asvaghosa.
Aliran Buddhisme ini disebut dengan Mahayana karena dapat menampung sebanyak-banyaknya orang yang ingin masuk Nirwana, hingga diumpamakan sebagai sebuah “kereta besar” yang memuat penumpang banyak (arti kata Mahayana adalah kereta/kendaraan besar).
Berbeda dengan Hinayana yang mempertahankan kemurnian ajaran Buddha yang tidak mengalami perpecahan dalam aliran-aliran, sebaliknya dalam Mahayana terjadi perpecahan dalam banyak aliran. Makin banyak kebebasan berfikir dalam agama diberikan, makin besar kecenderungan untuk berpecah belah dalam bentuk aliran-aliran (sekte-sekte)[6].
Kira-kira antara abad pertama dan kedua masehi, maka Agama Buddha di India mulai Nampak kelemahannya, disebabkan oleh perubahan zaman. Perubahan zaman meminta agar Agama Buddha dikurangi kesederhanaannya, hingga lambat laun bentuknya mendekati bentuk Hinduisme. Anasir-anasir baru ditambahkan, anasir-anasir yang berwujud Panca Dhyani Buddha dengan Panca Boddhisattvanya, beberapa dewi umpamanya dewi Tara, dewi Berkuti dan lainnya[7].
Di dalam pandangan-pandangan mengenai Buddha sendiri terdapat juga perubahan-perubahan yang penting. Bagi agama Buddha yang lama, Buddha itu tidak lain daripada seorang manusia juga, meskipun seorang guru yang termulia, yang pada akhirnya sampai pada martabat Arahat dan mencapai pencerahan Agung. Ia adalah manusia dan tetap manusia.
Di dalam hubungannya dengan mereka yang percaya kepada ajarannya, Buddha itu tidak lain daripada orang yang telah menunjukkan jalan dan pada jalan yang ditunjukannya orang harus berjalan.
Di dalam Mahayana, Buddha menjadi suatu makhluk dari golongan yang lebih tinggi, jauh diatas para manusia. Meskipun ia tidak diapandang sebagai Allah dalam arti yang sebenarnya, tetapi setidak-tidaknya ia dianggap mempunyai sifat luar biasa dan ia makin menjadi objek pemujaan dan penyembahan[8].
Buddha Mahayana memandang diri dia sendiri sebagai bagian dari tradisi Buddha saat ini dengan mengembangkan Buddha surge dan Bodhisatva yang berfungsi sebagai dewa untuk membimbing para pengikutnya menuju jalan keselamatan. Ketika penganut agama Buddha Mahayana melakukan meditasi atau bersemedi, dia membayangkan bahwa Bodhisatva duduk bersamanya dalam meditasi tersebut. Pada saat inilah dia dapat mengkonsentrasikan dirinya dalam melaksanakan meditasi. Konsentrasi dalam meditasi sangat penting, dan tanpa itu biasanya tujuan meditasi tidak akan terwujud denga baik.
v  Ajaran Mahayana
Pokok-pokok ajaran Mahayana secara ringkas mengajarkan:
a.       Seseorang dalam mencapai Nirwana tidak egoistismementingkan dirinya sendiri akan tetapi dapat saling membantu.
b.      Kunci keutamaan ialah kasih sayang yang disebut “karuna”
c.       Pencapaian tertinggi adalah Bodhisatva (orang yang telah mencapai ilham sehingga terjamin untuk masuk Nirwana).
d.      Buddha dipandang sebagai juru selamat mausia.
e.       Ajarannya bersifat liberal[9].
Dua kata yang seolah-olah menjadi kunci bagi ajaran Mahayana adalah Bodhisatva dan Sunyata karena kedua kata itu hamper terdapat pada tiap halaman tulisan-tulisan Mahayana.
            Secara harfiah Bodhisattva berarti orang yang hakikat atau tabiatnya adalah bodhi (hikmat) yang sempurna.
Sebelum Mahayana timbul, pengertian Bodhisattva sudah dikenal juga, dan dikenakan juga kepada Buddha Gautama, sebelum ia menjadi Buddha. Di situ Bodhisattva berarti orang yang sedang dalam perjalanan untuk mencapai hikmat yang sempurna, yaitu orang yag akan menjadi Buddha. Jadi semula Bodhisattva adalah sebuah gelar bagi tokoh yang ditetapkan untuk menjadi Buddha. Di dalam Mahayana Bodhisattva adalah orang yang sudah melepaskan diri dan dapat menemukan sarana untuk menjadikan benih pencerahan tumbuh dan menjadi masak pada diri orang lain. Seorang Bodhisattva bukan hanya merenungkan kesengsaraan dunia saja, melainkan juga turut merasakannya dengan berat. Oleh karenanya ia sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan aktivitasnya sekarang dan kelak untuk keselamatan dunia. Karena kasihnya kepada dunia maka segala kebajukannya dipergunakan untuk menolong orang lain.
Cita-cita tertinggi di dalam Mahayana adalah untuk menjadi Bodhisattva. Cita-cita ini berlainan sekali dengan cita-cita Hinayana, yaitu untuk menjadi arahat. Sebab seorang arahat hanya memikirkan kelepasan diri sendiri. Cita-cita Mahayana ini juga berlainan sekali dengan cita-cita untuk menjadi Pratyeka Buddha, seperti yang diajarkan oleh Hinayana, yaitu bahwa karena usahanya sendiri orang dapat mencapai pencerahan bagi dirinya sendiri saja, tidak untuk diberitakan kepada orang lain. Sekalipun karena kebajikannya seorang Bodhisattva sudah dapat mencapai Nirwana namun ia memilih jalan yang lebih panjang. Ia belum mau masuk Nirwana, dikarenakan belas kasihnya pada dunia, agar dunia dlam arti seluas-luasnya (termasuk para dewa dan manusia) bisa mendapatkan Nirwana yang sesempurna mungkin.
Berkaitan dengan cita-cita tentang Bodhisattva ini, di dalam aliran Mahayana ada ajaran tentang pariwarta, yaitu bahwa kebajikan dapat dipergunakan untuk kepentinagn orang lain. Orag yang mendapatkan pahala karena kebajikannya, dapat mempergunakan pahala itu untuk kepentingan orang lain. Ajaran ini sudah tentu berlainan sekali dengan ajaran Agama Buddha kuno, yang mengajarka bahwa hidup seseorang terpisah dari hidup orang lain.
Di dalam perjalanan hidupnya yang pajang itu seorang Bodhisattva tidak akan dilahirkan kembali ke dalam tempat penyiksaan atau dalam keadaan yang tidak menyenangkan di dunia. Demikian juga seorang Bodhisattva tidak diharuskan menyagkal dunia ini. Ia menerima keadaan hidup seperti apa adanya. Ia boleh beristri, memiliki kemewahan, dan kekuasaan.
Hal yang kedua, yang memberi cirri Mahayana ialah ajaran tentang Sunyata, yang artinya kekosongan.
Kosong (sunyata) berarti: tidak ada yang mendiaminya. Oleh karena itu sunyata berarti, bahwa tiada pribadi (yang mendiami orang). Segala sesuatu adalah kosong, oleh karenanya tidak ada yang dapat diinginkan atau dicari. Bukan hanya dunia yang kosong, melainkan juga Nirwana bahkan Dharma juga kosong. Kebenaran yang tertinggi adalah kosong, oleh karenanya tak dapat dijadikan  sasaran kepercayaan. Yang Mutlak tak dapat dipegang, seandainya ia dapat dipegang, tak dapat dikenalnya, sebab Yang Mutlak tidak memiliki cirri-ciri yang membedakan denga yang lain.
Di dalam perkembagannya Mahayana mengalami bermacam-macam pengaruh, diantaranya dari gerakan Bakti dan dari aliran Tantra.
Bakti adalah penyembahan pribadi yang berdasarkan kasih kepada dewa yang disembah yang digambarkan dalam bentuk manusia. Sejak abad pertama Masehi, Bakti mempengaruhi Agama Buddha, dan makin lama pengaruh itu makin kuat. Karena timbulnya unsure penyembahan ini berubahlah keterangan tentang ajaran mengenai tempat perlindungan orang Buddhis. Di dalam agama Buddha Hinayana, Triratna, yaitu Buddha, Dharma dan Sangha, menjadi tempat perlindungan.. akan tetapi di dalam Mahayanatempat perlindungan itu ialah para Buddha, anak-anak Buddha, atau Bodhisattva dalam arti yang laus dan Dharmakarya. Demikianlah di dalam Mahayana timbul ajaran tentang banyak Buddha, yang diuraikan secara mitologis[10].
Ajaran tentang  banyak Buddha ini dijabarkan dari ajaran tentang lima skandha, atau lima unsure yang menyusun hidup manusia. Semula diajarkan, bahwa manusia terduru dari lima skandha, yaitu: rupa (tubuh), wedana (perasaan), samjna (pengamatan), samskara (kehendak, keinginan dsb.), dan wijnana (kesadaran).ajaran ini diterapka kepada diri Buddha sendiri. Diajarkan bahwa Buddha juga terdiri dari lima skadha, dan tiap skandha adalah seorang tokoh Buddha, yang disebut Tathagana. Kalimat Tathagana itu ialah Wairoscana (Yang menerangi atau Yang Bersinar), Aksobhya (Yang Tenang, tak terganggu), Ratnasambhawa (Yang Dilahirkan dari Permata), Amitabha (Terang yang kekal), Amoghasiddhi (Keuntungan yag tak binasa). Para Tathagana ini berbeda sekali keadaanya dengan Buddha yang biasa. Para Tathagana adalah Buddha senantiasa, tidak pernah menjadi manusia, sedang Buddha yang biasa menjadi manusia.
Pengaruh Tantra menimbulkan pada Mahayana ajaran tentang , yaitu Buddha yang pertama, yang dipandang sudah ada pada mula pertama, yang tanpa asal, yang berada karena dirinya sendiri, yang tak pernah tampak karena berada di dalam Nirwana.
Hakikat Adhi Buddha adalah terang yang murni. Ia timbul dari sunyata, kekosongan. Dengan lima macam permenungan (dhayana) sang Adhi Buddha mengalirkan dari dirinya lima Buddha, yang disebut Dhiyani Buddha, yaitu: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan amoghasiddhi.
Kesatuan tentang ajaran Buddha yang bermacam-macam itu didapatkan dalam ajaran tentang tiga tubuh Buddha (trikaya).
Ketiga tubuh itu adalah: Dharmakaya, Sambhogakaya, dan Nimanakaya. Dharmakaya adalah tubuh kebahagiaan, tubuh hakiki, sedang Sambhogakaya adalah penjelmaan sorgawi Dharmakaya dan Nirmanakaya adalah tubuh penampakan, emanasi (pengaliran), transformasi atau pemantulan tubuh sorgawi, yaitu tubuh yang tampak pada tiap manusia Buddha.
Buddha yang berfungsi sebagai dewa pada zaman sekarang ini adalah Amitabha atau Amida. Ia memerintah di dalam sorganya Sukhawati di sebelah barat. Sebgai juruselamatnya atau Dhyani Bodhisattvanya adalah Awalokiteswara, sedang Guru atau Utusannya adalah Gautama. Akhirnya, Nirmanakaya adalah dataran Buddha yang tampak mengalir atau dipatulkan dari Sambhogakaya. Tubuh ini ditampakan oleh Sakyamuni atau Gautama, setelah ia menjadi Buddha[11].

 III.            SECARA RINGKAS PERBANDINGAN ANTARA HINAYANA DAN MAHAYANA

A.    Perbandingan antara Hinayana dan Mahayana
1)      Dalam Hinayana adalah berdasarkan etika dan sejarah, dalam Mahayana adalah keagamaan dan metafisika, adalah suatu fase belakangan dari Buddhism.
2)      Dalam Hinayana kitab sucinya berbahasa Pali dan kemudian campuran Sanskerta, sedang Mahayana murni dalam bahasa Sanskerta. Kitab suci Hinayana tertulis dalam bahasa Pali yang dinamakan Tipitaka, sedangkan kitab suci Mahayana tertulis dalam bahasa Sanskerta yang dinamakan Tripitaka-Mahayana dengan 12 bagiannya, Tripitaka Mahayana mencakup Tipitaka Hinayana, tetapi Tipitaka Hinayana tidak mencakup Tripitaka Mahayana.
3)      Hinayana konsepsinya mengenai non-ego (anatman) yaitu percampuran dari lima unsure elemen (Panca Skandha), yang terus berubah (anitya) atau sementara (ksanika).
4)      Dalam Hinayana pembahasan (Nirvana) ialah bersifat individu tapi haarus dicatat bahwa pada waktu yang bersamaan itu bukanlah merupakan penghancuran melainkan keadaan kekal, damai, bahagia dan bauk sekali, sementara dalam Mahayana Nirvana itu adalah perolehan dari kesempurnaan pengetahuan yaitu Prajnaparamita atau ke-Buddha-an.
5)      Dalam Hinayana Nirvana diperoleh dengan pembersihan atau pemberantasan mengenai kekotoran batin disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan (avidya), sedangkan Mahayana pembebasannya tidak hanya dengan pemberantasan mengenai kekotoran batin yang disebabkan oleh ketidaktahuan/kebodohan tapi juga pembasmian mengenai ketidakjelasan mengenai ketenangan yang abadi, murni, dan kekal (jneyavarana).
6)      Dalam Hinayana pengikutnya dikenal sebagai Sravaka, yang mencari ke-Arhat-an pada akhir masa kehidupannyayaitu Nirvana, sedangkan Mahayana pengikutnya dikenal sebagai Bodhisattva, yang diajarkan untuk memperoleh Bodhi-pranidhi-citta dan Bodhi-prasthana-citta,  yaitu istilah yang pertama dimaksudkan bahwa mereka harus bernadar dan berkeinginan memperoleh Bodhi dan akhirnya menjadi Buddha, dan istilah berikutnya ialah dimaksudkan bahwa Bodhisattva harus memulai mencoba untuk mencapai kesempurnaa melalui Sad-Paramit dan Dasa-Bhumi. Tujuan Mahayana haruslah merealisasikan kebenaran tertinggi (pramita satya) yang sangat luas dan mengenai satu rasa seperti lautan dimana semua sungai kehilangan identitas mereka.
7)      Dalam Hinayana umat awamnya adalah yang terutama sebagai penunjang Sangha dan memberikan hadiah makanan, pakaian dan dengan membangun vihara untuk tempat tinggal bhiksu. Mereka semata-mata pendengar khotbah yang disampaikan bhiksu dan pengamat 5 atau kadang-kadang 8 sila, sedangkan dalam Mahayana umat awamnya dicalonkan sebagai Bodhisattva, yang mempunyai tugas seperti telah dijelaskan diatas.
8)      Menurut Hinayana, Buddha hanya muncul satu kali dalam satu kalpa, sedang menurut mahayanasemua makhluk mempunyai sifat dasar atau benih-benih Buddha, secara tekhnis dikenal sebagai Tathagata-garbha (Rahim Tathagata), yang merupakan tempat perpaduan kedua-duanya yang baik dan buruk, dan hanya bilaman yang buruk itu dibasmi secara total, maka ia akan menjadi Tathagana.
9)      Mahayana, konsepsi madhyammika dan Yogacara menganggap makhluk dunia dan obyek adalah tidak kekal, sementara (ksanika), dank arena itu mereka sebenarnya non-eksistensi (sunya) atau kesadaran murni secara mutlak.
10)   Menurut konsepsi Hinayana menegnai kebenaran tertinggi ialah hanya Pudgala-sunyata, sedang Mahayana kedua-duanya yakni Pudgala-sunyata dan Dharma sunyata.
11)   Menurut Hinayana mengenai 4 tingkatan kesucian atau Jana, yaitu: Sotapatti, Sakadagami, Anagami, dan arahatta, sedangkan Mahayana mengenal 10 tingkat atau Dasa-Bhumi (menurut Bodhisattva-Bhumi ada 12) mulai Bodhisattva melewatinya untuk memiliki pembebasan sempurna dan menjadi Buddha.

B.     Persamaan antara Hinayana dan Mahayana
1)      Memusnahkan kemelekatan, kebencian, dan khayalan ataun ilusi (raga, dvesa, moha).
2)      Dunia tiada permulaan atau awal (anamaggo-ayam-samsaro) begitu juga akhir.
3)      Empat Kesunyataan Mulia atau Kebenaran Utama, dukha, samudaya, nirodha, marga, dan 8 Jalan Utama.
4)      Semua makhluk dunia dan obyek adalalah tidak kekal (anatiya), bersifat sebentar (ksanika)  dan di dalam keadaan terus-menerus berubah (Santana), dan tanpa adanya sesuatu substansi nyata (anatmakam).
5)      Hukum Sebab-Akibat yang saling bergantungan (pratitya-samutpada) adalah berlaku secara universal.

C.     Perbedaan antara Hinayana dan Mahayana
TH.Stcherbatsky, Ph.D. di dalam bukunya The Conception of Buddhist Nirvana (With Sanskrit Text of Madhyamaka-Karika), menjelaskan perbedaan antara Hinayana dan Mahayana secara garis besar sebgai berikut:
1)      Perbedan di dalam interpretasi mengenai Pratiyasamutpada,
2)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Nirvana,
3)      Perbedaan di dalam tujuan akhir,
4)      Perbedaan yang berhubungan dengan usaha untuk pencapaian Nirvana,
5)      Perbedaan yang berhubungan dengan penghapusan mengenai avaranas atau rintangan,
6)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Dharma,
7)      Perbedaan di dalam konsep mengenai Buddhology,
8)      Hinayana intelektual, Mahayana intelektual juga bakti-puja,
9)      Hinayana pluralistic, Mahayana non-dualistik,
10)  Hinayana rasionalistik, Mahayana gaib[12].


 IV.            RITUAL DAN PRAKTEK BUDDHA MAHAYAA DAN HINAYANA

1.      Persembahan Barang dalam Sembahyang
Buddhism Mahayana dlam prakteknya menuntun atau membimbing umatnya untuk menghayati dan merealisasikan Buddha Dharma dengan dua cara, yaitu:
a.       Cara sulit, dengan belajar Dharma dari Sutra-Sutra dan Sastra suci serta meditasi.
b.      Cara praktis (Upaya-Kausalya), dengan cara sembahyang atau puja-Bakti.
Kedua cara ini maksudnya untuk pengolahan batin supaya alam spiritual miliknya berkembang secara perlahan-lahan di dalam jalan menuju penerangan atau pencerahan, makna Ti-Kaya.
            Untuk Buddha Mahayana biasanya melakukan persembahan barang dalam sembahyag di depan altar Buddha atau Bodhisattva atau Tuhan Yang Maha Esa berupa:
1.      Dupa atau hio,
2.      Lilin merah,
3.      Air minum mineral,
4.      Bunga-bunga,
5.      Buah (bermacam-macam buah).
Persembahan barang dalam sembahyang secara lengkap di atas biasanya dilakukan pada Hari Upavasatha dan dengan makan makanan nabati. Persembahan barang boleh juga dari sayuran yang dimasak, manisan buah, kacang, kue, dan lain-lainnya asalkan barangnya bukan dari bahan atau langsung dari daging atau makhluk bernyawa/hewan ternak. Jangan persembahkan barang berupa kemenyan, minuman mengandung alcohol, minyak wangi (minyak colognette), rokok cerutu (lisong).
2.      Makna dari Barang Persembahan
Agama Buddha merupakan sekteris, tiap jenis barang persembahan mempunyai makna tersendiri secara filsafat dan keyakinan iman menurut sekte masing-masing. Secara umum jenis barang persembahan mempunyai makna, yaitu:
1.      Dupa atau hio: dengan wangi khasnya guna membersihkan udara dan lingkungan (Dharma-Dhatu), mengundang langsung secara batin atau hati nurani ke hadapan Hyang Thatagana, Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Bodhisattva Mahasattva, dan para Deva dan Devi (makhluk halus yang suci).
2.      Lilin merah: lilin merah yang dinyalakan memberikan penerangan bermakna supaya kita diberikan penerangan, menerangi jalan kehidupan dan penghidupan diwaktu sekarang, Buddha Dharma menerangi rohani kita, pikiran kita, secara perlahan-lahan kita dibawa kejalan penerangan, pencerahan.
3.      Air minum mineral (air minum yang telah dimasak): persembahan air mempunyai makna agara pikiran kita, ucapan kita, dan perbuatan kita bersih selalu, membersihkan kotoran batin atau hati nurani kita. Belajar dari sifat air, supaya kita bersikap rendah hati bukan rendah diri, sabar tapi mempunyai prinsip untuk maju, rohani kita atau spiritual kita bertambah maju.
4.      Bunga-bunga: bunga mekar memberikan harum, melambangkan keindahan dan ketidakkekalan. Harum bunga yang tercium oleh hidung kita karena terbawa oleh hembusan angin dari arah yang berlawanan. Angin yang bertiup dari arah timur, harum bunga tercium oleh kita dari sebelah barat. Harum nama kita keseluruh penjuru tidak terhalang waktu dan ruang.
5.      Buah: prsembahan buah mempunyai makna jangan membunuh makhluk hidup.buah boleh dimakan, tapi bijinya bisa ditanam dan dia akan tumbuh bereksistensi seperti semula lagi.

3.      Cara Sembahyang
Sebelum mengambil dupa untuk sembahyang, tangan bersih terlebih dahulu. Mengeluarkan dupa dan menyalakannya tidak boleh langsung diatas altar di hadapan ruphang (Buddha; Bodhisattva; Deva/Devi), dan memadamkan api dari dupa tidak dengan ditiup melalui mulut. Dengan tangan kanan mengeluarkan dupa dari tempatnya atau bungkusnya, setelah dupa dinyalakan, cara memegangnya yaitu jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kanan mengapit dupa, ujung kaki dupa sampai ke ibu jari kanan, jari telunjuk dan jari tengah dan ibu jari dari tangan kiri berada di dalam dengan posisi yang sama dari yang kanan. Ber-namaskara (weng sin) tiga kali, dupa dipegang pada posisi tersebut di mulai dari depan hati lalu tempelkan ibu jari di depan dahi. Dengan membaca mantra untuk membersihkan tempat, membersihkan jasmani dan rohani, persembahan dupa. Menancapkan dupa ke tempat dupa (hio lo) dengan tangan kana, dan baca dalam hati mulai dengan pemasangan dupa ditengah (mengucapkan di dalam hati; ku mencintai alam semesta/dunia ini), lalu dupa yang kedua di sebelah kanan (dengan ucapan; aku berusaha menjalankan sila), lalu dupa yang ketiga di sebelah kiri (dengan ucapan; aku berusaha menolong semua makhluk hidup yang memerlukan pertolongan). Sebelum memasangkan dupa boleh mengucapkan nama-nama para Buddha, Bodhisattva, dari tiga masa waktu dan di sepuluh penjuru bertururt-turut sebanyak tiga kali. Setelah dupa dipasang, kemudian namaskara (weng sin) tiga kali.


    V.            KESIMPULAN
Dari paparan di atas, sekiranya teranglah bahwa aliran dalam agama Buddha yaitu Hinayana dan Mahayana adalah dua aliran yang berlainan. Jenis esensi aliran dan ajaran Buddha Hinayana adalah sesuai dengan keaslian ajaran Buddha. Tidak mengenal adanya dewa-dewa penyelamatmanusia. Dengan demikian maka dalam Hinayana tidak terdapat upacara-upacara keagamaan dan pemujaan terhadap yang Maha Suci. Sedangkan Buddha Mahayana mengakui adanya dewa-dewa Buddha yang masing-masing mempunyai fungsi, termasuk didalamnya dewa Lokapala. Kepercayaan demikian bersumber pada ajaran kebebasan dalam berfikir dan keterbukaan sikap yang diberikan kepada pemeluk-pemeluknya yang mendorong banyak kemungkinan untuk menerima pertukaran kebudayaan dengan unsur-unsur kebudayaan suku bangsa ajaran tersebut.

 VI.            DAFTAR PUSTAKA

Ø  Abdul Manaf, Mujahid. Sejarah agama-Agama. Raja Grafindo Persada. Jakarta: 1996
Ø  Arifin, Muhammad. Menguak Misteri Ajaran agama-Agama Besar. Golden Trayon Press. Jakarta: 1986
Ø  Hadiwijono, Harun. Agama Hindu dan Buddha. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø  Jr, A.g Honig. Ilmu Agama. Gunung Mulia. Jakarta: 2003
Ø  T, Suwarto. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Buddhayana Indonesia. Jakarta: 1995
Ø  Kebahagiaan Dalam Dhama. Majelis Buddhayana Indonesia. 1980


[1]Suwarto. T, Buddha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana, 1995), h. 833
[2]M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.108
[3]Majelis Buddhayana Indonesia, Kebahagiaan Dalam Dhamma, (Depok: Bromo FC, 1980), h. 333
[4] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h. 91
[5] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.109
[6] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.110
[7] Kebahagiaan dalam Dhamma, (Depok: Bromo FC), h.334
[8]A.g Honig Jr, Ilmu Agama, ( Jakarta: Gunung Mulia, 2003 ), cet – 10, h.225
[9] M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta: PT. Golden Trayon Press, 1986), cet-1, h.111
[10] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h.93
[11] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, (Jakarta: Gunung Mulia, 2003), cet – 13, h.96
[12]Suwarto.T,  Budha Dharma Mahayana, (Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia, 1995), h.839-842.

 

PENDAHULUAN

A special transmission,
Outside the scriptures.
No dependence on words and letters.
Direct pointing to the mind
and the realization of Buddhahood.
- Bodhidharma

Membicarakan tentang Zen dalam ajaran Buddhisme bukanlah hal yang mudah. Hal ini dikarenakan Zen, merupakan ajaran tentang meditasi yang menuntut untuk dipraktikkan bukan dibicarakan atau dikaji dalam ceramah-ceramah keagamaan. Maksudnya adalah meninggalkan ketergantungan pada kata, aksara, dan bahasa dan memulai pemahaman dengan hati.
Secara Harfiah, kata Zen merupakan bahasa Jepang dari Ch’an dalam bahasa Cina. Ch’an sendiri merupakan penyebutan Dhyana dalam bahasa Cina. Jadi Zen merupakan perkembangan dari sekte Dhyana di India. Dhyana berarti meditasi. Zen Buddhisme memfokuskan dirinya pada pencapaian pencerahan (Bodhi) melalui meditasi sebagaimana yang dilakukan oleh Siddharta Gautama. Zen meyakini bahwa setiap manusia memiliki sifat kebuddhaan alamiah atau potensi untuk mencapai pencerahan.


ZEN BUDDHISME
DAN AJARAN-AJARANNYA
d        Sejarah Buddhisme Zen
Zen di India
Sejarah Zen dimulai dari India. Seiring perubahan zaman, Hinduisme—yang juga merupakan akar Buddhisme—yang sempat tersingkir oleh beberapa ajaran baru yang muncul di India; kembali menemukan jalan kebangkitannya. Beruntung sebelum Buddhisme tergusur oleh Hinduisme—karena Hinduisme mengalami kebangkitan—pengaruh Buddhisme telah tesebar melintas benua hingga ke Cina. Agama Buddha Mahayana, salah satu sekte dalam Agama Buddha, dibawa ke Cina oleh Boddhidharma[1].
Pada masa Sang Buddha, yoga sebagai konsentrasi terhadap Brahman dipraktikkan secara luas. Pada dasarnya, sifat dasar yoga untuk meng-kontemplasikan spirit di satu poin tertentu yaitu: pencapaian ketenangan dengan duduk bermeditasi. Faktanya, metode-metode dalam yoga dewasa ini terbatas hanya berkaitan dengan apa yang harus dimakan, berpuasa, dan sumpah-sumpah tertentu; seperti sumpah untuk tetap berdiri dengan satu kaki dengan tujuan untuk memperpanjang waktu. Melalui sejenis pertapaan dan kesatuan seluruh latihan, yogi melatih dirinya sendiri untuk mengabaikan hal-hal yang bersifat eksternal dan mengontrol pergerakan ruhnya sendiri hingga yang paling tipis sekalipun[2].
Sang Buddha mempraktikkan yoga ini selama dua belas tahun sejak ia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Ia mengunjungi orang-orang suci dan menanyai orang-orang bijak, berkelana ke empat penjuru negeri. Akan tetapi, pada akhirnya Sang Buddha tidak menemukan jawaban terhadap dua pertanyaannya yang esensial melalui Yoga. Yaitu: Apa itu manusia dan Bagaimana seharusnya manusia menjalani hidupnya?[3]
Sang Buddha mengabaikan pertapaan, duduk diam, menyilangkan kakinya dan memperhatikan nafasnya. Selama pemulaan dari delapan hari Zazen, ia mencapai level kesadaran tertinggi menyamai sinar bintang. Sang Buddha menemukan keberadaan alaminya pada alam semesta dan sebuah aturan untuk seluruh umat manusia.
Zen in Cina
Zen dibawa ke Cina oleh Boddhidharma. Boddhidharma kemudian mentransmisikan (semacam mewariskan) kebuddhaan kepada murid-muridnya di Cina. Sesepuh Zen di Cina ada enam, yakni Boddhidharma, Hui K’o, Seng Ts’an, Tao Hsin, Hung Jen, dan Hui Neng.
Boddhidharma merepresentasikan generasi ke dua puluh delapan dari Sesepuh dalam Agama Buddha. Pada saat itu Cina dibagi menjadi tiga wilayah yang saling bermusuhan. Kekacauan terjadi dimana-mana menunjukkan pergolakan yang disebabkan oleh perebutan kekuasaan. Negara itu dipimpin oleh para tiran dan berdarah-darah karena pemberontakan. Dinasti Liang memimpin satu wilayah kuno di Cina. Kerajaan Wu-Ti, merupakan kepala dinasti ini dan seorang buddhis yang kuat, mendengar tentang Boddhidharma dan mengundangnya untuk datang ke istananya. Wu Ti menanyakan “apa yang menjadi ajaran dasar dalam Agama Buddha?’ dan Boddhidharma menjawab, ‘satu kekosongan yang besar sekali. Langit yang cerah. Langit yang tidak menunjukkan yang tercerahkan dan yang bodoh. Dunia yang tepat sebagaimana seharusnya”. Meskipun keinginannya untuk menjadi seorang Buddha sangat kuat, Wu Ti tidak memahami pesan yang dibawa oleh Boddhidharma dan kemudian menyadari bahwa pada masa itu untuk Zen belum siap untuk disebarkan di Cina. Karenanya, ia menyeberangi sungai Yang-Tse dan beristirahat di Kuil Shorin di Gunung Utara. Di sana, ia membpraktikkan duduk Zazen di hadapan sebuah tembok selama sembilan tahun, beberapa mengatakan tanpa henti.
Zen tersebar dengan cepat melalui Sesepuh Cina yang ke-6, Hui Neng (Eno). Setelah Eno, terdapat bunga kelopak lima berkembang. Ekspresi Zen ini berarti Zen terbuka seperti sebuah bunga dengan lima kelopak dan menyebar luas seantero negeri, terima kasih kepada kelima aliran yang muncul dari garis keturunan spiritual Eno (Hui Neng). Kelima aliran tersebut adalah Igyo, Hongen, Soto, Unmon, dan Rinzai. Di gunung-gunung dan hutan-hutan Cina, dibangun ribuan kuil (vihara) yang kemudian ditinggali oleh lebih dari 10 ribu orang, mencurahkan diri mereka untuk belajar dan mempraktikkan Dharma Buddha. Dalam perjalanan waktu, Zen mengeisi peradaban Cina, mengangkat pemikirannya, budayanya, dan seninya ke ketinggian yang maha mulia.
Di Tiongkok (Cina) madzhab Mahayana berinteraksi dengan Taoism dari Lao Tze (604-531 SM) dan dengan Cofucianism dari Kong Fu Tze (551-479) dan di Jepang berinteraksi dengan Shintoisme. Bentuk interaksi ini positif dan negatif, artinya Buddha saling bersinggungan dengan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang di Cina dan di Jepang, yang dalam perjalanan sejarah mempengaruhi alirang-aliran Buddha Mahayana di Cina dan Jepang. Dari kelima aliran Zen ini, hanya tiga yang juga berkembang mencapai Jepang: Soto, Rinzai, Obaku (yang terakhir merupakan cabang dari aliran Rinzai). Dua yang lainnya mati di Cina.
Zen di Jepang
Aliran Mahayana berkembang di Cina kemudian diperkenalkan ke Jepang lewat Korea, yakni ketika raja Kudara mengirimkan kitab-kitab dan patung-patung Buddha kepada Kaisar Jepang. Pada mulanya, kehadiran agama baru ini ditentang. Sejak tahun 552M Buddhisme telah masuk ke Jepang dan Cina. Ajaran-ajaran Buddha dengan cepat tersebar setelah timbul anggapan bahwa dewa-dewa Buddhisme dapat dipersamakan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Shintoisme. Sebenarnya, corak kepercayaan Buddhisme di Jepang terbagi menjadi dua. Yang pertama, kelompok yang ingin mencapai kelepasan dengan usahanya sendiri, yang kemudian disebut Zen Buddhisme. Yang kedua, ignin melepaskan diri dnegan pertolongan dewa-dewa.
Di Jepang, hanya aliran Rinzai dan Soto yang mendasari perkembangan Zen. Terima kasih kepada Eisai (pendiri Rinzai) dan Dogen dan Keizan (Pendiri aliran Soto). Tradisi Rinzai berdasarkan pada disiplin yang ketat yang didisain untuk mengartikulasikan penciptaan mentail. Koan atau pertanyaan yang membingungkan dan susah untuk dijawab merupakan aspek yang sangat penting dan ketetapan hatinya, melampaui alam intelek, yang memimpin langsung untuk ke pengalaman tentang Satori dan terbangunnya kesadaran (awakening).
Sementara itu, tradisi Soto bertujuan melampaui segala sesuatu untuk berkonsentrasi dan merenungkan kehidupan Sang Buddha, mengikuti keseharian Sang Buddha, rasa syukur yang bertambah setiap harinya terhadap keberadaan sehari-hari, tanpa mengharapkan apa pun yang biasa. Esensi dari Soto adalah Shikatanza, duduk dan hanya duduk. Dengan Master Dogen (1200-1254) tradisi Soto dan esensi Buddhisme mencapai satu level kematangan dan ketelitian yang susah untukd iatasi pada saat yang lain. Masterpiecenya, “Shobogenzo” merupakan karya yang sangat diperlukan untuk memahami Buddhisme dan esensi dari seluruh Peradaban Timur.
Zen telah mempengaruhi kehidupan keseharian orang-orang Jepang. Pengaruh ini dapat dilihat pada kehidupan Jepang seperti: Makan, berpakaian, kaligrafi, arsitektur, teater, musik, taman, dekorasi dan lain sebagainya. Termasuk hari ini, ketika banyak orang Jepang tidak mengetahui apa Zen itu, perilaku keseharian mereka dan ekspresi-ekspresi mereka menunjukkan pengaruh ajaran ini di Jiwa Jepang.

d        Ajaran-ajaran Zen Buddhisme
Meskipun dikatakan bahwa Zen Buddhisme tidak terikat oleh segala macam teori ajaran, yang penting adalah pengertian dan intuisi serta meditasi, tetapi Sutra-Sutra berikut ini dijadikan sebagai teori dalam Zen Buddhisme:
a.                  Surangama Sutra
b.                  Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra,
c.                   Lankavatara Sutra,
d.                  Vimalakirti-Nirdesa Sutra,
e.                   Sutra Altar oleh Hui Neng (The Platform Sutra of The Sixth Patriarch)
Zen Buddhisme menerapkan Meditasi, yaitu Samatha Bhavana dan Vipasyana Bhavana. Meditasi Zen Buddhisme, ti dan dengan tata cara upacara, melainkan secara wajar dan alamiah serta tidak terikat pada posisi duduk bersila. Dalam Zen Buddhisme, bagi mereka walaupun tidak ada pendidikan formal juga akan tetap memperoleh kemajuan spiritual, dengan demikian, Buddha Dharma akan lebih mudah dipahami dan dihayati, asalkan dengan usaha yang sungguh-sungguh, tekun latihan meditasi. Maka secara filsafat Zen Buddhisme, ajaran Dharma diberikan secara langsung dari hati ke hati.
Filsafat Zen Buddhisme juga membahas tentang Sunyata. Sebagaimana dijelaskan dalam Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra, bahwa hati dan pikiran kita, janganlah terikat dengan Anitya, Dukkha, dan Anatman. Segala sesuatu yang bersyarat di alam fenomena ini tidaklah kekal atau terus berubah dan tidak pasti, demikian juga seperti perasaan dan pikiran kita, jika terikat pada perasaan dan pikiran kita, seandainya perbuatan baik yang telah dilakukan sedangkan karma baik atas perbuatan baik kita itu tidak langsung berbuah, bukankah itu akan sangat mengecewakan?[4]
Tujuan utama dari sekte Zen atau Ch’an bukanlah hanya duduk bermeditasi, melainkan membina kesadaran pada diri kita sendiri atau membuka kesadaran diri kita sendiri untuk mencapai ‘U’ (Satori). Setelah tercapainya ‘U’ (Satori) maka secara psikologi, pikiran dan batin kita telah maju dan telah bebas dari segala macam kemelekatan atau ikatan. Dia akan terus maju dan secara teologis, dapat diartikan semakin mendekati Sang Absolut. Sekte Ch’an tidak terikat pada segala macam tradisi, tata-upacara sembahyang, dan tidak terikat pada Sutra-sutra. Yang paling penting adalah bagaimana menembusi isinya dan mengenal diri sendiri secara intuisi; bagaimana merealisasikan Dharma. Dharma itu Sunyata karena itu tidak dapat jika hanya dijelaskan dengan kata-kata, hanya dengan usaha yang tekun dan waktu yang lama seseorang baru dapat merealisasikannya.[5]
Zen memelihara jalan ini sebagai jalan yang melaluinya Buddha sendiri mencapai pencerahan. Zen mengajarkan bahwa seluruh manusia memiliki kapasitas yang sama untuk mencapai pencerahan karena kita memiliki sifat alami kebuddhaan; sebenarnya, kita merupakan keberaan yang telah tercerahkan, tetapi potensial kebenaran kita telah terhijab oleh kebodohan. Berdasarkan beberapa tradisi Zen, kebodohan ini menguasai dapat dikuasai melalui pemecahan tiba-tiba—yang disebut satori—selama meditasi dimana sifat alami dari keberadaan dan pengalaman kita, disingkapkan.
Aliran Zen yang berbeda, diantaranya adalah Rinzai dan Soto—dua yang utama—menemukan kembali beberapa metode untuk mencapai pencerahan, termasuk mempraktikkan zazen (“hanya duduk” bermeditasi). Meskipun pesan Zen nampak sangat sederhana, latihannya sangat sukar dan membutuhkan petunjuk dari seorang master. Di Jepang, Zen menjadi populer di kalangan prajurit samuria karena fokusnya pada kedisplinan dan kontrol diri; Zen juga mengiformasikan praktik-praktik seni yang lainnya, seperti kaligrafi, lukis, desain taman, dan memanah. Sejak awal abad ke-20, satu versi populer Zen telah tersebar ke seluruh dunia dan mempengaruhi baik di USA ataupun Eropa.
Zen merupakan sebuah warisan khusus di luar Kitab Suci. Kitab suci dalam agama Buddha adalah Tripitaka, yang terdiri atas Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abidharma Pitaka. Secara tradisional Tripitaka berisi kata-kata Sang Buddha. Sang Buddha sendiri, tentunya tidak pernah menulis apa-apa, seperti Socrates dan Kristus, beliau menyebarkan ajarannya secara lisan. Dan murid-murid dan para keturunannya yang menuliskannya kemudian. Pemahaman terhadap kitab suci, merupakan kunci awal mempelajari Zen. Dalam vihara-vihara Zen, tak jarang isi-isi kitab suci seperti Sutra Intan, Sutra Altar dan lain sebagainya, dihafalkan di luar kepala. Tanpa kitab suci, kita tidak akan memahami apa yang kita—sebagai Buddhis dan termasuk pengikut-pengikut Zen di dalamnya—sedang coba dapatkan dan bagaimana cara mendapatkannya.
Satu-satunya cara yang dapat membebaskan diri dari kitab suci adalah dengan memiliki hubungan yang kuat dan terus-menerus dengan seorang guru yang telah mencapai pencerahan spiritual atau Penerangan Sempurna. Guru yang demikian, merupakan perwujudan kitab suci.
Dari seorang guru yang telah mencapai Pencerahan Sempurna, ajaran-ajarannya diwariskan atau ditransmisikan kepada murid-muridnya. Dalam tradisi Zen, terdapat empat macam pewarisan ilmu tersebut, yaitu:
a.                  Transmisi Ordinasi.
Terdapat tiga jenis ordinasi: Upasaka-upasika; bhikshu-bhikshuni; dan Bodhisattva. Ketiga ordinasi ini membentuk persaudaraan spiritual atau Sangha. Setiap ordinasi, melibatkan pelaksanaan sikap spiritual tertentu dan ketaatan pada aturan tertentu.
Upasaka-upasika diordinasi oleh Bhikshu, atau bhikshuni atau Boddhisattva. Menyatakan berlindung kepada Buddha, Dharma, dan Sangha dan menaati Sepuluh Sila, yakni menjauhkan diri dari:
1.      Menyakiti makhluk lain
2.      Mengambil apa yang tidak diberikan
3.      Mempraktikkan kehidupan seks yang salah
4.      Perkataan yang kasar
5.      Perkataan yang tidak benar
6.      Perkataan yang fitnah
7.      Perkataan sia-sia
8.      Keserakahan
9.      Kebencian
10.  Pandangan salah.
Seorang Bhikshu atau bhikshuni diordinasi sekelompok bhikshu yang terdiri atas lima orang, termasuk diantaranya seorang sesepuh (sthavira) yaitu bhikshu yang paling tidak suda berada dalam Persaudaraan selama sepuluh tahun. Bhikshuni mendapatkan dua kali ordinasi, sekali oleh sekelompok bhikshu dan sekali oleh sekelompok bhikshuni. Baik bhikshu maupun bhikshuni, meninggalkan kehdiupan duniawi, mengabdikan seluruh kemampuan mereka untuk penyadaran Nirvana, dan menaati 150 sila. Empat pasal yang paling utama adalah:
1.      Tidak melakukan hubungan seks;
2.      Pencurian;
3.      Pembunuhan dan mendorong tindakan bunuh diri, dan
4.      Menyatakan dengan tidak benar pencapaian spiritual tertentu.
Seorang Boddhisattva diordinasi oleh Buddha. Tetapi pada praktiknya diordinasi oleh Boddhisattva yagn lebih senior. Ia mengembangkan niat untuk mencapai Penerangan Sempurna, demi kebahagiaan semua makhluk, dan menjalankan suatu peraturan yang (menurut tradisi Indo-Tibet) terdiri dari 18 syarat mayor dan 46 syarat minor, semuanya menekankan pada altruisme. 
b.                  Transmisi Kitab Suci
Untuk memahami kitab suci, diperlukan pengajaran dari seorang guru yang telah mencapai Pencerahan Sempurna. Bersamanya, kitab suci dibaca lembar demi lembar, dan dipahami maknanya. Biasanya, hasil penafsiran terhadap kitab suci juga ditulis sendiri oleh yang bersangkutan untuk dijadikan pedoman pemahaman kitab suci. Mempelajari kitab suci seorang diri tidaklah ckup. Seseorang pda waktu yang sama harus mempelajari interpretasi yang benar, di bawah bimbingan seorang guru dari “silsilah pewarisan”.[6]
c.                   Transmisi Doktriner
Doktrine adalah sitematis ajaran seperti yang terdapat dalam kitab suci. Yang terdiri atas Lima Agregrat, Sembilan Orang Suci, Dua Belas Mata Rantai, dan seterusnya. Di India, secara bersamaan terdapat empat transmisi doktrin yang berbeda, dalam bentuk empat ajaran filosofis: Vaibhashika, Sautrantika, Vijnandavadin, Madhyamika. Ini semua merupakan sajian sistematis dari Ajaran dalam arti berturut-turut: realisme sederhana, realisme Kritis, idealisme, dan absolutisme. Semua transmisi ini, diteruskan dengan penguatan dan tambahan di Tibet dan Timur Jauh. Di Cina, transmisi doktri di jaga di sekolah-sekolah besar pribumi Hua Yen (Avatamsaka atau ‘ornamen bunga’) dan Tien-t’ai dikategorikan berturut-turut oleh Takakusu sebagai aliran totalisme dan fenomenologis (Mahayana).[7]
d.                  Transmisi Jiwa Agama Buddha
Ini merupakan transmisi yang paling penting dan dimaksud pada pernyataan “Transmisi Khusus di luar kitab suci”. Menurut tradisi buddhis sang Buddha pernah suatu waktu duduk dikelilingi sekumpulan besar siswa-siswaNya. Beratus-ratus Bodhisattva dan Arahat, Bikshu-biksuni, serta Upasaka-upasika hadir bersama-sama dengan berbagai kelompok makhluk-makhluk surgawi.Semuanya diam, menunggu Sang Buddha bersabda. Tapi pada kesempatan ini, bukannya mengeluarkan kata-kata, ditengah keheningan Sang Bhagava hanya mengangkat sekuntum bunga berwarna emas… Hanya Mahakasyapaa, satu diantara siswa-siswa tertua—yang termahsyur karena kesederhanaanya—mengerti makna perbuatan Sang Buddha, dan ia tersenyum. Sang Buddha kemudian bersabda, “Aku yang memiliki Mata dari Dharma yang luar biasa, yakni Nirvana, Kesadaran, misteri realita dan non-realita, serta pintu gerbang kebenaran transenden. Aku sekarang menyerahkannya kepada Mahakasyapa.” Inilah yang dimaksud dengan transmisi.[8]
Mahakasyapa mentransmisikan jiwa Dharma kepada Ananda, yang telah menjadi siswa langsung Sang Buddha selama dua puluh tahun kehidupannya di dunia.Ananda meneruskannya kepada Sanakavasa, muridnya dan seterusnya. Dari mahakasyapa di abad ke-5 SM hingga kepada Boddhidharma di abad ke-6 M, transmisi ini dilanjutkan dalam satu garis guru-guru spiritual, sebagian kurang dikenal dan sebagian lagi merupakan nama-nama paling top dalam sejarah agama Buddha di India. Daftar nama-nama guru ini, yang secara tradisional dikenal sebanyak Dua Puluh Tujuh – Dua Puluh Delapan dengan Boddhidharma—Sesepuh Zen dari India adalah sebagai berikut :
1. Mahakasyapa
2. Ananda
3. Sanakavasa
4. Upagupta
5. Dhritaka
6. Michchaka
7. Vasumitra
8. Buddhanandi
9. Buddhamitra
10. Parshva
11. Punyayashas
12. Ashvaghosha
13. Kapimala
14. Nagarjuna
15. Kanadeva
16. Rahulata
17. Sanghanandi
18. Gayasata
19. Kumarata
20. Jayata
21. Vasubandhu
22. Monorhita
23. Haklena
24. Aryasimha
25. Basiasita
26. Punyamitra
27. Prajnatara
28. Bodhidarma[9]
Studi daftar ini mengungkapkan hubungan yang sangat dekat antara Zen dan apa yang dikenal sebagai tradisi pusat Agama Buddha India. Dialah Boddhidharma yang termahsyur, sesepuh kedua puluh delapan dari India—yang dalam lukisan kuno digambarkan sebagai seorang yang menyebrangi lautan dengan daun bambu—yang membawa Zen ke Cina, dengan sendirinya menjadi sesepuh pertama dari Cina. Apa yang ia bawa ke Cina bukanlah Zen dalam bentuk seperti yang kita kenal saat ini bersama dengan doktrin-doktinnya, kitab suci, dan organisasi viharanya, melainkan semangat atau jiwa yang ia turunkan kepada muridnya Hui K`o, yang kemudian menurunkannya pada muridnya lagi hingga sesepuh  yang ke-6. Master-master ini dikenal sebagai Enam Sesepuh Aliran Zen dari Cina, Yakni :
1.         Boddhidharma (lahir sekitar 440 - meninggal sekitar 528)
2.         Hui K`o (lahir 487 - meninggal 593)
3.         Jianzhi SengTs`an (meninggal 606)
4.         Dayi Tao Hsin(lahir 580 - meninggal 651)
5.         Hung Jen (lahir 601 - meninggal 674)
6.         Hui Neng / Wei Lang(lahir 638 - meninggal 713)[10]
Karena kejeniusan Hui Neng, ia mengajarkan kembali kepada 43 orang. Sesudah itu banyak sekali garis transmisi, namun ada dua diantaranya yang sangat berperan hingga sekarang.Kedua garis keturunan ini diwakili oleh aliran Sotodan aliran Rinzai.
Dalam sutera Intan tertulis empat jenis Zen, yaitu:
1.      Zen/ Ch’an Tathagata (Metode-metode Klasik dari konsentrasi)
Seperti menghitung nafas dan menungmbuhkan semangah kasih universal yang telah diajarkan oleh Buddha Gautama dan secara umum di praktikkan oleh semua bentuk agama Buddha, termasuk Zen. [11]
2.      Ch’an dari Sesepuh
Yakni Ch’an dari Hui Neng, seseuph Cina keenam dari aliran Zen. Ini merujuk pada ajaran dari Sutra Altar tentang kesatuan atau dengan kata lain ketidakterpisahan samadhi dan prajna. Hui Neng bersabda, “Hadirin yang terpelajar, dalam sistem saya Samadhi dan Prajna adalah fundamental. Tetapi jangan beranggapan kleiru bahwa keduanya berdiri sendiri-sendiri, karena mereka adalah satu tak terpisahkan dan bukannya dua rupa. Samadhi merupakan inti dari Prajna, dan Prajna adalah aktivitas dari Samadhi. Pada saat kita mencapai Prajna, Samadhi telah ada bersamanya dan begitu juga sebaliknya… seorang murid seharusnya tidak berpikir bahwa terdapat pemisah aantara ‘Samadhi dari Prajna’ dan ‘Prajna dari Samadhi’.” (Sutra Wei Lang, halaman 46)[12]
3.      Ch’an Turunan
Merupakan Ch’an yang diajarkan oleh keturunan spiritual dari Sesepuh Hui Neng, khususnya dari guru besar generasi keempat, kelima, keenam, dan ketujuh yang menjadi para pendiri Lima “Sekte” Ch’an di Cina. Jika Ch’an Tathagata dan Ch’an dari Sesepuh adalah India dalam bentuknya, maka Ch’an Turunan berkarakteristik Cina. Bukannya dengan mengutip dari kitab suci, dan memberikan ceramah panjang tentang filosofi dan praktik Zen dalam cara-cara tradisional, seperti yang bahkan dilakukan oleh Hui Neng, Ch’an dari tipe ini mencoba mengalami pencerahan dengan cara yang lebih langsung dan konkret dengan bantuan kata-kata, kalimat-kalimat, dan tindakan-tindakan yang kelihatannya eksentrik dan lucu. Ini semua adalah apa yang terkenal sebagai kung-ans (dari kata Jepang koans: secara harfiah berarti “catatan-catatan publik”) atau “sebab-sebab bersamaan” dari Pencerahan, seperti teriakan yang tiba-tiba, tertawa yang tidak semena-mena, atau satu pukulan tongkat.[13]
4.      Ch’an Wacana
Ini adalah aliran Ch’an dari orang-orang yang hanya berbicara tentang Ch’an atau menulis buku dan artikel tentangnya, tetapi tidak pernah berusaha mempraktikkannya. Di Barat, Ch’an jenis ini lazim dan sangat dominan, bahkan di Cina pun Ch’an ini mulai menjadi hal yang lumrah. Ketika orang-orang tidak lagi berusaha mempelajari untuk mencapai pencerahaan melalui Zen, melainkan mempelajari apa itu Zen, dan terus mendiskusikannya.[14]
d        Zen praktis
Pada dasarnya, terdapat dua kualitas esensial yang kita butuhkan dalam praktik-praktik Agama Buddha. Yang pertama adalah bahwa kita mampu untuk menarik diri dari masyarakat selama beberapa waktu, mungkin beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun. Dan hal lain yang kita butuhkan adalah kemampuan untuk mengambil apa pun yang kita capai dari pengalaman kita selama isolasi dan membawanya ke dunia—pada hubungan kita dengan sesama manusia dan pada kehidupan kita sehari-hari. Seperti menarik nafas dan menghela nafas, kita membutuhkan keduanya.[15]
KOAN
Secara umum, koan berarti masalah atau teka-teki, tetapi permasalahan dalam pandangan Zen adalah hal yang sangat menakjubkan bagi pikiran yang sadar. Koan biasanya terdiri daru satu kata tau frasa yang seolah tanpa makna atau pernyataan ‘omong-kosong’ dalam pandangan awam. Akan tetapi, kan telah mengembangkan kekuatan konsentrasi, seorang pelaku Zen dapat memfokuskan perhatiannya pada koan sebagai sebuah objek meditasi. Karena koan tidak dapat diselesaikan melalui penjelasan logis, introspeksi terhadap koan didisain sebagai jalan pintas proses intelektual yang berakhir pada realisasi yang sebenarnya.
Dalam tradisi Ch’an, koan disebut dengan kung-an. Koan diajarkan secara personal antara guru dan masing-masing muridnya. Seorang murid yang telah menerima koan, akan bermeditasi tentang hal tersebut sampai ia menemukan jawabannya. Hal ini bisa dilakukan selama beberapa bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Setelah menemukan jawabannya, sang murid langsung men-konfirmasikan hasil meditasinya tersebut kepada gurunya. Tradisi awal Zen, koan bersifat sangat personal. Akan tetapi, dewasa ini, koan menjadi semacam problem universal bagi banyak orang. Bahkan disusun buku-buku berisikan koan-koan yang diberikan seorang guru pada murid-muridnya. [16]
ZAZEN
Zazen merupakan inti dari ajaran praktis Zen Buddhisme. Tujuan dari zazen hanyalah duduk, “membuka pikiran”. Ini dilakukan untuk menginterpretasi koan dan dipraktikkan oleh baik Rinzai dan Soto dengan metode Shikantaza (whole-hearted sitting).[17]
Secara lieteral, zazen berarti ‘duduk bermeditasi’ merupakan sebuah disipline meditatif pelaku zen untuk menenangkan tubuh dan pikiran dan mengalami (experience) pemahaman (batin) terhadap asal-usul eksistensi dan dengan cara demikian berhasil meraih pencerahan (satori).
Postur zazen adalah duduk, dengan melipat kaki dan tangan dan punggung yang tegak tetapi tenang dan kuat. Kaki yang terlipat merupakan standar yang baik dari gaya duduk. Dan tangan-tangan yang terlipat menjadi satu merupakan simbol dari sebuah mudra sederhana di sekitar perut. Pada beberapa praktik, seseorang bernafas melalui hara (pusat gravitasi dalam perut) dan kelopak mata separuh tertutup, mata tidak sepenuhnya tertutup dan pada saat yang sama tidak juga terbuka.[18]
Tradisi Zazen
Periode zazen sangat panjang, biasanya dilakukan secara berkelompok di sebuah zendo (aula meditasi), pernah digantikan juga dengan periode kinhin (walking meditation/ meditasi dengan berjalan). Permulaan periode zazen secara tradisional diumumkan dengan membuyikan bel sebanyak tiga kali (shijosho), dan diakhiri dengan membunyikan bel satu kali (hozensho). Sebelum dan setelah duduk zazen, para praktisi zazen saling memberi hormat pada tempat duduk mereka (gassho) dan memberi hormat dari para praktisi kepada gurunya.
Di jepang, duduk zazen secara tradisional dilakukan pada sebuah tatakan yang disebut zabuton dan menduduki sebuah bantal kecil yang disebut zabu. Posisi-posisi yang biasa dilakukan ketika duduk di atas zafu adalah:
a.               Kekkafuza (full lotus-teratai penuh)
b.               Hankafuza (half lotus-teratai separuh)
c.                Burmese (kaki bersilang, postur ketika pergelangan kaki diletakkan bersama didepan tubuh)
d.               Seiza (posisi berlutut menggunakan bangku kecil atau zafu)
Bukan hal yang mengherankan bagi para praktisi zen modern yang melakukan zazen di atas kursi, sering dengan ganjalan di belakang punggung untuk membantu menjaga posisi natural tulang belakang.
Secara umum, praktik zazen diajarkan melalui salah satu dari ketiga jalan, yaitu:
1.               Konsentrasi
2.               Introspeksi Koan
3.               Shikantaza (hanya duduk)
Konsentrasi dan Interpretasi terhadap Koan
Level-level awal dari latihan-latihan zazen biasanya menekankan pada konsentrasi. Dengan memfokuskan pikiran pada pernafasan hara (mungkin sejenis pernafasan perut), dan tak jarang dibantu dengan menghitung, dengan cara membangun kekuatan konsentrasi atau joriki. Di beberapa pusat Zen, praktik perapalan mantra-mantra secara mental melalui pernafasan digunakan dengan cara menghitung nafas bagi para pemula. Di beberapa komunitas, atau sangha-sangha, praktiknya adalah dengan melanjutkan cara ini sampai mencapai beberapa tanda-tanda pengalaman religius dari samadhi atau “kesatupusatan/ keterpusatan” pikiran. Pada titik ini, para praktisi  berpindah dari metode zazen pertama ke metode zazen kedua.
Setelah berhasil membangun kekuatan konsentrasi, para praktisi Zen dapat mulai memfokuskan pikrannya pada salah satu koan sebagai objek meditasi. Karena koan bukan permasalahan yang bisa diselesaikan dengan akal intelektual, introspeksi terhadap koan didesain sebagai jalan pintas intelektual menuju ke realisasi yang sebenarnya.
Shikantaza biasanya diasosiasikan dengan aliran Soto, dan praktik koan dengan aliran Rinzai. Pada kenyataannya banyak juga komunitas Zen yang menggabungkan kedua metode tersebut, bergantung pada guru dan muridnya.
SANZEN
Para bhiksu Zen tidak sendirian berjuang dengan koannya. Buku-buku tidak akan lagi relevan untuk menjawab pertanyaannya, dan koan-koan yang mereka meditasikan tidak didiskusikan dengan bhiksu-bhiksu lainnya. Karena alasan ini, maka diadakan jalan lain untuk memeperoleh jawaban.
Sehari dua kali, setiap bhiksu menemui master-nya (guru-nya) dalam pertemuan pribadi untuk “berkonsultasi yang berkaitan dengan meditasi”—disebut sanzen di aliran Rinzai dan dokusan di aliran Soto.
Pertemuan-pertemuan ini selalu dilaksanakan meskipun hanya dalam waktu singkat. Pada pertemuan ini juga, para bhiksu biasanya akan melakukan klarifikasi atau konsultasi tentang koan yang mereka interpretasikan, atau pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman spiritual mereka.
Peran seorang Master dalam Sanzen:
Dalam sanzen, perna master adalah sebagai:
1.               Untuk memvalidasi jawaban yang benar
2.               Untuk menolak jawaban yang kurang memadai/ mencukupi
3.               Untuk menjaga para muridnya tetap bersemangat dan membulatkan tekad selama beberapa tahun pelatihan yang dibutuhkan.

SATORI  OR KENSHO
Menurut D.T. Suzuki, satori ialah “looking into one’s nature or the opening satori”; this acquiring of a new point of view in our dealings with life and the world is popularly called by Japanese Zen students ‘satori’ (wu in Chinese). It is really another name of Enlightenment (“Annuttara-samyak-sambodhi”).”
Terobosan pertama dan paling penting dalam pelatihan zen adalah pengalaman intuitif yang dikenal dengan satori atau kensho. Meskipun persiapannya mungkin memakan waktu bertahun-tahun, pengalaman itu sendiri hanya sekelebat cahaya, meledak seperti sebuah di kedalaman hati sanubari orang yang mengalaminya, dan hanya dalam hitungan detik mengubah pandangan orang tersebut pada perspektif yang sangat berbeda.
Satori merupakan versi Zen dari pengalaman mistis, yang, apa pun bentuk penampakannya akan membawa kegermbiraan atau kesenangan, pada ke-satu-an, dan pada sebuah perasaan tentang realitas yang tak dapat diuraikan dalam bahasa.
Tetapi, satu hal yang paling pentin dari Zen adalah bahwa Zen tidak mengizinkan ruh manusia menarik diri sepenuhnya pada level spiritual atau metafisik sepenuhnya. Kejeniusan zen terletak pada fakta bahwa Zen tidak menempatkan dunia ini di bawah posisi ideal yang berhasil ia capai (ketika enlightenment); tidak juga menarik diri dari dari dunia dengan sikap enggan atau mengabaikan.
Objek Zen adalah untuk memasukkan sesuatu yang temporal pada keabadian—untuk memperlebar pintu-pintu persepsi sehingga keajaiban dari pengalaman satori dapat mengalir setiap hari ke dunia.
Catatan Huston Smith tentang Satori:
Pertama, Satori merupakan sebuah kondisi dimana kehidupan dengan sangat jelas terlihat baik. Kedua, sebuah pandangan objektif terhadap relasi satu dengan lainnya. Ketiga, kehidupan seorang Zen tidak menarik diri dari dunia; Satori mengembalikan seseorang pada dunia—dunia dilingkupi cahaya baru. Keempat, sebuah sikap yang menyamaratakan persetujuan. Kelima, sebagaimana adanya dikotomi antara diri dan bukan diri, terbatas dan tidak terbatas, penerimaan dan penolakan adalah transenden, bahkan dikotomi antara kehidupan dan kematian menghilang.

d        Aliran-aliran Zen Buddhisme
Meskipun meditasi (dhyana atau “pikiran yang berkonsentrasi”) telah dipraktikkan oleh Buddhisme sejak awal, “Mazhab Meditasi” dengan bentuk-bentuk latihan dan transmisi (telepati atau transfer ilmu dengan mind to mind) merupakan produk dari Buddhisme di Cina. Di Cina, bagaimana pun, Ch’an (Zen dalam bahasa Jepang) tumbuh dan berkembang berdampingan dengan tradisi-tradisi Buddhis yang lainnya. Zen ini diperkenalkan ke Jepang oleh seorang Bhiksu Hosso, Dosho dan seorang Master Vinaya dari Cina (Ritsu dalam istilah Jepang) Tsao-hsuan (yang dikenal sebagai Dosen di Jepang) pada periode Nara. Pada awal periode Heian, Saicho—atau Dengyo Daishi—menyatukan Zen, sebagai sebuah unsur paling penting dalam sistem Tendai-nya.  hanya selama periode pertengahan Zen berhasil dibentuk sebagai sebuah mazhab independen dalam Buddhisme. Terdapat tiga aliran Zen di Jepang yang berkembang pada era Kamakura, yaitu (1) Sekte Rinzai, diperkenalkan dari Cina oleh Eisai pada 1191; (2) Sekte Soto, diperkenalkan oleh Dogen dari Cina pada 1227; dan (3) Sekte Fuke didirikan oleh Kakushin pada 1255.[19] Tradisi ke keempat, yang dikenal sebagai Sekte Obaku, didirikan oleh seroang biarawan Cina, Ingen, pada 1654.
a.      Eisai dan Mazhab Rinzai
Eisai (1141-1215) mengkombinasikan dalam dirinya sendiri pendirian sosial dan keberagamaan dari Heian dan Kamakura. Sebagai seorang biarawan muda Tendai, ia merasa patah harapan menyadari penurunan persepsi Buddha tradisional dan pelajaran-pelajaran kebiaraan di Pegunungan Hiei. Penekanan gurunya bukanlah pada sebuah “keyakinan keselamatan” sebagaimana di aliran-aliran Honen, Shinran, dan Nichiren. Tujuan utamanya adalah dengan purifikasi (pemurnian) dan pemulihan keagungan Buddhisme tradisional di Jepang. Ia hidup pada masa ketika para biarawan dan pendeta terhimpun dalam kekuatan dan keberlimpahan, suatu kondisi dimana para aristrokrat beranggapan bahwa mengundang para bhiksu tampan bersuara merdu untuk menyanyikan sutra-sutra terdahulu merupakan sebuah hiburan.
Untuk mempelajari tradisi sebenarnya dari Tendai, Eisai mengunjungi Cina pada tahun 1168 dan menjadi tertarik pada Ch’an. Sekali lagi ia belajar di Cina pada tahun 1187-1191, mempelajari ajaran-ajaran lanjutan dari Ch’an. Meskipun aliran Rinzai di Jepang dipengaruhi oleh aliran Lin-ch’i di Cina, tetapi keduanya memiliki etos yang berbeda terhadap pemerintahan. Ch’an menekankan pada, “tidak adak kebergantungan pada kata-kata dan huruf-huruf; sebuah transmisi luar biasa di luar ajaran-ajaran yang telah diklasifikasikan; tujuan yang jelas pada pikiran manusia (mind of man); mencari sifat alami manusia (seeing into one’s true nature)”. Ch’an bahkan tidak menghormati raja atau pangeran yang berkuasa. Tetapi, Eisai mempelajari hukum dan mengobservasi kesamaan dalam aturan-aturan upacara dari praktik-praktik Tendai, Shingon dan Zen.

Tradisi Rinzai menekankan pada kensho, penglihatan batin terhadap sifat alami seseorang (one’s true nature). Hal ini dilanjutkan dengan sesuatu yang disebut praktik post-satori, kelanjutan dari praktik-praktik sebelumnya untuk mencapai Kebuddhaan.[20]
Selain itu, tradisi Rinzai juga menekankan pada interpretasi terhadap koan (paradoxical statement) yang hanya dapat diakses oleh para pencari yang sebenarnya (the serious seekers).[21]
Beberapa guru Zen yang lainnya juga mengekspresikan penglihatan sekejap yang diikuti oleh pengembangan (cultivation) secara bertahap. Untuk mencapai penglihatan batin ini dan untuk memperdalamnya, zazen dan memeditasikan koan dianggap sangat esensial.
b.      Dogen dan Sekte Soto
Dalam beberapa hal, Dogen sangat berbeda dengan Eisai. Dilahirkan dari sebuah keluarga dari garis keturunan terhormat, Dogen mengalami tragedi kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat muda. Menyadari kefanaan dunia ini, pada usia 13 tahun, Dogen memasuki Biara Tendai di Pegunungan Hiei. Pencariannya terhadap “kepastian” dalam mencapai Kebuddhaan mengantarkannya keluar dari Pegununangan Hiei, pertama ia datang pada guru Pure Land, dan kemudian Myozen, salah seorang murid dari Eisai. Pada 1223, Dogen pergi ke Cina, masih dengan misi yang sama, mencari seseorang yang benar-benar telah mencapai pencerahan, dan pada kesempatan itu ia bertemu dengan Ju-ching, seorang Master Ch’an pada Biara T’ien-t’ung. Dibawah bimbingan Ju-Ching, Dogen mencapai “pencerahan”. Kemudian ia kembali ke Jepang pada tahun 1227, mencoba mentransmisikan capaian penglihatan batin barunya tanpa membangun sekte yang baru. Bagaimana pun tradisinya dengan cepat membentuk satu sekte atau aliran independen yang dikenal dengan Soto (bahasa Jepang dari Ts’ao-tung).
Aliran Soto ini menekankan pada praktik Shinkataza, yaitu sekedar duduk. Istilah ini pertama kali digunakan oleh guru dari Dogen dan secara literal berarti, “nothing but (shikan) precisely (da) sitting (za).” Dengan kata lain, maksud Dogen adalah, “hanya melakukan zazen dengan sepenuh hati” atau “menyatukan pikiran dalam duduk”.[22] Shinkataza mengimplikasikan “sekedar duduk”. Steve Hagen mendeskripsikan kata bahasa Jepang dari empat bagian: shi berarti tranquility, kedamaian; kan berarti awareness, kesadaran; ta berarti hitting exactly the right spot (note one atom off), mengenai titik yang sangat tepat (tidak satu atom pun luput); dan za berarti duduk.
Sebuah terjemah dari shinkataza ditawarkan oleh Kobun Chino Otogawa memberikan beberapa pandangan tambahan: shikan berarti murni, satu dan hanya untuk itu. Ta merupakan kata yang sangat kuat, yang menunjukkan aktivitas keberpindahan. Ketika kau memukul, gerakan tersebut disebut ta. Dan za memiliki makna yang sama dengan zazen, duduk. (Shikan means pure, one, only for it. Ta is a very strong word. It shows moving activity. When you hit, that movement is called ta, so strike is ta. Za is the same as in the word zazen, sitting.)[23]




DAFTAR PUSTAKA


Kitagawa, Joseph. M. Religion in Japanese History. 1966. New York: Columbia University Press.
Nakamura, Hajime. Buddhism in Comparative Light. 1975. New Delhi: Islam and the Modern Age Society.
Smith Huston. The World’s Religion: Our Great Widsom Tradition. 1991. Stockbridge: Norman Rockwell Publishers.
Suwarto, Drs. Buddha Dharma Mahayana. 1995. Jakarta: Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Watts, Allan W. The Way of Zen. 1957. Toronto: Pantheon Books Inc.
Y.A. Mahabhikshu Hsing Yun. Pembahasan 3 Sutra Agama Buddha. 1994. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991. Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.




[1] Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:35
[2] What Is Zen Buddhism artikel diposting di http://www.karate.butsu.net/onzen/zen_history.html; tidak ada keterangan tentang penulis atau pengelola websitenya. Artikel ini diakses pada: Senin, 18 Maret 2013.
[3]Ibid.
[4] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 480
[5]Ibid. hlm: 483
[7] Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:32
[8]Ibid. hlm:33
[9] Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia. Buddha Dharma Mahayan. Hlm: 434-435
[10] Y.A. Maha Sthavira Sangharakshita. Zen: Inti Sari Ajaran. 1991:36
[11]Ibid. hlm:13
[12]Ibid. hlm:14
[13]Ibid. hlm: 16
[14]Ibid. hlm: 17
[16] An article from Genjo Marinello with entitled “Zen Koan Practice”, published by Plum Mountain News, January 1995.
[17]http://en.wikipedia.org/wiki/Zazen
[18] An article “Zazen” taken from http://www.bodhizendo.org/zazen.htm
[19] Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London: Columbia University Press, hlm123. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[20] en.wikipedia.org/wiki/Zen
[21] Joseph M. Kitagawa. Religion in Japanese History. 1966. New York and London: Columbia University Press, hlm126. Terjemah oleh Fathimah al-Batul A.
[23]Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar

Poll

Diberdayakan oleh Blogger.

Labels

Download

Entri Populer